[Completed]
"Kengeriannya, ketakutannya, depresinya. Bahkan aku seolah-olah bisa mendengar pekikan ngilu kawanan mereka, begitu nyaring. Serta tusukan tombak perak yang menembus dada kiriku, memecahkan jantungku dan mematahkan seluruh tulang rusukku...
Jenkinson kembali memimpin jalan. Agaknya pemuda itu begitu tekun mempelajari setiap sudut dari lorong gelap itu demi melarikan diri. Tangan kecilnya berfungsi sebagai mata di kegelapan. Serta telinganya dipasang tajam, takut-takut ada gema dari langkah kaki bukan rombongannya. Mendadak ia berhenti, nafasnya tertahan, ia pun menoleh pada Hendery.
"Ada orang lain di depan kita." Bisik Jenkinson tipis, hampir-hampir menyatu dengan udara. Hendery mengangguk dan ikut menahan nafas.
Sejenak mereka bingung dan tak berkutik. Lalu Jenkinson memutuskan untuk pergi menghadang lawan mereka. "Jika dia Albert maka akan kupatahkan tulang hidungnya, jangan khawatir."
Perkataan itu terdengar siap dan lugas, namun tetap saja Hendery gelisah. Jika pada akhirnya putra semata wayang dari Kepala Angkatan Perang Jenkinson cedera atau terluka karena kelalaiannya, seumur hidup pasti ia dibayangi oleh rasa bersalah yang begitu besar. Belum lagi cemoohan yang sewaktu-waktu bisa ia dilontarkan oleh perwira-perwira lain, para gadis pelayan menggosipinya dan Yudith pasti akan kecewa sekali padanya. Tapi sesuatu yang besar dalam diri Jenkinson Muda membuatnya enggan mengutarakan pendapatnya.
Jenkinson yang penuh ambisi itu melepaskan genggaman tangannya dari Hendery dan maju perlahan. Hendery diam di tempat. Pelukannya pada Taylor semakin erat, memastikan wanita itu tetap hangat. Jika dia tak berhasil menjaga Jenkinson II, maka setidaknya dia telah berjasa menyelamatkan Ibunya sekaligus kakak Yudith, Taylor, yang berharga.
Namun tiba-tiba dirasakannya kembali Jenkinson meremat ujung jubahnya. Bahaya datang, insting prajurit Hendery keluar. Ia berdiri tegap dan matanya awas menelisik kegelapan. Samar-samar, terlihat bayangan hitam orang yang besarnya hampir menutup isi lorong berjalan mendekati mereka, sehingga tak ada celah sedikitpun untuk mereka selain mundur kembali.
Hendery menepuk punggung tangan Jenkinson lembut untuk menenangkannya. Diserahkannya tubuh Taylor lalu ia maju dengan gagah berani ke depan. Semakin dekat Hendery dengan orang itu, semakin jelas bahwa dia adalah Albert yang sudah bangun dari hantaman batu Jenkinson di tulang hidungnya.
Hendery menghentikan langkahnya, "Albert, apakah itu kau?"
Tak terdengar apapun selain hembusan nafas yang berat dan geraman yang kasar. Hendery berkata lagi dengan sopan, "Albert, kami ingin keluar, bisa kau minggir sedikit?"
Namun reaksi Albert tak disangka-sangka. Pria besar itu mengamuk dan menyerang Hendery. Mereka berdua ambruk ke tanah. Melihat celah itu, Jenkinson yang lincah melompati mereka dan berlari sekencang mungkin. Albert sadar akan tawanannya yang kabur, bangkit dan mengejar mereka dengan langkah seperti dentuman gajah. Hendery ikut bangun dan berlari sambil berteriak pada Albert agar berhenti.
Di luar gua, Jenkinson yang tak kuasa lagi berlari dan menggendong Ibunya duduk kelelahan. Tak lama Albert keluar dan hendak menangkap mereka kembali. Raut pucat Jenkinson semakin kentara melihat beberapa prajurit lain sudah siap menghadang mereka.
Jenkinson terkepung. Para prajurit berpedang mendekatinya hendak menangkapnya lagi. Jenkinson tak mau dikurung lagi. Ia muak. Ia ingin bebas. Tapi sekujur tubuhnya lemas dan tak sanggup memberontak. Dengan kekuatannya yang tersisa, ia merengkuh ibunya yang terkulai lemah tak berdaya.
Albert mengikatkan tambang dengan kasar ke kedua tangan Jenkinson. Jenkinson meringis, tapi ia tak boleh lemah. Di tengah kekacauan ini ia harus masih sanggup berpikir. Ia pasti bisa kabur dengan selamat dan menyerahkan Ibunya kepada Ayahnya untuk diobati. Ia harus berpikir. Ia sungguh-sungguh harus berpikir.
Tiba-tiba sebuah anak panah terbang di antara Albert dan Jenkinson dan menancap beberapa senti dari salah seorang kawanan prajurit.
"Berhenti!" Seru Hendery yang baru keluar dari gua. Albert dengan geram menoleh kepadanya, namun seketika ekspresinya berubah menjadi ketakutan.
Hendery mengangkat busur dan mengarahkannya pada Albert. "Jatuhkan senjata kalian! Jatuhkan sekarang juga!"
Jenkinson mengerjap. Pemuda yang ditemuinya tadi, murid dari Ayahnya. Tapi kenapa semua orang bergetar ketakutan hanya karena ia mengangkat busurnya? Mereka adalah prajurit berbaju besi yang seharusnya tak akan bisa ditembus anak panah.
Iris hitam Hendery bertemu dengan pandangan Jenkinson. Hendery mengangguk kecil kepadanya.
Para prajurit menjatuhkan pedang-pedang mereka dan mengangkat tangan. Albert merangkak dan bersujud kepada Hendery.
"Tuan Letnan, kemana saja engkau? Kami kehilangan arah, ya betul, kehilangan arah. Tinggallah disini, kami butuh, butuhkan dirimu."
Hendery berjongkok di hadapan Albert. Ditatapnya wajah bulat dengan gigi taring yang panjang itu lekat-lekat. Lalu ia bangkit dan berkata pada kawanan prajurit.
"Kalian diam disini dan berpura-puralah tertidur," Hendery memberi instruksi dengan suara pelan. "Jika kalian ditanya apapun mereka," Ia menunjuk Mary dan Jenkinson II, "maka jawablah kalian sayup-sayup melihat bayangan berlari menuju arah utara." Ia bangkit berdiri. "Jika kalian tidak mengacau, aku berjanji akan melepaskan kalian sesegera mungkin."
Para kawanan prajurit menunduk tanda penghormatan. Hendery menarik Albert yang sedang bersujud berdiri dan menyuruhnya untuk duduk dan tertidur. Setelah Albert menurut, Hendery mendatangi Taylor dan Jenkinson.
"Ayo pergi," ujarnya sembari mengangkat tubuh Taylor dengan lembut.
Jenkinson terperangah dan mendongak pada Hendery. "Siapa- kau?"
Hendery tersenyum. Cahaya bulan yang menerpa wajahnya membuat matanya seolah berkilat menatap Jenkinson. Kelam dan dingin serta membawa ketenangan. Ia memberi tanda penghormatan kepada Jenkinson.
"Letnan Hendery, Tuan Muda."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.