Masih memakai baju osis, Bagas menaruh motornya di garasi. Sebelum masuk rumah, dia selalu mencopot sepatu yang ia kenakan, lalu menaruhnya di rak.
Tak lupa juga, dia menampilkan senyum untuk ibunya yang sedang sibuk menjahit di depan ruang tamu, dekat jendela.
Bagas membuka tudung saji di atas meja makan miliknya, namun cowo itu mengesahkan nafas panjang ketika tidak ada satupun makanan disitu.
"Ibuk gak masak?." Tanya nya.
"Tadi ibu ada arisan, terus gak sempet masak, mending kamu beli aja di luar." Dengan gampang nya Ika mengatakan seperti itu.
Bagas berdecak kesal, udah sarapan pagi gak pernah dibuatin. Makan siang juga jarang dibikinin, sesibuk-sibuknya seorang ibu, bukannya dia mesti punya kewajiban untuk memasakkan makanan untuk anaknya bukan?.
Bagas berjalan kekamar, mengambil pakaian dari lemari yang bagian depannya dipenuhi dengan cermin. Dia mengambil celana jeans, dan kaos berwarna hitam. Dia menyahut topi yang terletak di atas lemari, topi itu berwarna hitam dan keliatan masih baru.
Bagas duduk di atas ranjang kasur, meraih tas ranselnya, dan membuka salah satu resleting tas tersebut.
Dia menghitung uang yang ia punya sekarang, lalu tersenyum tipis.
Dia mencopot charger yang tertancap di hp nya, kemudian mengetikkan kata sandi dan...
Slep.
Layar terbuka.
Dia menghidupkan sambungan data, menunggu beberapa detik untuk melihat notifikasi yang muncul.
Yah, cara ini dilakukan agar hp tidak nge-lag.
Cowo itu membuka salah satu aplikasi pesan, ia mengabaikan semua chat dari teman-temannya. Dan mengetikkan nama seseorang di kolom pencarian.
"Jojo apa Ayra ya?." Tanya nya pada diri sendiri.
Setelah berfikir sejenak, dia melanjutkan aktivitasnya. "Ayra aja deh."
Bagas
Ra keluar yuk, makan
|14.30
Ayra
Males, panas bat diluar
|14. 35
Bagas
Gue jemput
|14.36
Ayra
Lagi bokek. Gaada duit
|14.36
Bagas
Gue yang bayar
|14.37
Arya
Lagi diet
|14.37
Bagas
Halah, g usah diet.
Gue jemput lo sekarang.
|14.38
Read✅
Ayra menatap kesal pesan terakhir dari Bagas, entahlah. Akhir-akhir ini jantung Ayra tuh sering berdetak kencang jika berada didekat Bagas.
Gadis itu khawatir jika Bagas sampai mendengar nya, bahkan ia berusaha agar tidak terlalu sering ketemu Bagas. Elah malah sekarang Bagas ngejak dia makan bareng, mana maksa lagi orangnya.
"Tenang Ra." Ayra menarik nafas panjang. "Lo cuma jalan sama Bagas bukan sama Pangeran, jadi tenang ya." Ucapnya didepan cermin.
"Ahh ga bisaa!." Dirinya mengipas wajah dengan kedua tangannya, baru mau ketemu aja dia udah se gelisah ini, apalagi kalo beneran ketemu.
"Kok gue jadi nerves gini sih jir!."
Ayra melirik jam dinding, pukul dua lewat empat puluh menit. Dia beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan berganti pakaian.
Sekitar sepuluh menit, Gadis itu sudah siap untuk makan bareng Bagas. Sekali lagi, ia menatap pantulan dirinya dari dalam cermin. Setelah merasa benar-benar siap, dia memutuskan untuk keluar rumah.
Ceklek
"Allahu akbar!." Tepat setelah Ayra membuka pintu depan, ia menjingkrak kaget melihat sosok Bagas didepannya.
"Baru juga mau ngetuk." Ucap Bagas.
"Lo bikin gue kaget tau ga?."
"Mana gue tau lo mau buka pintu."
"Hem. Mau makan apa sih? Kenapa ngajak gue?." Tanya Ayra to the point.
"Ya gapapa, emang kenapa? Ga boleh?."
"Gak." Jawab Ayra terkesan ketus.
"Udahlah, yuk." Bagas menyelipkan jari-jemari nya dengan jari Ayra, menggandeng.
Sumpah demi apapun!
Jantung gue, mau meledak woy!
