Hari ini sebulan setelah kematian anak kandung mereka, dan Alhamdulillah Aksara sudah tidak lagi terjatuh hanya untuk berjalan pelan.
Bima menjadi imam sholat istrinya Dzuhur ini, setelah sholat Dzuhur seperti biasanya Saskia akan setor hafalan kepada suaminya, kali ini juz An-Nisa ayat 23 dan seterusnya.
Saskia menatap kedua mata Bima lembut, "Bima".
Panggilan pelan itu membuyarkan kedua mata Bima yang tadinya fokus kepada membuka Al Qur'an coklat miliknya.
"Maaf ya kamu dapat istri yang kayak aku, yang gak berambisi jadi apapun," ucap Saskia.
"Berambisi jadi apa?," tanya Bima.
"Jadi wanita hebat," jawab Saskia.
"Aku cuma mau kamu jadi istri aku, itu aja udah hebat, kamu urusin aku dan Aksara, kamu berada di rumah setiap hari karena hakikatnya kamu wanita dan kalo kamu tiba tiba mau kerja atau liburan kemanapun aku enggak masalah asal kamu masih bisa aku pantau dari jauh," ucap Bima membuat Saskia menatap lelaki itu sendu.
Suaminya benar benar bisa membuatnya dimengerti, sangat dimengerti.
"Aku enggak mau kerja dan liburan tanpa kamu, karena Allah udah titipkan aku ke kamu," ucap Saskia tersenyum.
Diantara sebab hilangnya rasa malu pada perempuan adalah karena seringnya ia keluar rumah, ini adalah pendapat dari Habib Salim Asy-Syathiri.
"Kamu cuma bisa lihat aku berantakan di rumah sedangkan kalau kamu pergi kemanapun banyak wanita cantik dan rapi daripada aku," ucap Saskia membuat Bima terkekeh.
"Kapan kamu lihat kejadian aku pandangi wanita lain?," tanya Bima membuat Saskia menggeleng.
Bima mengusap pelan kedua paha istrinya yang terbalut mukenah, ia faham istri cemburu dan itu adalah hakikat semua wanita bukan?.
"Di rumah ini aku bakalan lebih sering lihat kamu pake baju biasa dan mungkin dari yang paling sederhana, iya bener di luaran sana banyak wanita lebih rapi dari kamu, tapi siapa yang berhasil aku nikahin, siapa yang berhasil aku pilih untuk aku bimbing, kamu begitu juga karena kamu udah istri aku, kamu bahkan hapus semua mimpi indah kamu untuk urusin aku dan Aksara, kamu harus sibuk sibuk setiap pagi siapin aku baju dan siapin kopi walau aku enggak pinta," ucap Bima.
"Bahkan kesederhanaan kamu malah bikin aku tambah mencintaimu, aku menjaga pandangan karena ada kamu di rumah, aku menjaga kamu dari pandangan lawan jenismu karena aku bertanggung jawab atas itu".
Bima merasakan kehangatan saat tiba tiba Saskia memeluknya lembut dan mengusap dada kirinya, dapat dikatakan ini adalah kebiasaan istrinya.
"Jangan pernah cintai wanita lain ya," ucap Saskia membuat Bima berwajah serius.
"Tak akan".
"Katanya kalo di surga itu ada bidadari ya, kalo iya kamu bakalan lupain aku dong?," tanya Saskia memukul dada kiri suaminya, sungguh gila jika wanita cemburu.
Cemburunya wanita itu berbahaya, dijawab ataupun tidak itu tak kalah bahaya, salah jawab saja bisa membahayakan lelaki, wanita itu susah sekali untuk ditebak mau apa dan bagaimana.
"Bidadari nya siapa?," tanya Bima balik.
Saskia menggedikkan bahu tak tahu dan menatap Bima tajam, ia cemburu sungguh saja.
"Bidadari surga pasti sempurna banget," ucap Saskia manyun.
Kekehan terdengar dari bibir Bima, "Kamu ngatain diri sendiri?".
Saskia yang otaknya sedikit lag hanya menggaruk kepalanya tak gatal, tak tahu apa maksud Bima dan Bima pun semakin tertawa karena tahu jika istrinya ini memang agak lamban memaknai sesuatu.
