"Aku tidak membutuhkan omongan sok pahlawan darimu!" Seru Ayah Boom. "Boom sudah kami didik dengan sempurna. Dia tidak boleh gagal! Tidak boleh ternoda dengan skandal seperti ini!!!"
Boom merasa dadanya sesak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Ayah, aku juga tidak merencanakan ini. Tapi aku tidak bisa menggugurkan bayi dikandunganku ini. Mereka—bagian dariku, harta berhargaku sekarang."
Ibu Boom menggeleng, tidak percaya. "Boom, sayang kita sudah rencanakan hidupmu dengan baik. Kenapa kamu mau merusaknya dengan hubungan yang tidak jelas seperti ini?"
Smart melangkah maju. "Maaf, Tante, Om. Tapi hubungan kami bukan main-main. Aku mencintai Boom, dan aku akan melakukan apa saja untuk menjaganya."
Ayah Boom hanya tertawa sinis. "Cinta? Kamu pikir cinta bisa membayar harga karier yang hancur? Bisa mengganti reputasi yang tercoreng?"
Boom akhirnya berdiri, air matanya mengalir. "Ayah, cukup! Aku tau—aku tau Ayah selalu ingin aku menjadi sempurna. Tapi aku manusia biasa, Ayah. Aku juga berhak bahagia dengan pilihanku. Aku akan menjaga anak-anak ini. Aku... aku tidak akan lari dari tanggung jawabku."
Ayah Boom memalingkan wajahnya dengan kecewa, sementara Ibu Boom menutup wajah dengan tangan.
Smart merangkul Boom yang mulai gemetaran. "Kami akan melewati ini. Aku akan bertanggung jawab, dan aku janji, aku nggak akan meninggalkan Boom."
Ayah Boom menghela napas panjang. "Pergilah. Kami butuh waktu untuk mencerna semua ini."
Tanpa sepatah kata lagi, Smart menggandeng Boom keluar dari rumah itu. Ketika mereka sampai di luar, Boom akhirnya tak bisa menahan tangisnya lagi.
Smart menariknya ke dalam pelukan erat, membiarkan Boom meluapkan kesedihannya. "Gak apa-apa, dok. Aku di sini. Aku gak akan pergi ke mana-mana."
Boom mengeratkan pelukannya, merasa lega sekaligus hancur. Meski hatinya terluka oleh kata-kata ayahnya, namun Smart tetap menjadi tempat yang membuatnya merasa aman.
Setelah beberapa saat, Boom menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih sudah berdiri di sampingku."
Smart tersenyum lembut, mengusap kepala Boom. "Aku janji gak akan ninggalin kamu. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng, ya?"
Boom mengangguk pelan, merasakan kekuatan dari genggaman Smart. Mungkin perjalanan mereka akan sulit, tapi setidaknya mereka akan menjalaninya bersama. Dan itu sudah cukup untuk membuat Boom bertahan.
***
Boom duduk di sofa apartemen dengan kepala tertunduk. Pipi kirinya masih terasa perih, bekas tamparan ayahnya tadi terasa berdenyut. Matanya sembab setelah menangis dalam perjalanan pulang. Smart datang dari dapur membawa kotak P3K, duduk berlutut di depan Boom, dan menyentuh dagu Boom dengan lembut.
"Boom, lihat sini." Kata Smart pelan.
Boom menatapnya dengan mata sayu. Smart menyapu rambut Boom yang berantakan, lalu dengan hati-hati membersihkan sudut bibir Boom yang memar. Smart menyentuhnya dengan kapas yang sudah dibasahi antiseptik, membuat Boom sedikit meringis.
"Maaf, sakit ya?" Tanya Smart dengan nada penuh rasa bersalah.
Boom menggeleng pelan. "Nggak apa-apa."
Smart melanjutkan mengoleskan salep dengan hati-hati, menahan agar tangannya tidak gemetar. Setelah selesai, dia menutup kotak P3K dan menghela nafas panjang.
"Kenapa kamu membela aku tadi??" Tanya Boom tiba-tiba, suaranya serak.
Smart menatapnya dengan serius. "Karena aku sayang sama kamu. Aku nggak akan biarin siapa pun nyakitin kamu, bahkan kalau itu keluargamu sendiri."