"Kita gak ke Cafe ya?." Ucap Bagas disela perjalanan.
"Terserah sih." Jawab Ayra.
"Lu tadi kenapa hormat dibawah bendera?." Tanya Ayra lagi.
"Ha?." Rupanya cowo didepannya itu tak mendengar, karena memang Bagas pakek helm dan berkat hembusan angin bikin suara terdengar samar.
Bagas menstandarkan motornya didepan rumah makan yang bisa dibilang sederhana, cowo itu hanya bawa uang lima puluh ribu, tapi pasti cukuplah untuk makan berdua bareng Ayra.
"Gue bawa nya uang pas-pas an hehe, jadi kita kesini aja ya." Ucap Bagas diiringi kekehan kecil.
"Iya, gapapa kali. Penting makan." Jawab Gadis itu.
"Lo mau pesen apa?." Tanya Bagas sebelum memesan kepada ibu penjual di rumah makan itu.
"Mie ayam.... gue lagi pengen ituu." Mata Ayra berbinar ketika mencium bau racikan mie ayam.
"Oke."
Kemudian mereka saling duduk berhadapan, ada satu pertanyaan yang Ayra pikirkan sejak dari sekolah tadi.
"Gas."
"Hem?." Bagas menatap Ayra.
"Lo tadi kenapa di hukum Pak Gandi."
Bagas menganggukkan kepalanya, "Ooh tadi, kan anak-anak pada main bola, tapi tuh yang mereka tendang bola basket. Kan itu dilarang, yah gue terus ngingetin sambil nyebut nama Pak Gandi tanpa kata 'Pak'. Apes dah, kenapa gue ngomongnya pas Pak Gandi lewat dibelakang gue sih, mana orangnya denger lagi." Jelas Bagas diakhiri dengusan kesal.
Ayra yang mendengar cerita itu tak habis pikir, dan semakin tertawa cekikikan. "Hahahah! Apes lu Gas, padahal gue juga sering manggil nama guru tanpa sebutan pak atau bu, tapi gak pernah tuh ketahuan. Wkwk lu kek nya ada karma deh sama mereka, sampai-sampai dihukum segala lagi hahahhaha!." Gadis itu tak bosan-bosannya menertawakan Bagas.
"Ketawa aja teros!."
Ayra mengatur nafasnya yang seakan habis. "Ha ha ha... iya-iyaa gue berhenti nih." Ucapnya disertai tangan kanan menutup mulut.
Pesanan mereka telah datang, ibu tadi memberikan nampan berisi dua mie ayam pangsit dan dua es jeruk.
Keduanya saling memakan diiringi canda ria, berkali-kali Ayra melempar gigitan kerupuk kecil di muka Bagas. Cowo itu juga membalasnya dengar mencipratkan air es jeruk di badan Ayra. Sesekali juga, Ayra menambahkan kecap di makanan Bagas ketika Bagas sedang minum atau mengecek ponselnya, bukannya itu membuat mie ayam berasa cemplang?. Humor mereka emang receh, kek anak kecil!.
"Kok udah?."
"Gue diet."
"Kenapa harus diet? Lu itu gak gendut."
"Lo lihat deh pipi gue." Ayra memegang kedua pipinya, dan Bagas menatapnya datar.
"Tembem banget kan?, terus lu lihat deh bentuk muka gue." Ayra menggoyangkan pipinya lalu menarik bibirnya kedepan. Cemberut.
"Bulet banget, yaampun." Lanjutnya.
"Fisik sendiri kok di jelek-jelek in." Bagas menggelengkan kepalanya.
"Lihat nih!." Ayra menyodorkan hp tepat didepan mata Bagas. "Bodinya kek gitar spanyol."
"Terus?." Jujur Bagas sendiri gak paham, kenapa coba si Ayra tiba-tiba menyodorkan foto pacarnya Roman itu.
"Beda banget kan sama gue? Fani gitar spanyol sedangkan gue cobekan Bayat."
Bagas tertawa terbahak-bahak. Kenapa gadis didepannya itu begitu insecure dengan apa yang dia punya.
"Lo? Cobekan? Whahahaha!."
"Gara-gara lu nih gue jadi gagal diet. Kan gue juga gak mau dibilang karung beras, gue juga pengen muat pakek celana levis yang kekinian, terus gue---."
"I like your style!."
***
09.39
Bell istirahat berbunyi sembilan menit yang lalu. Banyak orang berlalu-lalang melewati kelas lain untuk sekedar lewat. Kecuali kelas 9D!.