"Kamu bidadari aku di surga," ucap Bima membuat Saskia meng-oh ria.
Bima mengecup bibir Saskia pelan membuat kedua mata Saskia membulat luar biasa. Ini gila sungguh saja, Bima meletakkan Al Qur'an yang ia bawa di atas meja dan kembali mencium istrinya.
Keempat mata mereka bertemu.
Saskia mendorong tubuh suaminya pelan, "Bima ganjen ya".
"Sama istri sendiri boleh?," tanya Bima membuat Saskia memukul dada lelaki itu.
"Nanti Aksara lihat nanti niru gimana?," tanya Saskia kesal dan melihat ke kanan, anaknya sedang sibuk bermain bola bola dan tidak melihat ke arah mereka berdua.
"Bibir bekas Nafisa his," kesal Saskia.
Bima ingat ini tanggal berapa dan susah mendekati halangan sang istri maka dari itu Saskia sedikit sensitif terhadap segala sesuatu bahkan hal yang lalu pun selalu dibahas.
"Kalo menurut Nafisa bibir ini bekas kamu," ucap Bima membuat Saskia tertawa lalu meninju pelan perut suaminya.
"Aku beruntung punya kamu," ucap Saskia.
Bima mengerutkan keningnya, "Aku gak beruntung punya diri aku sendiri".
Saskia yang merasakan dirinya sentimen hari ini memukul kepala suaminya pelan membuat Bima melotot pelan.
"Heh jangan begitu, gak sopan," ucap Bima tegas namun tetap lembut, Saskia mendekap erat kedua lengannya kesal dan tak mau melihat Bima.
"Siapa suruh nakal".
Bima dengan cepat mencium pipi kiri dan kanan istrinya, kecupan itu membuat hati dan pipi Saskia berbunga bunga, semacam apa kupu kupu tebang di jiwanya.
Saskia tertawa, "Bima laper enggak?".
Bima mengangguk dan mengusap perutnya.
"Masak yuk, aku yang masak kamu jaga Aksara di bawah," ajak Saskia membuka mukenah merah mudanya dan segera ia lipat, Bima mengangguk dan menggendong Aksara.
Di bawah Bima hanya mengamati wajah cantik milik Saskia yang serius memotong sebatang coklat, istrinya itu berniat membuat kue gulung isi coklat.
"Mau aku bantuin?," tanya Bima sambil menggendong Aksara lembut, Saskia yang sibuk memotong coklat batangan itu tersenyum menggeleng.
"Aku bisa kok," ucap Saskia namun Bima masih saja kekeh ingin membantu dan mengamati istrinya dari samping.
Saskia mengambil mixer dan bahan lainnya. Bima mengusap keringat istrinya yang terkucur karena lelah.
"Sini gantian biar Bima yang buat," ucap Bima lalu membuat Saskia menggendong Aksara gantian.
Saskia terkekeh saat Bima terlihat kaku memegangi mixer dan bahan kue lainnya, "Istrinya jago masak suaminya jago juga dong".
"Jago makan ya?" tanya Saskia membuat Bima tertawa, "Astaghfirullah jangan begitu".
Saat Bima belum selesai membantu, kepalanya sudah pusing lagi. Ia memegangi sudut meja kaca, sungguh rasanya dadanya sesak.
"Bima kenapa?," tanya Saskia sedikit panik.
Bima hanya menggeleng kuat, "Aku gak apa".
Namun beberapa saat ia menyerah, ia meringkuk di bawah, gila saja untuk menutupi keadaannya saja ia selemah itu.
Saskia ikut meringkuk, memegangi tangan Bima dan keningnya, badannya panas, sepertinya Bima sakit.
Bima menarik nafas pelan karena sesak, ia memegangi jemari jemari mungil milik Saskia lalu menggeleng berusaha menenangkan wanitanya yang bermimik wajah panik bukan main.
"Aku enggak apa Sas," ucap Bima.
Ia berusaha berdiri dibantu oleh Saskia, "Ayo kita ke kamar,".
Bima berjalan menuju kursi ruang makan, ia terduduk di sana, Saskia dengan cepat mengambil obat pereda panas dengan masih menggendong Aksara.