Boom terdiam, merasa dadanya menghangat mendengar kata-kata itu. Tangan Smart masih berada di pipinya, mengusap lembut seolah mencoba menghilangkan rasa sakit.
"Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri, dok." Bisik Smart. "Aku tau kamu merasa bersalah sama orangtuamu. Tapi kamu juga punya hak buat bahagia."
Boom mengangkat matanya, menatap dalam-dalam ke arah Smart. "Smart—kenapa kamu masih mau sama aku, padahal aku cuma bikin hidupmu berantakan?"
Smart mendekat, sampai jarak wajah mereka hanya beberapa inci. "Hidupku nggak berantakan, Boom. Justru sejak kamu ada, aku merasa lebih hidup. Lebih punya tujuan. Dan aku nggak peduli seberapa sulitnya, aku tetap mau ada di samping kamu."
Boom mengerjap pelan, air matanya kembali menggenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menarik Smart ke dalam pelukannya. Smart tampak sedikit kaget, tapi kemudian memeluk Boom erat, mengusap punggungnya dengan lembut.
Boom membenamkan wajahnya di pundak Smart, menghirup aroma familiar yang selalu membuatnya merasa aman. "Terima kasih." Ucapnya lirih.
Smart tersenyum, mencium puncak kepala Boom dengan sayang. "Aku ada di sini. Selalu."
Boom mempererat pelukannya, tidak peduli meski air matanya mengalir lagi. Kali ini bukan karena rasa sakit atau kecewa, tapi karena merasa lega. Dia tidak sendiri.
"Aku takut banget tadi. Takut kehilangan semuanya." Ungkap Boom dengan suara parau.
Smart mengusap lembut punggung Boom, mencoba menenangkan. "Kamu nggak akan kehilangan apa pun. Aku tidak akan biarin itu terjadi."
Boom menarik diri sedikit, menatap wajah Smart yang penuh ketulusan. Dengan gerakan pelan, Boom menyentuh pipi Smart, ibu jarinya mengusap lembut.
"Kamu tau, kamu tuh terlalu baik buat aku." Ujar Boom dengan senyum lemah.
Smart terkekeh pelan, menggenggam tangan Boom yang masih berada di pipinya. "Kata-katamu terlalu klise, harusnya kamu tuh terlalu mencintaiku bukan terlalu baik buat kamu. Aku juga tidak akan ninggalin kamu. Anak kita butuh kita berdua, kan?"
Boom merasa hatinya menghangat. Rasa cemasnya mulai menguap. "Iya, mereka butuh kita."
Smart menunduk sedikit, menyatukan dahinya dengan dahi Boom. "Jadi jangan merasa sendirian lagi, ya. Aku di sini. Kita bakal jalanin semua ini bareng-bareng."
Boom memejamkan mata, menikmati sentuhan itu. Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Pelukan hangat Smart sudah cukup membuatnya merasa dicintai dan dilindungi.
Setelah beberapa saat dalam keheningan penuh kehangatan, Smart akhirnya bergumam, "Besok aku libur. Kita bisa masak bareng atau nonton film sepanjang hari. Apa pun yang kamu mau."
Boom mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. "Masak bareng kayaknya seru."
Smart tersenyum lembut. "Oke. Aku bakal bikinin apa pun yang kamu suka."
Boom kembali menyandarkan kepalanya di dada Smart, mendengar detak jantungnya yang stabil dan menenangkan. "Aku nggak pernah sebahagia ini sebelumnya."
Smart mengusap rambut Boom dengan lembut. "Makasih udah percaya sama aku."
Pelukan itu bertahan lebih lama dari yang mereka kira. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya nafas yang pelan dan detak jantung yang terdengar. Di tengah kekacauan dan luka yang masih membekas, pelukan ini menghadirkan sejenak ketenangan—seolah dunia memberi mereka ruang untuk mereka bernafas.
Boom tau, dengan Smart di sisinya, dia akan sanggup menghadapi apa pun yang akan terjadi nantinya.
***
Another restu orangtua 😔😔🙏🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
After the Shift: Love in the Emergency Room (SmartBoom)
RomanceBoom, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang pendiam dan disegani, menjalani hidupnya dengan penuh pengendalian. Namun, segalanya berubah saat ia pergi liburan bersama Smart, seorang resident muda yang cerdas dan penuh semangat. Di tengah libu...
Bab 12
Mulai dari awal