Pagi ini, mereka menggelar tikar tepat didepan kelas mereka sendiri, sebagian duduk di tikar itu, sebagian pula ada yang duduk di kursi kelas yang mereka seret keluar.
Sebagian dari mereka masih mengenakan pakaian olahraga, karena memang hari ini jadwal olahraga kelas 9D. Jika anak rajin, mendengar bell istirahat, ia akan mengganti pakaian olahraga dengan seragam sekolah. Namun berbeda dengan kelas 9D. Kelas itu terkenal bandel dan nakal. Alih-alih ganti seragam, mereka justru mengenakan pakaian olahraga itu sampai nanti pulang sekolah. Katanya, pakaian olahraga itu longgar, gak kaya seragam osis. Gerah!.
"Senajan koe uwis main ning buri, Karep atii, ra pingin ngonangi." Jojo memetik gitar sambil punggungnya menempel tembok, matanya merem. Seolah dia sangat menghayati lirik tersebut.
Roman menyenggol sikut Hendri, dia mengkode untuk melakukan sesuatu. Kemudian Hendri membisik-bisik i teman yang berada di belakangnya. Termasuk si Bagas yang duduk di kursi. Cowo itu kemudian berdiri dan mendekatkan tubuhnya pada si Jojo yang masih setia merem sambil memetik gitar.
Satu
Dua
Tiga
"AKU MUNG MIKIR AWAL AWAKDEWE NGUCAP JANJI! KUI SING MARAI KUAT NGADEPI KOE JANJI! ORASAH SEPANENG, WIS DI GAWE AYEM, BAKALE DADI SENENG. HUO OOOO." Mereka semua kompak teriak diteling Jojo hingga membuatnya tersentak kaget.
Jojo menutup telinganya, "ANJING! gue kaget cuk!." Teriaknya.
Para kelas tetangga pun ikut menoleh gara-gara kelakuan unfaedah mereka semua.
"Mas Suhu masih belom bisa mufon gaes." Ucap Roman menunjuk Jojo dengan dagu.
Duagh!
Bagas terpelanting jatuh.
Ketika membalikkan badanya hendak duduk di kursi. Sebuah bola basket mendarat tepat di kepala Bagas.
"Sorry Sorry!." Seorang siswa datang dengan berlari.
"Lo gimana sih?! Temen gue kena nih!." Bentak Roman.
"Ga sengaja bang. Sorry." Ucapnya enteng.
Bagas masih duduk dilantai, dia memegang kepala nya yang mendadak pusing akibat tamparan bola basket yang sangat keras itu. Bagas meringis, demi apapun ini sangat sakit. Di mata nya, sekelilingnya terasa berputar.
....
"Bentar, gue kasih revanol dulu." Jojo mengambil kotak P3k.
Bekas tamparan bola basket menimbulkan warna merah di jidat Bagas. Jojo saja yang mengobati ikut meringis, waktu mengoleskan Revanol.
"Perlu gue panggilin PMR gak?."
"Ga usah." Jawab Bagas.
"Bagas!." Ayra datang dengan wajah yang cemas. Mendapat kabar dari temannya bahwa kelas sebelah terkena bola basket sampai pucat. Terus pas dia nanya 'siapa?', teman Ayra jawab 'Bagas'.
"Lo gapapa?." Tanyanya.
"Gapapa kok." Jawab Bagas.
Bohong. Dia sedang tidak baik-baik saja. Kepala nya masih sangat nyeri. Bahkan menatap Ayra disampingnya seolah bayangan Ayra terbagi menjadi dua.
"Kok bisa gini sih?."
"Gue juga gak ngerti. Kejadiannya cepet banget, Pas gue mau duduk tiba-tiba ada benda nghantam kepala gue keras banget. Gue kaget, mendadak semuamya jadi gelap gitu." Penjelasan Bagas.
"Tadi itu lu kena bola basket." Ucap Jojo.
"Siapa yang nglempar?."
"Kurang tau sih gue, coba nanti lu tanya sama Roman."
"Tadi luka lu udah diobatin?." Ayra meneliti memar di jidat Bagas.
"Udah dikasih Revanol sama Jojo."
"Lu PMR kan Ra? Lo tanganin gih." Jojo menyodorkan P3K lagi.
"Gue olesin salep dulu biar dingin."
Kring!
Bel pertanda habisnya jam istirahat berbunyi.