Kepala Bima sengaja ia senderkan ke meja ruangan makan, kepalanya berat, tubuhnya lemas. Lalu matanya memejam nan gelap. Ia pingsan.
•••
Mariana datang ke rumah Bima, mereka semua datang karena sudah lama tidak bertemu dengan Bima, dan saat tahu kabar Bima sakit mereka memutuskan untuk berkunjung sebentar saja.
Namun tak semuanya datang, hanya sebagian dan beberapa masuk kamar Bima untuk menjenguknya karena demam.
Bima terkekeh, "Gue gak sakit,".
"Terus kalo gak sakit ngapain lo sekarang, berak sambil jungkat jungkit?,"ucap Dewa kesal.
Saskia ternyata tidak di sana, ia memasuki kamar BI Layatul bercengkrama dengan pembantunya itu daripada harus di kamar, ia di sini juga untuk menghindari aneh aneh, ya walaupun teman Bima pasti tidak negatif padanya.
"Udah mending kalian keluar dulu deh, beliin gue roti bakar kek" ucap Bima kesal menatap teman temannya.
Fajar melompati kasur berkali kali hingga membuat sprei berantakan, ia meloncat loncat di susul teman lainnya membuat Bima pusing setengah mati.
"Heh turun gak lo pada," ucap Bima kesal saat ranjangnya naik turun hanya karena loncatan teman temannya ini.
Fajar tertawa keras, "Gue udah beliin roti cakwe lo gak mau".
Bima memijat pangkal hidungnya yang terasa pegal dan pusing sekarang, ia memilih terduduk dan menatap tajam teman temannya.
Ia memukul pelan satu persatu teman temannya yang sibuk melompat lompat di atas ranjang.
Sialnya mereka hanya terkekeh dan tak merespon lebih dan lanjut loncat loncat lagi, "Kamar lo bagus banget anjing".
"Heh gak usah ada kalimat kotor di rumah gue," ucap Bima kesal.
Ia juga manusia biasa yang bisa marah dan kesal terlebih lagi saat ia pusing begini, bukannya dihibur atau bagaimana teman temannya ini malah membuatnya semakin pusing.
Fajar padahal sudah punya anak satu namun sikapnya masih kanak kanak, dari sebelum nikah saja ia sering loncat loncat di ranjang milik Bima. Gila saja, teman temannya ini sekarang membuatnya tertawa pelan saking kesalnya.
Dewa tiba tiba berkata, "Main judi di tikungan sebelah rumah Bima yok,".
Kurang ajar memang anak satu ini, malah mendatangkan maksiat ke rumahnya, "Gak usah aneh aneh ya lo".
Dewa yang sudah tahu jawaban itu akan terlontar pada bibir Bima langsung tertawa kencang bukan main hingga Saskia dapat mendengarkan tawa girang itu dari luar kamar.
Melihat Bima yang terus memijit pangkal hidungnya karena pusing, mereka semua berkumpul dan berhenti menganggu Bima. Fajar memijit kaki sahabatnya itu pelan dan lainnya sama memijit.
Bima sedikit tersenyum.
"Bim, gue mau belajar sama lo tentang banyak hal, gue sekarang sadar gue butuh keyakinan agama yang taat, gue udah perbaiki sholat lima waktu sekarang," ucap Dewa membuat Bima tersenyum simpul bahagia dengan ucapan temannya satu itu.
Tiba tiba ia meraih totebag dan mengeluarkan sebuah gamis dan peci, "Ini gue beli limited edition, kerena gak?,".
Hal itu berhasil membuat lainnya tertawa pelan termasuk Bima, Bima menggeleng.
"Perbaiki sikap dulu baru pakaian," ucap Bima.
"Bokap nyokap lo berantem?," tanya Fajar pada Dewa yang sibuk mengutak atik gamis miliknya.
Dewa tertawa, "Menurut lo?,".
"Bokap nyokap gue berantem kayak biasanya, bahkan gue udah gak pulang seminggu ke rumah,".
Bima menatap kedua mata Dewa serius, "Astaghfirullah, pulang!,".
"Lo gak takut nyokap lo kenapa kenapa?,".
