Langkah mereka menyusuri lorong utara terasa lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara—bahkan gemerisik pun seolah ditelan dinding. Peta di tangan Kai memandu langkah-langkah mereka turun ke bagian terdalam sekolah yang tak pernah dicatat dalam denah resmi.Setelah melewati anak tangga ke-13, mereka sampai pada sebuah pintu besi tinggi, berbeda dari sebelumnya. Di atasnya tertulis satu kata besar:
“ARSIP OTAK.”
Dian melotot. “Arsip... otak? Ini apaan lagi?”
Arvin menatap pelat besi itu. “Mungkin… bukan arsip dokumen, tapi arsip ingatan.”
Salma bergidik. “Jadi mereka... menyimpan memori orang?”
Rhea menyentuh gagang pintu. “Mereka nggak cuma mengamati. Mereka menyimpan bagian-bagian dari subjek eksperimen.”
Kai mendorong pintu perlahan.
Ruangan itu seperti laboratorium terbengkalai. Rak-rak besi berisi ratusan toples kaca berjajar rapi. Di dalamnya... benda-benda kecil yang tak mereka kenali—berbentuk mirip kepingan otak, tapi berwarna putih pucat dan mengambang dalam cairan bening.
Di tiap toples, tertera label: Subjek 01 – Fragmen 3, Subjek 02 – Fragmen 1, dan seterusnya.
Namun satu rak kosong. Di labelnya tertulis:
Subjek 05 – Semua Fragmen Dipindahkan ke INTI.Kai mengepalkan tangan. “Berarti… semua potongan dari anak itu, semua memori, semua kekuatannya... dikumpulkan di satu tempat.”
“Dan kita menuju ke sana,” bisik Rhea.
Dian berjalan ke ujung ruangan, dan menemukan pintu lain—lebih kecil. Ia membukanya, dan udara dingin menyerbu keluar seperti kabut. Di dinding, ada ukiran kecil:
“Langkah berikutnya adalah ujian terakhir.”
Begitu mereka melewati pintu itu… terjadi sesuatu.
Tiba-tiba lampu senter padam bersamaan.
Gelap total.
Lalu… satu per satu, mereka berdiri sendirian. Terpisah.
Rhea membuka mata.
Ia tak lagi di lorong. Ia berdiri di tengah ruang kelas—kelas 3C. Di depannya berdiri sosok ibunya yang sudah meninggal, memanggilnya lembut.
“Pulang, Nak… kau nggak perlu takut lagi…”
Rhea melangkah maju. Tapi sesuatu di dalam dirinya menolak.
“Ini bukan nyata…” bisiknya.
Tapi suara ibunya makin meyakinkan, hangat, menenangkan.
“Rhea!” tiba-tiba suara Kai terdengar di kepalanya.
Dia menoleh cepat. Suara itu nyata. Dari dunia nyata.
“Aku ingat kamu!” teriak Kai lagi. “Ingat kita! Jangan hilang!”
Rhea menggigit bibir. Matanya meneteskan air mata.
Tapi ia berlari menjauh dari sosok ibunya, menembus kabut.
Dan tiba-tiba… ia kembali ke lorong. Nafasnya berat. Ia berlutut. Kai di sana. Memegang tangannya.
“Aku pikir aku hilang,” gumam Rhea.
“Kamu hampir.”
Mereka mulai menemukan yang lain satu per satu—Arvin yang terkunci dalam kenangan masa kecilnya yang penuh kesepian, Salma yang terperangkap di masa ketika ia hampir menyerah hidup, Dian yang nyaris tinggal bersama versi dirinya yang “tak pernah memilih ikut ke ruang bawah tanah.”
Setelah semuanya berkumpul kembali, mereka menatap pintu terakhir. Kali ini tak ada tulisan.
Hanya keheningan. Dan rasa dingin.
Kai bicara pelan, “INTI bukan cuma tempat. Ini ruang di mana semua ketakutan, kenangan, dan kehilangan dikumpulkan. Ini... ujian akhir.”
Arvin menggenggam senter lebih erat. “Kalau kita gagal, kita nggak cuma hilang. Kita dilupakan. Dan semua yang kita alami... seolah nggak pernah ada.”
Rhea melangkah ke depan, membuka pintu perlahan.
Cahaya merah keluar dari dalam.
Dan mereka pun melangkah... masuk ke jantung rahasia yang telah mengintai sekolah mereka selama puluhan tahun.
---
Selamat membaca jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote cerita ini—Terimakasih

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak yang terkubur- (ongoing)
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah tua yang tampak biasa, lima sahabat tanpa sengaja menemukan potongan surat usang yang menyimpan rahasia kelam dari puluhan tahun lalu. Rhea, Kai, Salma, Arvin, dan Dian awalnya hanya penasaran. Tapi semakin dalam mereka menyelidiki...