✰✰
Terima kasih yang sudah pada nungguin dan masih setia baca,
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya setiap selesai baca atau sebelum baca.. 😁
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***
Tidak tau sebrutal apa Arsen mengendarai kuda besinya itu saat menuju ketempat Alena berada, sebab tidak sampai satu jam cowok itu sudah tiba, padahal jarak tempuh Jakarta ke puncak Bogor cukup memakan waktu sekitar dua jam.
Banyak pengendara motor atau mobil yang memaki dirinya, bahkan beberapa kali ia hampir celaka.
Namun mengingat ada seseorang yang menunggu dan membutuhkan dirinya, maka Arsen sebisa mungkin tetap berhati-hati.
Ini kah yang di namakan Cinta, jika di ingat lagi Alena bukanlah siapa-siapa, bahkan teman dekat pun bisa di katakan bukan.
Tapi Arsen begitu khawatir pada gadis itu, bahkan nyawanya tidak lebih penting dari pada Alena.
Di sepanjang perjalanan tadi pun, Arsen memikirkan itu semua, kenapa dia bisa sampai seperti ini, sebelumnya dia tidak pernah sekhawatir itu pada seseorang.
Sudah berada di tempat di mana Alena mengirimkan lokasinya, namun Arsen tidak melihat keberadaan gadis itu.
Ia sudah melihat kesana kemari tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Kembali menyusuri area tempat itu ia sambil melihat kekiri dan kanan, hingga Arsen terpaku pada sebuah objek yang membuat hatinya bergetar.
Seorang gadis sedang duduk dengan penampilan yang cukup kacau, Arsen segera menghampiri tempat itu dan bergegas turun dari motornya.
"Alena?" ucap Arsen pelan.
Merasa namanya di sebut, gadis itu perlahan mendongak. Mata indahnya membulat sempurna ketika melihat seseorang yang sudah dia tunggu kini berada di hadapannya.
"Arsen!" pekik Alena, gadis itu berlari lalu menubruk tubuh kekar Arsen.
Arsen diam seperti patung, detak jantungnya memacu begitu cepat, keningnya pun terlihat basah oleh keringat dingin, antara kaget dengan pelukan tiba-tiba dari Alena, dan juga mendengar tangisan pilu yang menyakiti hatinya.
Di tambah penampilan Alena, dengan dress yang sudah acak-acakan dan wajah sembab, menambah kekhawatiran Arsen.
Hampir beberapa menit, Arsen baru mengangkat kedua tangannya guna membalas pelukan erat gadis itu, ia mengusap pelan punggung yang sedang berguncang pelan.
"Jangan takut, gue di sini buat lo." bisik Arsen menenangkan Alena.
"Tolong bawa aku pergi dari sini Sen, aku nggak mau disini. Aku takut.." gumam Alena.
"Sstt.. Udah gue bilang kan, gue disini untuk lo. Nggak usah takut," lanjut Arsen masih mengusap punggung Alena.
Sudah sedikit tenang, Arsen menarik tubuh Alena agar terlepas dari pelukannya. Mengamati wajah gadis itu sejenak.
Arsen melepas jaketnya, lalu memakaikan ke tubuh ringkih Alena. "Lo kenapa bisa di sini? Kenapa bisa kayak gini? Siapa yang ngelakuinnya?" tanya Arsen berturut-turut.
Alena diam, ia belum mau menceritakan kejadian beberapa jam yang lalu. "Ya udah, kalau lo nggak mau cerita sekarang nggak apa-apa, gue anter lo pulang." ajak Arsen.
"Arsen tunggu." cegah Alena, ketika Arsen menarik pelan tangannya menuju ke motor.
"Aku boleh pinjam uang nggak? Untuk Mas itu," tunjuk Alena ke pemuda penjaga Conter.
"Tadi aku pinjam hapenya buat telepon kamu, nggak enak kalau aku nggak ngasih uang. Nanti sampai di Jakarta aku ganti." Arsen berdeham sejenak, ia sedang salah tingkah. Sebab hatinya berdesir hebat kala Alena kini menggunakan kata Aku, kamu.
Mungkin itu adalah hal biasa untuk orang lain, tapi tidak untuk Arsen. "Be.. Berapa?" ucap Arsen gagap.
"Kamu adanya berapa?" tanya balik Alena.
Arsen mengambil dompet di belakang sakunya membuka isinya yang ternyata tidak banyak.
"Cuma ada tiga ratus,"
Alena tersenyum pelan. "Nggak apa-apa segitu aja cukup, aku pinjam ya, janji sampai di Jakarta aku balikan." Arsen hanya mampu mengangguk.
Alena ingin memberikan uang kepada pemuda itu sebagai tanda terima kasih, jika bukan karena pemuda itu, dia sudah kembali bertemu atau bahkan di seret paksa oleh Bryan.
Tadi ketika Alena menyadari kalau ada Bryan dan temannya, ia memohon ke pemuda itu untuk mengizinkannya bersembunyi di dalam Conter tersebut.
Dan benar saja, Bryan menghampiri Conter itu dan menanyakan keberadaannya ke pemuda penjaga itu.
Untung saja Bryan bisa di tipu, dan meninggalkan tempat itu begitu saja.