"Gas lu kalo mau pulang, gapapa biar nanti dianter seksi sosial." Hendri sang ketua kelas tiba-tiba menyamperi Bagas ke uks dan membawakan tas nya.
"Lebay banget lu. Gue gak mau pulang."
"Yaudah istirahat disini aja." Ucap Ayra.
"Hem. Nih tas gue balikin lah, gue masih disini." Bagas mendorong tas nya.
"Iye. Lu kaga usah ikut jam pelajaran. Nanti gue yang izinin." Ucap Hendri.
Bagas memejamkan matanya ketika semua teman telah meninggalkan dirinya seorang diri di uks.
Tangannya mengepal kuat.
Dari jam pelajaran ke empat-selesai, bisa dipastikan hari ini Bagas tidak mungkin masuk ke kelas. Dia melirik jam dinding sekali lagi. Pukul satu lewat lima belas menit, tangannya sangat gatal nafasnya berderu naik turun.
Dia turun dari ranjang UKS dan beranjak ke gudang olahraga. Belom sampai ke gudang, didepan matanya dia melihat bola basket yang terlantar. Mungkin ada siswa yang lupa mengembalikan.
Bagas mengambil bola itu, dia melangkah ke kelas dengan raut yang sangat emosi.
Tap.
Langkahnya sudah tepat sampai dipintu kelas. Dia memgedarkan pandangannya. Anjir jamkos lagi!, tapi bagus lah.
"Roman!." Teriak Bagas.
"Roman.. Roman.. dicariin Bagas!." Ucap Lana, sesekali dia melirik Bagas yang raut wajah nya sangat marah.
Roman bangkit dari lesehan. "Hm?."
Bagas berjalan mendekat, sambil membawa bola basket ditangan kanan nya. "Siapa yang udah ngolop gue pakek bola ini?."
"Dev. Devan." Ucap Roman agak gugup.
"Devan siapa?!."
"Devan... em.. 8f." Celutuknya.
Devan 8F. Siapa yang tidak mengenal anak itu? Pemilihan ketua osis tahun ini, Defan ikut mencalonkan dirinya. Namun dia tidak kepilih dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua osis. Dia juga ketua basket di extra basket, bisa dibayangkan gimana mantap nya operan Devan jika kena kepala.
"Songong tuh bocah!, udah ngolop kepala gue. Gak minta maap lagi! Gue bikin kena mental lo sekarang!" Bagas berjalan keluar sambil mendribble bola dilantai.
"Eh. Dicegah dong!, biar gak gelud!." Teriak Silva.
"Keluar njir, ayo keluar!." Jojo berlari keluar mencegah Bagas.
"Gas. Bagas!, udahlah.. lo gak usah bales, dia bilang tadi gak sengaja." Ucap Jojo.
"Ga sengaja gimana? Gamungkin! Kalo dia memang niat main basket mana mungkin dia ngoper bola sekeras itu!. Ini namanya sengaja!."
"Bro, tenangin diri lu! Daripada lu nanti berurusan sama Bk!." Ilham mencoba berjalan mundur didepan Bagas.
Bagas sudah tidak bisa dinasehatin. Emosinya sudah sampai diujung kepala. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal siap memotong Devan.
"KELUAR LO ANJING!." Teriaknya didepan kelas 8F, tadinya mereka sedang menulis. Mendengar Bagas berteriak seperti itu, mereka semua menatap Bagas.
"Siapa yang disuruh keluar?."
"Siapa yang berurusan sama kakel woy?."
Mata Bagas mengamati satu persatu dari mereka. Nah. Pandangannya jatuh sama anak yang duduk di kursi belakang pojok.
"Keluar lu!, atau gue seret?!." Dia menuding anak itu.
"Gas. Udah." Silva mencoba mengelus pundak Bagas.
Bagas menatap Silva, Silva yang ditatap seperti itu, langsung mundur beberapa langkah. Seakan paham bahwa Bagas berkata 'mundur!'.
Bagas menoleh ke depan lagi. Dia menarik krah seragam Devan sampai anak itu tersentak.
"Maksut lo apa ha! Lo ngapain ngolop gue pakek bola? Punya dendam apa lo sama gue?!." Tanya nya nge-gas didepan muka Devan.
"Gue gak sengaja Bang." Katanya sambil nunduk.
"Ga sengaja lu bilang?!." Bagas melepas cengkraman di krah Devan, lalu mendorong nya keras. "Gue gak bodoh cuk! Gue tau mana sengaja dan mana gak sengaja!."
