Ruangan rapat BEM terasa pengap dan tegang. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan diskusi tentang program kerja kebersihan kampus masih berlarut-larut tanpa hasil. Seharusnya ini rapat sederhana, tapi Tee, dengan segala usahanya, merasa kesulitan mengendalikan situasi. Suara-suara beradu, ide-ide saling tumpang tindih, dan tidak ada satu pun keputusan yang bisa diambil. Raut wajah lelah tergambar jelas di wajah para fungsionaris.
"Oke, oke, dengarkan sebentar!" Tee mencoba menaikkan suaranya, tapi ia merasa sedikit bergetar. "Jadi, kita akan fokus pada daur ulang sampah plastik dulu, baru setelah itu... "
"Tapi, Tee, menurut saya, yang paling penting itu sosialisasi pemilahan sampah. Percuma kita daur ulang kalau dari awal mahasiswanya nggak peduli," Louis memotong, nadanya datar namun tegas.
"Benar juga," Neo menimpali, "Lagian tong sampah di kampus itu masih campur semua. Percuma dipilah kalau ujungnya dibuang jadi satu."
"Nah, itu dia masalahnya! Kita butuh koordinasi dengan pihak kampus untuk pengadaan tong sampah terpisah, bukan cuma sosialisasi yang nggak akan efektif!" seru Force, suaranya mulai meninggi karena frustrasi.
"Ya, tapi anggarannya gimana?" Book menimpali, ia terlihat memijat pelipisnya. "Dana kita kan terbatas."
Tee memejamkan mata, kepalanya pening. Semua argumen itu valid, tapi tidak ada yang mau mengalah. Ia merasa kewalahan. Biasanya, Dew yang akan menemukan solusi cepat, menengahi, dan mengambil keputusan tegas. Tapi sekarang, ia sendirian. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
Tiba-tiba, pintu ruangan rapat terbuka. Sosok Dew muncul di ambang pintu, menatap suasana kacau di depannya dengan tatapan datar. Ia mengenakan kaus polos dan celana jins, jauh dari kesan rapi layaknya seorang ketua BEM. Kehadirannya sontak membuat semua mata tertuju padanya. Suasana yang tadinya gaduh langsung hening.
Tee merasakan jantungnya mencelos. Napasnya tercekat. Dew? Untuk apa dia di sini? Rasa marah yang selama ini terpendam, mendadak membuncah dengan kekuatan ganda.
Dew melangkah masuk, menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, lalu berhenti pada Tee. "Sepertinya rapat kalian cukup menarik." Suaranya tenang, namun ada nada sarkasme yang jelas di sana.
"Dew? Lo ngapain di sini?" tanya Force, suaranya sedikit canggung.
Dew tidak menjawab Force, matanya tetap terpaku pada Tee. "Sepertinya kalian punya masalah serius, ya? Bahkan untuk program kebersihan kampus saja bisa serumit ini."
Tee merasakan panas menjalar ke wajahnya. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja. Beraninya Dew bicara seperti itu setelah meninggalkan mereka dalam kekacauan ini?
"Apa maksud lo?" tanya Tee dingin, berusaha menahan emosinya.
Dew menghela napas, seolah ia sedang menghadapi sekumpulan anak kecil. "Maksud saya, jelas sekali kalian tidak punya pemimpin yang bisa mengendalikan situasi. Program kerja yang seharusnya sederhana, malah jadi ajang debat kusir tidak jelas."
Kata-kata itu bagai bom yang meledak di dalam diri Tee. Ia sudah lelah, stres, dan merasa tidak dihargai. Dan sekarang, Dew datang untuk mengkritik di depan semua orang, seolah dia masih punya hak untuk menilai. Darahnya mendidih. Semua emosi yang ia tahan selama ini, semua kekesalan atas pengunduran diri Dew yang mendadak, semua beban yang ia pikul sendiri, kini mencapai puncaknya.
Tee bangkit dari kursinya, membanting telapak tangannya ke meja. Suara keras itu membuat semua orang terlonjak kaget. "Cukup, Dew! Lo nggak punya hak buat ngomong kayak gitu!" Suaranya bergetar hebat, air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.
Dew mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut dengan reaksi Tee yang meledak-ledak. "Saya hanya menyampaikan fakta, Tee. Lihatlah sendiri. Kalian kacau."
"Kacau kata lo?! Kita kacau karena lo yang bikin kacau!" Tee tidak bisa menahan diri lagi. Semua kata-kata pahit yang ia simpan, kini menyembur keluar seperti letusan gunung berapi. "Lo yang ninggalin kita semua di tengah jalan! Lo yang seenaknya sendiri cabut tanpa mikirin gimana nasib kita di sini! Lo pikir gampang jadi gue, hah?! Ngurusin semua hal yang biasanya lo handle sendirian?!"
Napas Tee memburu, dadanya naik turun dengan cepat. "Lo enak banget, kan? Bisa santai-santai, nggak peduli sama sekali. Sementara gue? Gue harus berjuang mati-matian buat nutupin kekosongan yang lo ciptain! Gue harus belajar dari nol, Dew! Belajar jadi pemimpin yang nggak pernah gue bayangin sebelumnya!"
Force, Book, Neo, dan Louis menatap Tee dengan mata terbelalak. Mereka belum pernah melihat Tee semarah ini. Suasana ruangan semakin mencekam.
"Lo bilang ini yang terbaik buat lo? Terus gimana sama gue?! Gimana sama kita semua yang lo tinggalkan?!" Tee menunjuk Dew dengan jari gemetar. "Lo pengecut! Lo cuma bisa lari dari masalah lo sendiri dan lempar tanggung jawab ke orang lain!"
Mata Dew sedikit melebar. Ekspresinya yang tadinya datar, kini menunjukkan sedikit keterkejutan, lalu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. Rahangnya mengeras.
"Lo tahu nggak gimana rasanya harus berhadapan sama Profesor Sutthipong sendirian? Gimana rasanya harus bikin keputusan yang salah sedikit aja bisa fatal buat BEM ini?!" Tee melanjutkan, tanpa memberi kesempatan Dew untuk bicara. "Gue nggak minta lo jadi pemimpin, Dew! Gue nggak minta lo ngurusin semua ini! Tapi kenapa harus gue yang kena getahnya?! Kenapa lo harus ninggalin gue?! Lo pikir gue ini apa?! Papan catur yang bisa lo mainin sesuka hati lo?!"
Tee terengah-engah, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Lo emang cuma bisa lari, Dew! Lo cuma bisa mikirin diri lo sendiri! Lo nggak pernah peduli sama orang lain! Lo nggak peduli sama gue! Gue benci lo, Dew! Gue benci banget sama lo!"
Setiap kata Tee adalah pukulan telak yang menghantam Dew. Wajah Dew memerah, matanya mulai berkaca-kaca, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, diam, menerima setiap hujatan, setiap kata pedas yang keluar dari mulut Tee. Bahunya sedikit merosot, seolah semua bebannya mendadak menjadi sangat berat. Ekspresi di wajahnya berubah dari amarah yang samar menjadi rasa sakit yang begitu kentara. Ia menatap Tee dengan tatapan yang hancur, namun juga pasrah. Sebuah tatapan yang belum pernah Tee lihat sebelumnya.
Tee melihat itu, melihat bagaimana mata Dew yang tadinya dingin kini dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia melihat bagaimana Dew, sosok yang selalu tampak kuat dan tak terkalahkan, kini terlihat begitu rapuh. Tapi amarahnya sudah terlalu besar untuk bisa ia kendalikan. Ia sudah terlalu lelah untuk peduli.
"Pergi, Dew!" Tee berteriak, suaranya serak. "Pergi dari sini! Gue nggak butuh lo! Gue nggak mau lihat muka lo lagi! Gue bisa urus ini semua sendirian!"
Dew menatap Tee sekali lagi, tatapan pasrah itu semakin jelas. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Dengan bahu yang merosot, ia berbalik. Langkahnya pelan, tidak sekuat saat ia datang. Ia berjalan keluar dari ruangan rapat, meninggalkan keheningan yang menyesakkan di belakangnya.
Tee ambruk di kursinya, air mata mengalir deras. Ia sudah meluapkan semuanya. Tapi anehnya, ia tidak merasa lega. Hanya ada kekosongan, dan sedikit rasa takut.
To be continued.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow [DewTee]
Fanfiction"Dew," panggil Tee, suaranya tercekat. "Lo nggak bisa lakuin ini ke gue." Dew hanya menghela napas panjang. "Maaf, Tee. Tapi ini adalah yang terbaik." Yang terbaik? Bagaimana bisa ini yang terbaik? Tee merasa dadanya sesak. Ia merasa terbebani, mara...