Sudah selesai dengan pemuda tadi, Arsen lekas membawa Alena pergi, sebelum pergi dengan telaten Arsen memakaikan helm ke kepala Alena, mereka sempat saling pandang beberapa detik sampai Arsen yang memutuskan kontak mata tersebut.
Jantungnya tidak aman, bisa bahaya kalau di teruskan.
Arsen membantu gadis itu naik ke motornya, lalu menunggu Alena siap, dan ketika tangan gadis itu sudah melingkar sempurna di perutnya, barulah cowok itu mulai meninggalkan tempat itu.
Ada senyum tipis dan semburat merah di pipi, ketika Arsen menunduk melihat bagaimana eratnya pelukan gadis itu di perutnya. Benar-benar Arsenio Januareza sedang falling ini love.
˜"*°•.˜"*°• Arsenio •°*"˜.•°*"˜
"Agh... Sial! Sekarang gue harus gimana." Bryan tiba di Villa seperti orang kesetanan.
Cowok itu mengamuk, memukul apa saja yang ada di dekatnya.
Dia begitu marah saat ini, karena ia tak berhasil menemukan Alena.
"Udalah lo nggak usah bingung, ngomong aja ke orang tuanya kalau Alena pergi." ucap asal teman Bryan.
"Bego lo! Anjing. Kalau gue ngomong anaknya hilang sama aja gue bunuh diri tolol." maki Bryan.
Temannya itu meringis menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Bisa ketahuan. Kalau gue mau macam-macam sama Alena!" lanjut Bryan dengan napas naik turun.
"Terus sekarang gimana? Kita udah keliling cari tuh cewek tapi nggak nemu juga!" timpal teman Bryan yang lain.
Bryan menoleh ke kiri menatap tajam ke seseorang yang sedang duduk di lantai sembari mengusap sudut bibirnya. "Ini semua gara-gara lo Fad! Andai lo nggak ikut campur, urusannya nggak bakal kacau kayak gini!"
Fadil mendongak memandang sinis dengan senyuman tipis. "Gue bakal ikut campur terus, sampai lo mau lepasin Alena."
"Brengsek lo Fad!" umpat Bryan menghampiri Fadil dan berniat memukul sahabatnya itu lagi.
Beruntung aksi itu gagal saat teman-temannya yang masih ada di sana segera menarik tubuh Bryan, mereka tidak tega melihat bagaimana babak belurnya Fadil.
Begitu pun Bryan, hanya saja laki-laki itu peduli dengan lukanya, yang saat ini dia pikirkan hanya tentang Alena.
Ada perasaan takut dan khawatir, jika ternyata Alena sudah kembali ke Jakarta dan memberitahu semuanya kepada orang tuanya.
Bryan tidak mau itu terjadi, kalau terjadi maka rencana dia ingin memiliki Alena seutuhnya akan gagal.
"Tenang Yan. Cukup lo hajar Fadil sampai kayak gitu, lihat muka lo juga nggak kalah buruk dari Fadil, kalian butuh di obati!"
"Aghh!" Bryan menepis kedua tangan temannya.
Lalu melenggang pergi keluar dari Villa. "Yan. Mau kemana lo?" teriak cowok bernama Danu.
"Neraka!" jawab asal Bryan.
Danu menghela napas lelah, ia pun menoleh melihat kearah Fadil. "Lagian ngapain sih lo pakai acara masuk ke kamarnya Bryan?" tanya Danu ke Fadil dengan nada rendah.
Fadil membalas menatap Danu. "Sahabat kita ngelakuin hal yang salah, gue tau. Kita memang bukan orang baik-baik, atau orang sok suci. Tapi apa lo tega ngeliat Alena mau di ambil kehormatannya, Jelas-jelas selama ini Bryan nggak cinta sama Alena, dia cuma terobsesi." mengacak rambutnya Danu setengah duduk di badan sofa.
"Iya gue tau. Tapi bukannya selama ini lo diam aja, kenapa sekarang lo kayak gini?"
"Kalau Bryan nggak ngelakuin hal kayak tadi, mungkin gue masih diam aja. Tapi Bryan udah kelewat batas, Nu." ucap Fadil lantang.
"Nu." panggil Fadil dengan berat, memandang Danu intens namun teduh.
Danu hanya mengangkat kedua alisnya. "Lo punya adik perempuan kan?" cukup lama Danu terdiam, lalu perlahan cowok itu mengangguk membenarkan. "Gimana kalau adik lo di perlakukan kayak gitu? Lo nggak mau kan kehormatan adik lo di ambil sama cowok brengsek kayak kita?" Danu membulatkan kedua matanya, kepalanya menggeleng kuat.
"Gue juga punya adik perempuan, dan gue sama kayak lo yang nggak mau adiknya di ambil kehormatannya. Sebrengsek-brengseknya kita, setidaknya kita masih punya perasaan."
Danu terdiam, ia menunduk membenarkan ucapan Fadil, dia memang punya adik perempuan dan saat ini masih sekolah menengah pertama.
Dia sangat menyayangi adiknya itu, dan Danu tidak bisa membayangkan jika apa yang di katakan Fadil terjadi kepada adiknya, dia pun tidak akan diam saja bahkan mungkin ia akan membunuh Bryan atau siapa saja yang sudah melakukannya.
***
~•~
~ See next part ~