抖阴社区

67

264K 28.8K 18.6K
                                        

Dalam mimpinya sangat gelap, dan cahaya samar-samar di sana sepertinya terpancar dari kulit pucat Alvaska. Kana tidak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika dia menjauh, meninggalkannya dalam kegelapan. Tidak peduli seberapa cepat Kana berlari, dia tidak bisa mengejarnya. Tidak peduli betapa keras Kana memanggil, Alvaska tidak pernah berbalik. Karena ketakutan, Kana terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi untuk beberapa jam setelahnya. Ketika dia kembali menutup mata, Alvaska nyaris selalu ada dalam mimpinya, tapi selalu berwujud bayangan yang tidak pernah bisa dia jangkau.

"He's gone.."

--Alvaska--

Pukul delapan pagi, Alvaska mengerang, masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Salah satu matanya terbuka, setengah sadar. Pandangannya terlihat berbayang. Dia memegangi kepalanya terasa pusing. Alvaska mencoba untuk duduk, tapi tubuhnya sama sekali tidak bergerak sedikit pun. Dia masih terbaring, membuat cowok itu menghela napas kasar. Alvaska membenci dirinya ketika terlihat lemah.

Beberapa saat kemudian, Alvaska seperti mendengar suara pintu terbuka. Dia menoleh dan mendapati Kana tengah berjalan ke arahnya sambil membawa semangkuk bubur dan juga susu coklat kesukaannya. Kana duduk di tepi ranjang yang bersebelahan dengan Alvaska. Cewek itu menyentuh dahi Alvaska dengan punggung tangan. Panasnya sudah mulai mereda, tidak sepanas tadi malam.

"Pusing," bisik Alvaska. Cowok itu menggenggam tangan Kana yang masih berada di atas dahinya. "Sayang, elus...."

Kana mengusap dahi Alvaska lembut, penuh perhatian. "Masih pusing?"

Alvaska menggeleng. Matanya tertutup sayu. "I love you."

"Gue tau." Kana tersenyum. "Love you to."

Alvaska membuka mata, menatap Kana nanar. "Jangan."

Kana menatap wajah Alvaska lama, tidak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa, dia tidak punya keinginan untuk bertanya lebih jauh. Kana memiliki firasat, kalaupun bertanya, jawaban Alvaska akan lebih menyakitkan.

"Makan, ya? Lo pasti lapar," kata Kana mengalihkan pembicaraan.

Alvaska mengangguk lemah. "Bantuin gue bersandar, gue lemes banget," bisiknya.

Kana meletakkan mangkuk bubur yang dia pegang ke atas nakas, lalu meyelipkan tangan kirinya ke tengkuk leher Alvaska yang terasa panas, mambantu cowok itu untuk bersandar ke headboard.

Alvaska menarik ujung bibirnya, tersenyum lemah. Dan di detik itu juga, bibir cowok berdesis saat dadanya tiba-tiba tiba-tiba saja terasa nyeri. Sesak. Jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Alvaska menggigit bibir dalamnya, berusaha mati-matian agar tidak berteriak kesakitan saat merasakan jantungnya seolah terlempar dari atas tebing yang begitu curam dan terdapat pedang tajam yang menikam di bawahnya. Alvaska tersenyum paksa saat Kana menoleh menatapnya heran. Cowok itu diam-diam menarik napas panjang lalu di hembuskan secara perlahan. Hal itu Alvaska lakukan berulang kali hingga detak jantungnya kembali normal.

Setelah punggung Alvaska mengenai headboard, Kana mengambil bubur yang tadi dia letakkan di atas nakas, menyendokkannya lalu menyodorkannya ke depan bibir Alvaska yang masih tertutup rapat. "Aaaa...."

Alvaska membuka bibirnya, membiarkan Kana menyuapinya. Dan di detik setelahnya, dia terbatuk saat lidahnya mencecap rasa asin yang tidak wajar dari bubur yang Kana suapkan. "Uhuk, uhuk!"

"Eh, kenapa?" Kana menyodorkan susu coklatnya ke depan bibir Alvaska.

Alvaska meminumnya. Detik itu juga, dia tercekat. Pipinya memerah. Cowok itu berusaha menelan susu coklat rasa garam yang Kana sodorkan. "Te-terlalu enak."

