抖阴社区

17) Tekad

94 7 2
                                    

     Semalam ...

     Aku nyengir lantaran si bocah tanggung di hadapanku benar-benar membelikan martabak manis buatku. Demi berterima kasih, kuajak dia makan bersama di teras losmen, meski sebenarnya Jafran hanya menemaniku menghabiskan martabak yang dia belikan. Dia sama sekali nggak mau menyentuh makanannya meski sudah kujejalkan sepotong martabak ke mulutnya.

     Saat aku mendongak dari tatapan lapar ke martabak manis menuju cowok di sebelahku, kudapati Jafran sedang menekuri wajahku dalam diam. Matanya berkedip sekali sesaat setelah tatapan kami bersiborok.

     Aku nyengir lagi.

     "Kamu banyak duit, ya?" kataku memamerkan gigi, nggak peduli kalau-kalau ada meses yang nyangkut. "Aku dibeliin martabak super istimewa, masa!"

     Dipuji begitu Jafran cuma mendecis, persis aja kayak remaja pada umumnya yang terlalu gengsi merespon pujian yang dilontarkan buat mereka.

     Aku, sih, masa bodo dengan sikapnya. Berasa sudah mati rasa saking tingginya tingkat toleransiku terhadap bocah satu ini. Nggak tahu kenapa, aku selalu bisa memaafkan atau memaklumi separah apapun tingkahnya yang dia perlihatkan padaku. Begitu-begitu aku bisa ngerasain kalau sebenarnya dia pun menaruh rasa peduli padaku. Martabak manis ini salah satu bentuk nyata empatinya terhadapku.

     Jafran bagiku sudah seperti adik sendiri. Bertahun-tahun hidup sebagai anak tunggal, baru kali ini aku bisa merasakan gimana rasanya harus menekan ego dan emosi hanya untuk hidup harmonis dengan saudara. Meski nyatanya secara teknis aku sudah punya saudara tiri akibat pernikahan Ibu kemarin, aku nggak tinggal cukup lama untuk merasakan bagaimana rasanya tinggal dengan saudara. Diberi kesempatan pun aku tetap nggak mau kalau saudara tiriku adalah mantan pacarku sendiri, lebih-lebih kami berpisah adalah karena pernikahan kedua orangtua kami. Tinggal jauh adalah pilihan terbaik.

     Omong-omong soal tinggal jauh, Surabaya sudah menjelma menjadi kota yang tidak akan aku lupakan begitu saja. Belum juga genap setahun menjadi salah satu manusia yang memadati kota yang selalu panas ini, aku sudah jatuh cinta pada segala hal yang kutemui di sini. Aku mendapat seseorang di luar garis keturunan yang memperlakukanku sebaik saudara menjamu saudaranya saat datang berkunjung ke rumah.

     Intinya, aku bakal betah tinggal berlama-lama di sini, sampai akhirnya satu pertanyaan Jafran mulai menggoyahkan tekadku.

     "Lo mau sampai kapan di sini?" katanya, padahal dia jelas melihat pipiku menggembung penuh. "Gue tahu cowok kemarin datang pasti untuk menjemput lo pulang, kan?"

     Padahal rencananya sepulangnya aku dari semua masalah hari ini, aku bakal menutupnya dengan martabak manis ini, atau kalau perutku masih cukup aku bakal menambah seporsi rujak bersama Galuh di depan gang. Tapi Jafran nggak mau membiarkan aku damai dengan keadaan.

     "Kalau lo yakin dia orang baik, harusnya lo ikut aja."

     "Kamu bilang dia penjahat kelamin, loh," aku membalas jenaka, menunduk demi mengambil sepotong lagi martabak, padahal sebenarnya hanya karena aku nggak cukup berani menatap mata Jafran. "Masa aku suruh ikut orang begituan. Lagian kan harusnya kamu yang ngasih aku penjelasan, aku lebih berhak dibanding kamu yang harus tau penjelasanku."

     "Udah gue bilang gue dijebak, nggak ada buntut apa-apa masalah kejadian kemarin. Sekarang masalah yang lebih serius sedang dihadapi sama lo, dan lo masih mau bilang masalah gue yang lebih patut dijelaskan dan dicari solusinya?"

     " ... "

     "Surabaya jahat," katanya lagi. "Mau sampai kapan lo jadiin kota ini sebagai pelarian?"

To Be NormalTempat di mana cerita hidup. Terokai sekarang