Dewa terkekeh, "Gue kecelakaan kemaren parah, nyokap gue peduli gak?".
"Jadi males".
"Gak peduli gue".
Bima menepuk pundak temannya ini, "Gak usah gitu, gimanapun itu orang tua lo, kalo gak ada mereka mana bisa lo kenal sama kita kita".
"Namanya orang tua Dewa, belajar maafin dan belajar bahagiain," Dewa yang mendengar itu dari Bima menunduk.
"Gak usah bahas mereka dulu ya Bim, gue tau maksud lo baik biar gue gak tersesat ke jalan yang lebih parah. Tapi gue juga capek," ujar Dewa sendu.
"Gue gak pernah ngrasa dihargain sama mereka, mereka nyalahin gue lahir ke dunia," lanjut Dewa sedikit kesal.
"Gue capek kerja buat beliin mama gue sesuatu yang dia suka malah dia sia siain dan dia buang di mata kepala gue sendiri," ucap Dewa.
Bima faham betul perasan Dewa, ia mengusap pelan pundak sahabatnya itu lalu mengangguk.
"Lo masih punya Allah dan Mariana, gue dan semuanya peduli besar sama lo," ucap Bima tersenyum membuat Dewa tak sungkan memeluknya.
Yang lain ikut memeluk haru, Dewa menangis di dekapan sahabat sahabat nya, Saskia mengintip dari balik pintu, Saskia tersenyum.
Tak semua yang terlihat buruk dari luar juga buruk di dalamnya, setiap manusia punya sikap dan etika namun banyak hal negatif yang dapat merubah, ketika sudah berubah banyak hal tidak diungkit namun etikanya yang terus saja terbawa.
Bima mengusap bahu Dewa pelan.
"Semua orang punya kelebihan, lo punya jati diri lo sendiri dan gue akui lo hebat mau berubah jadi lebih baik, tapi inget mereka orang tua lo dan jangan sampe lo punya dendam sekecil apapun sama mereka ya,"ujar Bima.
Salah satu teman bernama Padli mengacungkan jempol setuju, "Orang tua gue juga gitu sebelum meninggal, nyokap bokap gue kasar naudzubillah kayak setan tapi gue nyesel ngedumel karena mereka gak ada lagi sekarang".
Ucapan itu membuat Fajar tertawa, "Masih aja dihina kayak setan".
Dewa yang tadinya menangis kini tertawa pelan karena ucapan temannya itu, "Kalo mereka setan, lo anak setan dong?".
"Gue anak angkat mereka untungnya sih," ucapan Padli lagi lagi membuat semuanya tertawa keras tak henti apalagi Bima yang tadinya sakit kini mulai membaik.
"Lah gue gak tau dimana bokap nyokap gue dimana," ucap Vinggara terkekeh, lelaki bermata sipit itu tersenyum pelan.
"Ya elah malah adu nasib," kekeh Fajar tertawa kencang.
Namun hal ini memang menyenangkan dan sering kali terjadi, yang mempunyai keluarga Cemara dari banyaknya anggota Cemara hanya Fajar dan Oky, kedua temannya itu mempunyai keluarga yang lengkap nan bahagia tanpa unek unek.
Bima terkekeh mendengar itu semua, ia jadi ingat bagaimana ia dilantarkan begitu saja oleh ibunya sejak ayahnya meninggal, ibunya jadi agak sedikit gila. Bima kecil harus mengamen di sepanjang jalan, dan tau tau dia terkabar bahwa ibunya meninggal tewas ditabrak truk.
Walaupun begitu Bima masih sering ziarah ke makam ibu kandungnya yang jaraknya lumayan jauh, ia mungkin tiga kali datang ke sana dalam setahun.
Dewa tiba tiba memukul pelan tubuh Bima hingga Bima merasakan pukulan itu sedikit lebih sakit, "Gila hancur badan gue".
"Enak gak sih nikah?," tanya Dewa pada Bima.
Fajar malah yang menyaut dan menjawab sinis, "Enaklah, ada yang nemenin tidur bodoh".
"Ada yang masakin, kita ngangkang aja gak apa," mendengar ucapan Fajar membuat Dewa tertawa. Dan Bima menggeleng, dasar saja temannya ini memang sedikit bar bar.
