Di antara bayang-bayang malam yang abadi, dua kekuatan kuno telah berseteru sejak awal sejarah: Vampir dan Serigala. Mereka bukan sekadar makhluk legenda, tapi bangsa-bangsa tersembunyi yang hidup dalam diam, berperang dalam senyap, dan menuliskan s...
Hai gaes kenalin aku adalah Adeline Kusuma Wijaya atau bisa kalian panggil dengan nama Delynn.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Umurku 23 tahun dan sekarang aku baru menempuh semester 6 jenjang S1 di program studi Design Interior.
Aku bukan siapa-siapa. Setidaknya, itulah yang selalu kupercaya. Aku tumbuh di antara para penjaga hutan, di sisi selatan lembah yang tak tersentuh perang. Ibuku seorang tabib, ayahku pemburu. Tidak ada yang luar biasa tentang kami, kecuali satu hal yaitu kami tetap hidup di alam yang sedang berperang.
Sejak kecil, aku bisa merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kilatan cahaya di ujung penglihatanku. Suara-suara bisu dalam bayang-bayang. Aku mengira aku gila atau dikutuk Sampai hari itu tiba.
Hari ketika aku bermimpi tentang seseorang pemuda yang memiliki satu mata merah dan satu mata abu-abu.
Setelah menceritakan mimpiku, Ibu dan ayahku bilang bahwa keluarga kami adalah keluarga "Penjaga Cahaya". Aku tidak pernah mengerti tentang apa itu keluarga "Penjaga Cahaya". Namun ayah pernah berkata bahwa penjaga cahaya adalah satu-satunya alasan dunia ini masih bisa bertahan.
Setiap munculnya sebuah kutukan maka satu penjaga cahaya akan hadir untuk menetralisir kutukan itu dari dunia.
"Semua memang akan sulit, Nak. Tapi percayalah bahwa dirimu dilahirkan untuk melengkapi dan mengisi ruang kosong dari kutukan yang tercipta."
Itu adalah kata-kata dari ibuku yang selama ini selalu kuingat.
Mungkin kalian ingin tahu bagaimana aku mengenal apa itu ras vampir dan serigala? Aku akan menceritakannya untuk kalian.
Suatu malam saat umurku 20 tahun, aku berjalan di hutan dan melihat sebuah kastil yang tersembunyi di sudut paling dalam serta sulit terlihat dari dunia luar, aku tidak tahu mengapa kastil tua itu seperti memanggilku. Tidak ada peta yang menuntunku ke sana. Tidak ada suara yang membisikkan arah. Tapi aku mengikutinya seperti arus air bawah tanah yang diam-diam menarik langkahku lebih dalam dan lebih jauh ke tempat yang sepertinya tak layak disentuh manusia.
Kastil itu sunyi, retak dan dipenuhi bayangan serta simbol-simbol kuno yang menyala samar saat aku melewatinya. Tapi aku tidak takut, ketakutan sudah lama mati bersamaku, sejak malam rumahku terbakar dan orang-orang yang kusebut keluarga lenyap dalam kobaran api dan cakar.
Aku berdiri di tengah lingkaran rune, menutup mata, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak sendirian.
"Aku tidak seharusnya ada di sini," kataku, nyaris berbisik.
Lalu dia datang, langkahnya nyaris tak terdengar tapi aku merasakan seperti ada badai dingin, tajam, dan menekan udara di sekelilingku. Aku berbalik perlahan dan melihatnya.
Seorang pemuda tidak jauh lebih tua dariku berdiri dalam bayang-bayang reruntuhan. Wajahnya tersembunyi sebagian oleh tudung, tapi matanya bukan mata manusia.
Yang kanan, merah menyala seperti bara api yang tak pernah padam. Yang kiri abu-abu, tenang dan dalam seperti kabut pagi yang menelan hutan. Keduanya bertemu pandanganku, dan untuk sesaat aku lupa bagaimana cara bernapas.
"Siapa kamu? Mengapa mata kamu seperti mata seseorang yang ada di mimpiku?" Tanyaku dengan suara yang lebih tenang dari yang kurasa.
Dia tidak langsung menjawab. Ia menelanku dengan pandangan yang tidak seperti milik manusia, seolah ia bisa melihat sampai ke tulang-tulangku, ke dalam rahasia yang bahkan belum kuketahui tentang diriku sendiri.