"Bohong," suara Kana bergetar. Dia hendak mencoba bubur buatannya, tapi langsung ditahan oleh Alvaska. Cowok itu mengambil alih sendok dan mangkuk dari tangannya, dan langsung memakan bubur buatan Kana dengan bibir bergetar dan mata memerah menahan rasa asin yang begitu menyakitkan. Alvaska tau jika mengonsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan sangat berbahaya, ditambah lagi dengan riwayat penyakit jantung yang di deritanya. Tapi saat melihat mata Kana yang tampak berkaca-kaca tadi, dia tidak tega. Bodoh? Memang. Tapi itu lebih baik dibanding melihat Kana menangis.

"Udah." Kana menghentikan tangan Alvaska saat cowok itu hendak kembali menyuapi bubur ke dalam mulutnya. Dia merebut mangkuk itu dari tangan Alvaska, dan langsung melemparnya jatuh ke bawah lantai. Kana mengusap sisa bubur di bibir Alvaska dengan ibu jarinya, lalu mencicipinya. Kana tercekat. Tanpa sadar, air matanya sudah mengalir turun. "Ma-maaf."

Alvaska menggeleng, lalu membelai pipi Kana yang sudah basah karena air mata. Kemudian merengkuh tubuh cewek itu kedalam pelukan. "Jangan nangis."

Biibir Kana berdesis menahan tangis. Dia sedikit mengangkat wajahnya, menatap Alvaska dengan tatapan nanar. "Gue salah. Gue-"

Ucapan Kana terpotong saat Alvaska memajukan wajah dan menyentuh bibir Kana dengan bibirnya. Menempel beberapa saat sebelum cowok itu mengulum bibir bawah Kana lembut penuh perasaan. Kana menahan napas. Dia dan Alvaska saling bertatapan, menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Tatapan keduanya menyiratkan banyak hal yang tidak bisa di ungkapkan oleh kata-kata.

Alvaska menjauhkan bibirnya dari bibir Kana. Cowok itu menyatukan dahi keduanya. "I love you," gumamnya. Dengan lembut dia membelai pipi Kana, lalu menangkup pipi chuby babynya.

"Alva...."

"Gue berharap bisa membekukan waktu," bisik Alvaska. Perlahan, tanpa mengalihkan pandangannya dari Kana, dia mencondongkan wajah ke arahnya. Cowok itu menempelkan pipinya yang dingin di ceruk leher gadis kecilnya.

Kana tidak bisa bergerak saat tangan Alvaska meluncur menuruni lehernya. Dia gemetar dengan napas tersengal. Tangan Alvaska dengan lembut beralih ke bahu Kana, kemudian berhenti. Wajah Alvaska bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangka Kana lalu berhenti saat salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dada babynya. Alvaska bisa sangat jelas mendengarkan jantung Kana yang berdetak tidak karuan. "Ah," desahnya.

Kana tidak tau berapa lama keduanya duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi berjam-jam. Kana tau kapan pun ini bisa jadi kelewat berlebihan, dan hidup Alvaska bisa berakhir-begitu cepat hingga Kana bahkan mungkin tidak akan menyadarinya. Dan tanpa sadar, hal itu membuat Kana merasa takut. Dia tidak bisa memikirkan apa pun, kecuali Alvaska yang kini sedang menyentuhnya.

Kana meraih tangan Alvaska dan menaruhnya di pipinya

"Gue nggak mau mati," bisik Alvaska.

Kana membelai pipi Alvaska. Kemudian, dengan lembut dan sangat berhati-hati Kana menelusuri bibirnya yang tidak bercela. Bibir Alvaska membuka di bawah tangannya, dan Kana bisa merasakan embusan napasnya yang sejuk di ujung jemarinya. "Lo nggak bakal mati."

Alvaska menggeleng. "Gue takut," bisiknya. Cowok itu mengulurkan tangannya ke rambut Kana, kemudian dengan hati-hati mengusap wajahnya. "Gue takut ninggalin lo dan baby."

"Alva..." Alvaska diam. Jemarinya turun perlahan, mengusap lembut bibir Kana, membuat napas Kana tercekat seketika. "Al.."

"Sst.." Alvaska tersenyum. "Bibir lo bengkak."

Kana terkekeh. Dia ikut mengusap ujung bibir Alvaska yang terdapat bekas luka. "Dan bibir lo luka."

Mata Alvaska tertutup sayu. "Ka.."

"Hm?"

"Mandi bareng, ya?"

To be continue part II....

902 word. Secuil jejak anda, means a lot_

ALVASKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang