抖阴社区

17. Bayang Bayang Yang Tak usai

1 0 0
                                        

Hujan sore tadi baru saja reda ketika mereka semua berkumpul di Warung Mang Oleh, tempat langganan yang kini terasa berbeda—seperti saksi bisu segala kerusakan yang terjadi. Bau asap rokok dan kopi basi mengisi udara, bercampur dengan aroma lembap tanah usai hujan.

Raka duduk di ujung bangku kayu, tatapannya kosong ke arah gelas kopi yang tak tersentuh. Jaket hitamnya masih sedikit basah, bagian lengan robek di sisi kanan memperlihatkan bekas luka yang menghitam. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, tapi sesekali matanya menyipit menahan beban yang tak terlihat.

Di seberangnya, Kyrel menghisap rokok dengan perlahan, matanya tajam mengamati tiap gerak-gerik di sekitar warung. Nox yang biasanya ribut, kini diam, hanya sesekali menghela napas panjang. Zevan berdiri di dekat pintu, menatap ke luar, wajahnya yang biasa cerah kini menahan kemarahan dan kekesalan.

"Rafi masih belum muncul," ucap Nox akhirnya, suaranya serak tapi tegas. "Gue udah keliling dari lapangan ke basecamp, gak ada tanda-tanda dia."

Raka tetap diam, menggerakkan jarinya memutar di sekitar pegangan gelas. "Bocah itu bukan cuma nyolong informasi," katanya dingin. "Dia jual kita ke Vendra."

Zevan mencibir. "Pengecut. Kalau dia berani keluar sekarang, bakal gue hajar."

"Tunggu," potong Seth dengan nada tajam, "jangan dulu main tangan. Kita harus tahu dulu apa yang sebenarnya dia inginkan."

Raka mengangkat kepala, matanya menatap Seth penuh arti. "Dia gak cuma pengkhianat. Dia dendam. Dan dendam itu bisa bikin dia berbuat lebih parah."



Di rumahnya yang rapi tapi terasa dingin, Nayara duduk di depan meja belajar. Buku catatan di depannya terbuka, tapi halaman-halamannya kosong. Tangannya menggenggam pena tapi tak ada tulisan yang tergores. Matanya menatap layar ponsel yang terus menyala dengan deretan notifikasi pesan masuk.

Pesan-pesan itu datang dari nomor yang tidak tersimpan—nomor yang sudah terlalu sering mengganggu ketenangannya.

"Kamu kira bisa lepas dari aku begitu saja?"
"Jangan sok kuat, Nay. Aku masih punya cara untuk buat kamu ingat siapa yang sebenarnya milik kamu."
"Besok kita ketemu, jangan lari."

Nayara mengerutkan dahi, tangannya bergetar saat hendak membalas. Tapi ia menarik napas panjang, lalu mengetik satu kalimat pendek, penuh gengsi:

"Udah, jangan ganggu lagi."

Namun, detik berikutnya ponselnya bergetar kembali dengan pesan baru. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha tetap tenang, menutup aplikasi pesan dan menyimpan ponselnya di dalam laci.

Ia berdiri, menatap jendela kamar yang menampilkan pemandangan kota di senja hari. Cahaya merah jingga mulai menghilang, tergantikan oleh bayangan gelap malam yang diam-diam merayap masuk.

Haturnya terusik, tapi ia menolak untuk membiarkan rasa takut menguasai.

"Gue bisa hadapin ini sendiri," bisiknya pelan.



Pak Rachmat duduk di belakang meja besar dengan raut wajah serius. Di depannya ada setumpuk dokumen dan laporan insiden tawuran kemarin. Beberapa guru yang ikut rapat tampak kelelahan dan waswas.

"Kita harus segera tenangkan situasi," katanya pelan tapi tegas. "Tapi kita juga tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut dan merusak reputasi Tirta Adinata."

Salah satu guru mengangguk. "Tapi Pak, anak-anak itu masih sangat emosional. Banyak yang ketakutan, dan rumor di luar sekolah sudah menyebar luas."

Pak Rachmat menghela napas. "Tugas kita menjaga keseimbangan—menjaga mereka, tapi juga memastikan sekolah tetap berjalan. Aku akan panggil Raka dan beberapa siswa inti untuk bicara secara pribadi."



Sore semakin larut, tapi suasana di warung tetap penuh ketegangan. Kyrel menatap gelas kosongnya dan meletakkannya dengan kasar. "Gue gak suka suasana kayak gini. Semua serba gak pasti."

Nox mengangguk setuju. "Gue mimpi buruk semalam. Gue mimpi kita semua diserang dari segala sisi, gak ada yang bisa nolong."

Zevan menatap Raka, yang masih diam. "Lo pasti tahu gimana cara kita ngadepin ini. Kita gak bisa terus-terusan begini."

Raka mengangkat kepala, sorot matanya kembali mengancam. "Kita harus keluarin Rafi dulu. Gak boleh ada pengkhianat di belakang kita."

Tiba-tiba, ponsel Raka bergetar. Dia mengambilnya, membuka pesan baru:

[Nomor Tak Dikenal]
"Kamu pikir ini cuma babak pertama? Tunggu sampai aku mulai mainkan kartu rahasiaku."

Raka meletakkan ponsel, senyum tipis muncul di bibirnya yang kering.

"Baru mulai," gumamnya.



Nayara masih duduk di mejanya, matanya terpaku pada layar ponsel. Pesan terakhir dari mantannya masih terpampang jelas.

Haturnya bertempur antara rasa takut dan kemarahan. Tapi ia tahu, dia tak bisa lepas begitu saja. Ada sesuatu yang harus dia hadapi.

Dia mengunci ponsel, menghela napas, lalu menatap ke cermin di depannya. Refleksi matanya menunjukkan seseorang yang tegar, tapi ada bayang-bayang luka yang belum hilang.

Sementara itu, jauh di dalam hatinya, satu pikiran terus berulang.

"Gue harus kuat... untuk diri gue sendiri."




Spoiler Bab 18: "Jejak Luka dan Persimpangan Pilihan"

Di bab ini, Nayara mulai merasakan bayang-bayang masa lalunya yang gelap datang menghantui. Teror dari mantan yang selama ini ia coba sembunyikan perlahan muncul kembali, membuatnya gelisah tapi tetap berusaha kuat dengan gengsi yang tinggi. Sementara itu, Raka yang keras dan dingin mulai menunjukkan sisi lain—lebih peka terhadap masalah yang sebenarnya sedang dihadapi Nayara, walau caranya masih penuh sindiran dan tajam.

Ketegangan antara kedua circle juga makin memuncak. Rafi yang dulu dianggap teman mulai menunjukkan sikap mengkhianati, sementara Vendra dan gengnya semakin agresif. Perseteruan yang sempat mereda kini kembali menyala dengan ancaman yang semakin nyata.

Di bab ini juga kamu akan menemukan flashback singkat dari Nayara yang membuka tabir masa lalunya—apa yang membuat dia takut dan bagaimana itu memengaruhi sikapnya sekarang. Keduanya, Raka dan Nayara, berdiri di persimpangan yang sulit, memutuskan langkah yang akan membawa mereka ke konflik yang lebih dalam.

Siap-siap ya, suasana makin tegang, emosi semakin kompleks, dan cerita makin seru!

RAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang