Bagi sebagian wanita, mencari uang adalah cara paling mudah yang bisa dilakukan.
Itu adalah kalimat Galuh yang kuprotes mati-matian hingga nyaris memukul mulutnya. Di kampung, para perempuan hanya akan berakhir menjaga asap dapur supaya tetap mengepul, nggak ada tempat lebih bagus dari pada itu. Kamu bisa bilang aku salah kalau hendak memasukkan warung klontong pasar adalah tempat yang lebih baik. Pada akhirnya, jika ingin memaksa "pekerja" dapat dengan mudah disandangkan di samping perempuan, pelayan suami adalah pekerjaan paling tinggi yang bisa didapat seorang perempuan.
Tapi protesku kehilangan suara sehari setelah Galuh menggeretku menyusuri gang-gang kecil Surabaya, daerah kumuh yang ganjilnya berpenghuni wanita-wanita ayu nan gemulai berpenampilan mewah.
"Mereka menguangkan harta demi kehidupan semacam ini," kata Galuh waktu itu. Aku baru sadar, para perempuan itu berpenampilan familiar dengan tampilan Galuh. "Nggak punya apapun selain uang."
Aku mengernyit. "Cuma uang satu-satunya yang dibutuhin buat mendefinisikan seseorang punya segalanya."
"Termasuk harga diri?"
Anggukanku nyaris tergerak yakin, namun urung ketika mataku menangkap tubuh perempuan terselimut lengan pria bersetelan jas mahal keluar dari salah satu pintu rumah kumuh.
Galuh menyadarkanku lewat realita gang tersebut kalau harta seorang wanita bisa menjadi bak dua sisi mata uang. Sejak hari itu, aku mengalami waktu-waktu tidak nyaman apabila harus bersinggungan dengan topik harta wanita.
Jadi, ketika Galuh melemparkan ide gilanya soal apa yang harus dilakukan terkait kesembuhan Stenley, aku diam. Sebagai teman, aku merasa tidak punya hak untuk menasihati Galuh. Dia sudah lebih dari pantas untuk paham akan konsekuensi dari pilihan hidupnya.
Demi memotong perbincangan yang terancam berlanjut, aku bangkit dari kasur lantai, berjalan keluar kamar dan membawa apa saja yang bisa kubuang untuk dilempar ke keranjang di depan pintu.
"Serius, rumah ini lebih cocok disebut rumah kecoa daripada tempat tinggal manusia."
Suara nyaring khas remaja laki-laki membuatku menoleh kiri, mendapati tiga-lima cowok berseragam awut-awutan berdiri di depan kamar losmen tepat di sebelah kamarku, mengamati pintu dengan tatap menghujat. Aku hendak menyahut lantaran tersinggung, tapi teringat kesan pertamaku yang serupa pada losmen ini, aku urung dan masuk kamar, menutup pintu keras-keras dan bisa kudengar umpatan terkejut dari bocah-bocah SMA di luar.
Kataku saat tiba di sebelah Galuh, "Kamar sebelah ada yang nempatin."
Galuh mengangguk sambil menggigiti kuku, meludah ke pojok sebelum menyahut, "Tadi ada gue pas mereka lihat-lihat kamar sama Bu Sun."
"Masih bocah."
"Gue nggak tahu apa lima-limanya mau desek-desekan sekamar, tapi ada satu yang ganteng. Gue harap, sih, bocah itu aja yang di mari, umpama empat lainnya cuma nemenin lihat-lihat."
Cebikanku menguar, memukul pelipis Galuh yang mengambil alih tempat di atas kasur. "Bocah SMA mana punya duit."
"Gue suka beramal, kali."
Sialan cewek ini. Aku nggak akan meragukan jiwa liarnya.
®®®
Aku sudah lama menanggalkan seragam sekolah, artinya nggak perlu bangun pagi-pagi lagi supaya lolos dari upacara penyambutan guru BK di depan gerbang sekolah. Tapi sekarang aku harus mengulangi rutinitas menyebalkan itu untuk bisa bertahan hidup. Pukul setengah tujuh, aku keluar kamar, sudah rapi seperti anak sekolah, minus seragam.

ANDA SEDANG MEMBACA
To Be Normal
General FictionDesika Anintyas nekat pergi ke kota besar hanya dengan berbekal enam puluh ribu di saku celana. Kerasnya hidup tak memberi cewek kampung itu banyak pilihan bertahan hidup selain menjadi baby sitter seorang cowok autis berusia 23 tahun. ??? ?Haliers...