"Aku seharusnya yang bertanya," katanya akhirnya, suaranya datar tapi tak kosong. "Tempat ini terlarang untuk manusia."
Aku tersenyum kecil. "Lucunya, tempat ini justru memanggilku."
Ia tidak tertawa, dia tampak seperti seseorang yang sudah lama lupa caranya tersenyum.
Namanya Lily, kutahu belakangan ini bahwa dia adalah anak dari dua kutukan. Separuh vampir dan separuh serigala. Lily tidak diinginkan oleh kedua ras itu. Legenda gelap yang dibisikkan di antara para pemburu dan penjaga hutan perbatasan seperti keluargaku, sebagai dongeng atau peringatan.
Tapi ketika aku menatap wajahnya yang seolah terpahat dari malam itu sendiri aku tidak melihat monster. Aku melihat seseorang yang telah kehilangan terlalu banyak, terlalu cepat.
Tanpa berlama-lama Lily segera memegang pergelangan tanganku dan membawaku keluar dari hutan dengan waktu yang lumayan singkat.
"Jangan pernah ceritakan apapun tentang kastil itu, atau kamu tau sendiri akibatnya." Ucap Lily sebelum pergi meninggalkanku.
-o0o-
Setelah pertemuan singkat itu Lily pernah menyelamatkanku dua kali dalam satu minggu. Pertama, dari prajurit vampir yang menyangka aku penyusup dan kedua adalah dari diriku sendiri saat aku mencoba kabur dari peran yang dunia berikan padaku sebagai "Penjaga Cahaya", meski aku tak tahu artinya.
Ia tak pernah mengaku peduli, tapi ia selalu ada.
Aku melihatnya bertarung tanpa ragu, tanpa ampun. Tapi aku juga melihatnya duduk diam di bawah pohon mati, menatap langit malam seolah berharap bisa tidur seperti manusia biasa.
Ia bukan manusia. Tapi ia jauh lebih hidup daripada siapa pun yang pernah kutemui.
Suatu malam, aku bertanya kepada Lily, "Apa kau pernah berharap lahir sebagai satu hal saja? Vampir atau serigala? Bukan keduanya?"
Ia menoleh pelan. "Aku hanya berharap dilahirkan untuk sesuatu yang bukan perang."
Ada kesedihan dalam suaranya yang bahkan malam pun tak bisa sembunyikan.
Dari situ aku tahu, ia tidak mencari kemenangan. Ia mencari tempat yang bernama rumah dan entah kenapa perlahan aku ingin menjadi tempat itu.
Lucu, bukan? Dunia memanggilku penjaga cahaya, tapi akulah yang belajar melihat dari seseorang yang hidup di tengah bayang-bayang. Ia mengajarkanku bahwa kekuatan tidak selalu berarti menghancurkan. Kadang, kekuatan adalah bertahan hidup saat dunia menginginkanmu lenyap.
Lily tidak pernah mengaku takut, tapi aku melihatnya. Dalam tatapan matanya saat bulan merah menggantung rendah. Dalam caranya menegang setiap kali aku menyentuh pergelangan tangannya yang penuh bekas rune dan luka lama.
Jadi aku berbicara untuknya, aku tertawa saat dia tidak bisa, aku bernyanyi saat ia lupa dunia punya musik. Perlahan tapi pasti ia mulai terlihat bisa menikmati itu semua.
Suatu malam, ketika langit dipenuhi bintang jatuh, kami duduk di atas tebing batu. Angin malam menusuk tulang, tapi aku merasa hangat di dekatnya.
"Aku tidak mengerti dunia ini, Lily," kataku. "Mengapa kekacauan seperti ini harus ada?"
Ia menatap langit, lalu menatapku. "Karena dari kekacauan, sesuatu yang baru bisa lahir. Dunia membenciku karena aku tidak seperti mereka. Tapi kau mengingatkanku bahwa berbeda tidak berarti salah."
Aku tidak tahu apakah aku jatuh cinta malam itu. Tapi aku tahu, saat ia menggenggam tanganku dengan tangan yang biasanya mencengkeram pedang atau mencakar musuh ia melakukannya seolah aku satu-satunya yang masih layak disentuh.
Dan aku tahu aku akan bertarung demi dia, sama seperti ia bertarung demi dunia yang tak pernah memberinya tempat.