Waktu jam istirahat, Devan sedang bermain basket di lapangan sekolah.
"Van. Lu lihat kan?." Bian menuding kelas 9D.
"Apa bang?." Tanya Devan.
"Lu lempar bola basket ini sekeras mungkin sampai kena anak yang sedang berdiri sambil minum Zegar itu." Bian menuding Bagas, dan Devan mengikuti arah tudingan Bian.
"Gak berani gue bang."
Bian melotot, "lo ngelawan gue?."
"Pelan aja ya." Tawar Devan.
"Yang keras se keras-kerasnya cuk!." Bian menjitak kepala Devan.
"Nanti kalo sampai kenapa-kenapa gimana? Gua gak mau tanggung jawab!." Ucapnya, kemudian ingin melangkah pergi.
Bian menyekal tangan Devan, "lo lempar sekarang? Atau lo gue keluarin dari BlackSite?."
Devan kemudian mendrible bola itu, berjalan ke arah ring yang letaknya lumayan dekat dengan 9D, dia berpura pura ingin memasukkan bola itu ke Ring dan---.
"Gua beneran gak sengaja bang, gua minta maaf." Ucapnya masih menunduk.
Bagas mendongakkan dagu Devan biar menatapnya. "Gue disini! Bukan disitu! Kalo lo bicara sama gue natap gue bukan lantai!. Lo sekarang ngomong sama gue, ada dendam apa lu ha? Lo pernah gue hukum? Atau gue punya salah sama lu? Kalo lo memang gak terima, lo ngomong langsung sama gue! Jangan kayak gini! Gara-gara lu jidat gue jadi merah gue jadi kaga bisa ikut pelajaran!."
"Beneran bang, gue gak dendam sama lu, gue cuma-."
Bagas melayangkan bola itu ke muka Devan, namum gara gara teman-temannya melerai Bagas, pukulan Bagas jadi meleset.
"Udah Gas.. dia udah minta maaf!." Jojo menahan tangan Bagas.
Bagas memberontak, "lepasin gue anjir! Biar dia ngerasain!."
"Dahlah biarin aja, seru-seru nya nih." Ucap Roman sambil tepuk tangan bak orang lagi nonton topeng monyet.
Lana menjitak kepala Roman. "Lu sesat!."
"Bagas." Ayra datang dan berada di samping Bagas.
Bagas mendorong Jojo yang dari tadi terus menahan tangannya.
Ketika sudah mau bebas, dan ingin kembali mengolop wajah Devan, Hendri kembali menahannya.
"Udah Anjir!." Ucap Hendri yang kehilangan kesabaran.
"Lepasin gue!."
"Bagas, lihat gue... Bagas!." Ayra memberanikan diri berada didepan Bagas.
"Bagas.. udah!."
"Bagas!." Bagas mendorong Ayra. Anak itu memang sudah seperti kesetanan.
"Hey!. Gas!."
"Lihat gue, Bagas!."
"Bagas stop!."
Bagas menatap orang yang sejak tadi teriak-teriak di sampingnya.
dia tak lagi memberontak. Nyalinya mendadak ciut. Seperti api yang disiram air.
"Ayra." Nafas Bagas seakan memburu.
"Udah ya.. dia udah minta maaf." Ayra mem puk-puk pundak Bagas.
Bagas mengatur nafasnya perlahan. "Lepas Hen." Dia berkata namun suaranya tidak terdengar emosi.
Hendri dengan ragu melepas tangan Bagas yang ia kunci kebelakang.
Bagas melangkah maju mendekati Devan, hingga Devan terus mundur mepet tembok. "Urusan kita belum selesai." Bisik Bagas di telinga kanan Devan.
Bagas menggandeng tangan Ayra untuk keluar dari kelas itu. Semua mata menatapnya, kenapa semudah itu Bagas luluh? Padahal tadi dia sudah kaya orang kesetanan. It's so very confusing!
Penampilan Bagas hari ini benar-benar kacau. Seragam yang ia kenakan sampai keluar dari celana, rambut yang biasanya disisir miring dan tampak klimis sekarang amburadul. Gara gara perkelahian tadi.
Tangan Ayra semakin diremat sama Bagas, Ayra ingin mengaduh tapi dia takut. Ayra juga tidak berani berjalan beriringan dengan Bagas. Cowo itu seperti bukan Bagas, jalannya sangat cepat, pandangannya menghadap ke depan tanpa menoleh kebelakang. Apa dia lupa dibelakang nya ini ada Ayra yang terus dia gandeng?.