"Udah pernah berhubungan berapa kali?,"tanya Dewa ceplas ceplos.
Fajar bergaya memikir, "Berpuluh kali sih, ah gak kehitung".
Dewa menyenggol Bima agar menjawab namun Bima terkekeh dan menggeleng.
"Berapa kali gue nanya bukannya dijawab geleng geleng, kalo gak pernah mustahil bini lo hamil kemaren," tanya Dewa kesal membuat tawa seisi ruangan.
Bima tersenyum, "Rahasia suami istri".
Mendengar itu membuat Saskia yang mengintip tersenyum, sungguh Bima adalah lelaki yang benar benar faham cara menghargai pasangannya.
"Ah elah cuman nanya begituan juga," jengkel Padli karena Bima menutupi.
Bima baru satu kali berhubungan dengan Saskia dan Bima tidak mengulanginya lagi, entah mengapa Bima berbeda dengan lelaki yang pernah Saskia temui, lelaki lelaki yang penuh nafsu dan godaan sedangkan Bima adalah lelaki yang sangat menenangkan.
"Pernikahan menurut lo semua apa?," Tanya Bima.
Fajar menggaruk tumitnya yang tak gatal, "Ibadah sekaligus reproduksi".
Yang lainnya tertawa dan Vinggara menggedikkan bahu tak tahu, "Kan gue belum nikah".
"Menurut gue pernikahan itu ibadah total, tentang kesetiaan dan tanggung jawab, bukan perihal wadah nafsu ke istri, jadi kalo ditanya gituan gue jawab ini rahasia kami berdua, mau berapapun jangan diumbar ke siapa siapa, ini aib rumah tangga," ucap Bima.
"Bim, kan di Islam poligami itu Sunnah ya bagi cowok?," tanya Vinggara tiba tiba.
Bima mengangguk, "Sunnah tapi jangan lakuin poligami kalo istri pertama gak ridho".
"Pernikahan kan ibadah nih Bim, lo gak mau poligami?," tanya Dewa bikin Bima terkekeh.
"Satu udah cukup, lagian bukan kewajiban kan?," ucap Bima membuat yang lainnya mengangguk angguk.
Saskia tersenyum lalu menunduk.
"Misalnya pun gue poligami, bagi gue satu Saskia lebih baik dari berpuluh wanita lainnya yang gue nikahi," ucap Bima.
•••
Saskia mengusap mimisan yang ia mengucur deras, mungkin ia kelelahan perkara mengurusi Bima yang dua hari sudah sakit, terlebih Aksara yang terus rewel.
Namun ia menggeleng dan menatap wajahnya di pantulan cermin, ia sadar dirinya tidak sesehat apa yang orang lain bayangkan. Lalu ia kembali melihat selembar kertas yang dokter berikan beberapa bulan lalu, ia di diagnosa penyakit Trombosis arteri yang bisa saja menyebabkan stroke secara mendadak pada dirinya.
Bahkan dari ia sakit ia tak pernah kemoterapi apapun, apalagi karena kecelakaan ia harus mempunyai penyakit Trombosis arteri ini yang hanya diketahui oleh ia dan Zafar saja.
Penggumpalan darah akibat kecelakaan membuat kepalanya kadang kadang pusing. Ia memegangi kepalanya sekarang, dadanya juga sesak. Aterosklerosis nya juga sudah pecah karena kepalanya terbentur pada runtuhan mobil dulu.
"Saskia,"panggil Bima yang melihat Saskia mengusap mimisannya.
Lelaki itu mendekati istrinya dan mengusap mimisan itu, wajah Saskia kini pucat sekali. Membuat Bima khawatir dan mengusap rambut wanita itu pelan. Saskia memasukkan kertas itu pada saku bajunya.
Saskia yang tak ingin Bima tahu hanya menggeleng, "Aku gak apa".
Bima tak percaya, ia merogoh kertas yang Saskia sembunyikan namun Saskia menggeleng dan cepat merebutnya.
"Kamu sembunyikan apa?," tanya Bima pada istrinya, Saskia mengusap hidungnya dan menggeleng.
Saskia yang mendapat pertanyaan itu berjalan keluar kamar mandi dan tidak ingin menjawab, sialan.
