Butuh lebih dari sekadar keberanian untuk sampai ke tempat itu.Mereka sudah melewati lorong-lorong sempit yang seolah bernafas di belakang punggung mereka, melewati pintu-pintu tua yang berderit seperti mengeluh, dan menuruni tangga spiral yang tak tampak ujungnya. Namun tak ada satu pun yang menyiapkan mereka untuk ruangan INTI.
Saat pintu terakhir terbuka otomatis, angin dingin menyapu wajah mereka. Berbeda dari ruangan-ruangan sebelumnya yang gelap dan berdebu, ruangan ini justru... putih. Terang. Dingin. Seperti laboratorium rahasia dalam film fiksi ilmiah.
Langkah kaki mereka menggema saat memasuki ruangan bundar besar itu. Di sekelilingnya, layar-layar kaca bening menyala satu per satu, menampilkan wajah-wajah. Anak-anak. Senyum mereka kosong. Bola mata mereka menatap tajam, seakan memohon, atau mungkin... memperingatkan.
Di tengah ruangan, berdiri satu kursi besi. Di atasnya terpasang helm logam besar berbentuk seperti mahkota. Kabel-kabel menjulur dari helm itu, merambat ke lantai seperti akar-akar yang haus darah.
Kai berhenti di depan kursi itu.
"Ini bukan cuma alat," gumamnya. "Tempat ini hidup."
Seketika, suara mekanis muncul dari udara. Suara netral, seperti komputer yang berbicara tanpa emosi.
"Selamat datang. Kalian telah mencapai INTI. Pusat memori kolektif."
Semua terdiam. Bahkan nafas mereka terdengar berat. Rhea menatap ke sekeliling, mencoba menyusun kepingan puzzle yang selama ini tersebar.
Layar-layar mulai bergerak. Menampilkan potongan gambar dari masa lalu: laboratorium tersembunyi di bawah sekolah, anak-anak mengenakan seragam putih, wajah pucat, tubuh kurus. Ada yang menangis. Ada yang pingsan. Dan satu di antaranya hanya duduk diam... menggambar.
Wajah anak itu... sangat familiar.
"Subjek 05..." bisik Salma.
"Subjek 05 bukanlah satu individu. Ia adalah representasi. Sebuah jiwa kolektif yang terbentuk dari puluhan memori anak-anak yang gagal. Yang dibuang. Yang dihapus."
Kai menatap layar, keningnya mengerut. "Maksudnya... dia bukan satu orang?"
"Benar. Subjek 05 adalah fragmen dari setiap anak yang pernah diuji di sini. Namun karena tak mampu menanggung beban memori, ia membagi dirinya. Ke dalam ruang-ruang. Gambar-gambar. Suara-suara. Bahkan... ke dalam kalian."
Layar tiba-tiba menyala merah. Lampu ruangan berdenyut seirama dengan detak jantung. Di atas kursi, helm bersinar.
"Satu dari kalian harus menyambung kembali ingatan. Jika tidak... semua akan terhapus. Ingatan, kebenaran, dan mereka yang tertinggal."
Ketegangan meluap.
Kai melangkah maju tanpa ragu.
"Aku akan melakukannya."
"Jangan gegabah!" seru Rhea, mencoba menarik lengannya.
"Aku udah lihat terlalu banyak. Aku merasa... ini bagian dari aku. Aku gak tahu kenapa, tapi helm itu... memanggil aku."
Salma menggigit bibirnya. "Kalau kamu kenapa-kenapa..."
Kai tersenyum. "Kalau aku nggak lakukan ini, kita gak akan pernah tahu siapa yang harus kita lawan."
Helm perlahan turun, menyelimuti kepala Kai. Kabel-kabel berdenyut seperti ular yang terbangun. Layarnya menyala terang-gambar-gambar bergerak begitu cepat: wajah-wajah anak, catatan eksperimen, ruangan penuh tangis.
Kai terdiam.
Lalu tubuhnya menegang.
Layar-layar di sekeliling mereka mulai menjerit-bukan suara speaker, tapi jeritan asli. Ratusan. Ribuan. Seakan suara dari bawah tanah, dari ingatan-ingatan yang selama ini dikubur paksa.
Dan kemudian, Kai berbisik.
"Subjek 05... ada di dalam kita semua."
---
Selamat membaca jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote cerita ini-Terimakasih

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak yang terkubur- (ongoing)
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah tua yang tampak biasa, lima sahabat tanpa sengaja menemukan potongan surat usang yang menyimpan rahasia kelam dari puluhan tahun lalu. Rhea, Kai, Salma, Arvin, dan Dian awalnya hanya penasaran. Tapi semakin dalam mereka menyelidiki...