"B-Ba-Bagas." Ucapan Ayra gemetar, jujur dia takut kalau sampai Bagas membentaknya atau menampolnya.
Bagas berhenti mendadak, dan hampir saja Ayra menabrak punggungnya. Oh, ingin rasanya mengumpat. Tapi takut.
"Hem?." Tanya nya.
"T-tangan. Gue. Sakit--auh!." Ayra sedikit meringis.
Bagas menatap kebawah, dan dia juga terkejut. "Eh! Yaampun. Sorry!."
"Its Okay. Gapapa kok." Ucap Ayra memaksa tersenyum. Mungkin kalo keadaan tidak lagi seperti ini, Ayra sudah menjitak kepala Bagas.
"Sakit?." Bagas membawa Ayra duduk di taman sekolah.
Ya sakit lah, bloon banget sih lu!
"Perih dikit." Ya perih lah, orang ketancep kuku lu!.
"Sorry ya." Bagas mendekatkan tangan itu di wajahnya lalu meniupnya perlahan.
"Gue takut lo kayak tadi."
Bagas mendongak, menaikkan alisnya seolah bertanya 'takut kenapa?'.
"Yah gue takut. Lo serem banget tau kalo marah."
Bagas terkekeh.
"Kok ketawa?." Ayra melipat tangannya didepan dada. "Gak lucu tau!."
"Lu yang lucu!." Bagas memencet hidung Ayra seperti bocil yang memencet hidung Badut.
"Ih! Bagas!." Ayra menonyor kepala Bagas.
"Shh!." Bagas meringis. Sakit Ra! Ayra emang bego.
Tadinya mulut Ayra mengerucut tapi kini berubah. "Gue lupa! Sakit banget emang?." Tanya nya khawatir. Tapi Bagas suka diperlakuin seperti itu. Heem gemesh!.
"Banget!." Ucap Bagas melebih-lebihkan. "Shh! Aduh! Ra, sakit banget kepala gue Ra."
"Terus gimana dong? Apa gue telpon ambulan?." Buset lebay lu!.
"Gak deh.. gak usah. Boleh gak, gue pinjem pundak lu... sebentar aja."
Ayra melihat sekeliling taman, sepi.
"Boleh ya?." Tanya Bagas kemudian langsung menyenderkan kepalanya di pundak Ayra.
"Masih pusing banget?." Ucap Ayra, Bagas tertawa pelan mendengarnya.
Tadinya emang pusing pas Ayra tonyor, tapi gak banget.
"Gas?." Tanya Ayra lagi.
"Mendingan, berkat pundak lu yang ajaib ini." Sejak kapan Bagas pinter ngegombal.
"Dih!." Tangan Ayra terulur untuk membenarkan posisi rambut Bagas. "Rambutnya dibenerin. Biar rapi"
"Kayaknya gue beneran jatuh cinta sama lu Ra."
Bagas beralih dari senderan dan duduk tegak. "Lo naik sepeda atau motor?."
"Sepeda."
"Gue anter."
"Ha?."
"Iya."
"Maksud?." Ayra menyengit bingung.
"Gue anter. Lu didepan naik sepeda, gue di belakang naik motor."
"Ah gausah."
"Gapapa, tungguin ya. Gue ambil motor dulu." Ucap Bagas kemudian berlari.
Ayra tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Bagas aneh.
Bagas memacu motornya dibawah normal, dia sengaja karena ingin pulang bareng Ayra. Sesekali dia sampai menebak motor karena kehilangan keseimbangan karena hanya dipacu dibawah normal. Sampailah di sebrangan jalan. Jika lurus akan mengarah kerumah Ayra, jika belok kanan akan mengarah kerumah Bagas.
"Lu belok aja." Ucap Ayra.
"Oke." Ucap Bagas tersenyum.
"Makasih ya!." Ucap Ayra sebelum mengayuh sepeda mumpung gaada motor.
"Makasih buat apa?!!." Teriak Bagas namun tidak di jawab sama Ayra.
"Ati-atii!." Lanjut teriak Bagas. Sampai pengendara yang sedang menyebrang disebelahnya pun ikut menatap mereka.
Bersambung...
---------------------------------------------------
Halo!
Apa kabar?
Makasih banget buat kalian yang udah nyempetin waktu buat baca nih cerita.
Stay healthy yah slurd!
Tetap jaga jarak.
Masker jangan kendor.
Dan jangan lupa vaksin.
02 oktober 2021.