Ia duduk di atas ranjang dan bermain lagi dengan Aksara, hingga Bima menyusulnya dan berdiri di belakang punggung wanita itu.
"Kamu sembunyikan apa dari aku?," tanya Bima serius.
Saskia menatap suaminya takut dan mengeleng, "Aku gak sembunyikan apapun".
"Ya udah kasih aku kertas tadi!".
Saskia menunduk, membuat Bima duduk di dekat istrinya itu dan menatap redup wajah Saskia, "Ada apa?".
"Apa yang kamu sembunyikan dari aku?," tanya Bima membuat Saskia hampir menangis.
Saskia menggeleng kuat dan matanya berkaca kaca, sungguh ia takut Bima akan tahu dan akhirnya kecewa padanya.
Bima yang melihat Saskia hampir menangis segera memeluk tubuh wanita itu pelan, ia mengusap punggung wanita itu lembut, sungguh ia tak bermaksud membuat istrinya menangis karena dipertanyakan hal seperti ini saja.
"Aku gak paksain, tapi lebih baik kamu cerita ke aku, aku suami kamu," ucap Bima tenang.
Hal itu membuat Bima mengangguk anggukan kepalanya, "Aku belum mau cerita".
"Aku takut kamu marah sama aku".
Bima mengeleng, "Aku gak pernah sekalipun marah sama kamu".
Saskia terisak di pelukan suaminya, suaranya terdengar pelan saat menyeruak di telinga Bima, ada apa Saskia?.
"Aku pengen bersanding sama kamu di rintik hujan deras, aku masih pengen dapat pelukan hangat dari kamu Bima," ucap Saskia.
Ia takut sakitnya tambah parah namun ia tak mau juga memberi tahu pada suaminya akan hal ini, ia menangis kembali dalam dada bidang Bima.
Saskia kini melonggarkan pelukannya dan menatap kedua mata redup Bima.
"Kenapa Saskia?," tanya Bima lagi dan lagi.
Saskia menyenderkan kepalanya ke dada bidang Bima, "Aku mengantuk, aku tidur ya".
"Aku cuma capek aja," bohong Saskia pada Bima.
Bima merasakan kebohongan namun ia mengangguk saja dan mengusap pelan lengan kanan istrinya seraya memijit.
"Capek karena aku demam kemarin ya?," tanya Bima pelan.
Saskia menggeleng, "Enggak".
Wanita itu mengambil dua tasbih dari atas meja, ia menyerahkan tasbih cokelat pada Bima, "Temenin aku dzikir ya".
Saskia memangku Aksara ke pahanya dan Bima masih setia mengusap jemari jemari lembut Saskia, ia menaruh tasbih cokelatnya dan membiarkan jemari tangan Saskia ia jadikan tasbih, ia memejamkan matanya.
"Saskia, kamu cantik sekali," puji Bima.
"Beritahu aku besok kalau kamu udah mau cerita ya," ucap Bima membuat Saskia mengangguk.
Bima tidak akan memaksakan kehendaknya untuk mengetahui apa apa saja yang Saskia sembunyikan darinya termasuk hal tadi, ia menatap redup wajah istrinya.
"Aku beliin obat kamu dulu ya habis ini," ucap Bima.
Malam sudah menunjukkan pukul 23:44 dan hari hujan, namun Bima lebih baik menerobos itu semua daripada melihat Saskia mimisan lagi.
Ia masih berkutat dengan dzikirnya dari jemari jemari cantik Saskia, kedua matanya menatap mata cantik Saskia.
"Kamu masih cinta sama aku kalau lagi lagi aku punya kekurangan?," tanya Saskia.
Bima berdeham pelan saat kesunyian menyeruak dan hanya menyisakan suara celoteh Aksara kecil, "Aku tanya balik deh, kalo aku banyak kekurangan yang gak kamu ketahui, kamu masih terima aku?,".
Saskia menghentikan sesaat dzikirnya, "aku cinta sama kamu pake hati bukan pake mata Bima".
"Terus kenapa kamu nanya itu juga ke aku?," tanya Bima lagi.
Saskia menunduk, "Aku takut kita berpisah".