Jangan lupa vote dan komen
Happy reading ^^
•
•
•
Chaka menaikkan sebelah alisnya, heran melihat Mosha yang senyam-senyum sendiri. Saat ini dia berada di teras kosan Mosha, menunggui cewek itu yang sedang memakai sepatu. Seperti biasa mereka akan berangkat ke kampus bersama. Tadi ketika dia datang menjemput dan berteriak memanggil Mosha, yang membukakan gerbang justru Tara. Kalau sudah begitu Chaka yakin Mosha masih bersiap-siap. Dengan sabar, Chaka pun menunggu di teras.
Lima menit lebih menunggu, Mosha akhirnya muncul dengan senyum lebar. Cewek itu menyapa Chaka kelewat ceria, bukannya membalas Chaka justru menatap Mosha aneh. Iya aneh, tidak biasanya Mosha bersemangat. Selama pekan ujian ini, ekspresi yang ditampilkan Mosha tidak jauh dari muka datar, suram, dan kusut. Namun kali ini, rona wajah gadis itu tampak berbeda.
“Lo kenapa, Mo? Abis menang lotre?” tanya Chaka, nyeleneh.
“Dih, bukan!” Beruntung mood Mosha sedang bagus, kalau tidak sepertinya dia akan menimpuk Chaka dengan sepatunya.
“Terus kenapa dong?”
“Kepo ih kek dora!” balas Mosha disusul tawa renyah. Bagi orang lain yang mendengar tawa Mosha mungkin akan menganggapnya lucu dan imut, tapi bagi Chaka suara Mosha itu termasuk menyebalkan. Dia jadi keki sendiri.
“Huh, serah deh. Buruan pake sepatunya, lama amat.”
“Iya, baginda, tunggu bentar.” Mosha menjawab sambil mengikat tali sepatu. Karena sepatu kets nya kotor, Mosha terpaksa memakai sepatu converse. Sebenarnya Mosha punya beberapa sepatu wedges, tapi dia tidak mau memakainya ke kampus. Mosha lebih nyaman dengan sepatu kets, lebih tepatnya dia tidak mau terlihat feminim dengan memakai sepatu-sepatu tinggi itu.
“Ayoo berangkat!” Gadis itu berdiri, lalu berjalan mendahului Chaka menuju gerbang.
Perkataan Mosha kemarin bukan omong doang, dia ingin membuktikan hal itu pada Chaka. Mosha betulan bertekad untuk memiliki kehidupan seperti Tara. Karenanya, pagi ini Mosha memulai dengan memasang senyum ceria. Setidaknya Mosha tidak boleh terlihat suram dan dingin lagi, biar orang lain tidak segan untuk mendekatinya.
Mosha merasa selama ini, alasan kenapa dia tidak kunjung dekat dengan teman-teman seangkatannya karena dirinya sendiri. Ekspresi datar yang selalu Mosha tunjukkan seakan menjadi benteng. Jelas sekali wajahnya itu seperti mengatakan dia tidak ingin didekati.
Sampai saat ini, hanya pada Chaka, Tara dan beberapa orang terdekat saja dia menunjukkan sisi ceria dan cerewetnya. Jika pada orang lain, Mosha akan menjadi cewek introvert yang pendiam dan pemalu.
"Awas loh, Mo, kebanyakan senyum entar lo nangis," kata Chaka yang berjalan di belakang.
Gerakan Mosha yang hendak membuka gerbang kosannya terhenti. Dia berbalik menghadap Chaka, mengerucutkan bibirnya pertanda sebal. "Lo mah, jangan ngomong gitu! Firasat gue jadi nggak enak, nih."
"Ehh?" Chaka kaget sendiri Mosha semudah itu percaya ucapannya. Padahal dia hanya bercanda, mengolok-olok seperti biasa, tanpa ada maksud serius. Tidak disangka Mosha malah terpengaruh. "Katanya sih, Mo, ah udah mitos doang paling ituu. Udah udah, lupain aja."
Kalimat penenang dari Chaka sama sekali tidak membantu, Mosha sudah terlanjur kepikiran. Cewek itu balik badan, hendak melanjutkan langkah sebab sepertinya mereka terlalu banyak membuang waktu. Namun, saat itulah ….
Dug!
Mosha menabrak sesuatu, atau mungkin seseorang?
"Awss," ringisnya sambil mengelus jidat yang entah menghantam apa, tapi Mosha dapat merasakan teksturnya yang keras.
Gadis itu mendongak untuk melihat apa yang telah ditabraknya. Mata Mosha membulat mendapati sosok cowok yang berdiri menjulang.
Netra hitam yang menyorot tajam itu Mosha balas dengan mengerjap. Entah terlalu polos atau memang tidak peka, Mosha sepertinya tidak menyadari cowok yang ditabraknya itu terlihat tidak senang.
"Eh, lo nggak apa-apa, dek?"
Ternyata ada sosok cowok lain yang berdiri di belakang cowok tadi. Orang yang sering main ke sini untuk bertemu pacarnya, siapa lagi kalau bukan Lijen. Barusan yang bertanya juga lelaki itu.
"Ah iya, nggak apa-apa." Mosha mengalihkan tatapannya ke lain arah, tidak sanggup beradu pandang dengan temannya Lijen.
"Kalau jalan tuh hati-hati," ketus cowok yang ditabrak Mosha, lalu melenggang pergi ke teras.
"Ahahaha maap yaa, itu Jevan temen gue lagi bad mood. Biasalah banyak proker, padahal lagi pekan ujian."
Mosha merespon dengan membulatkan bibirnya membentuk huruf O. Dari penjelasan Lijen, dia jadi tahu bahwa cowok bernama Jevan itu bagian dari BEM, sama seperti Lijen dan Tara.
"Kak aku berangkat, ya." Tidak mau memperpanjang obrolan, Mosha pun segera pamit pada Lijen.
Chaka menaiki motornya dan mulai menstarter, sementara Mosha menutup gerbang kos. Di lingkungan kosannya, ada banyak kucing liar yang terkadang suka menerobos masuk. Tidak semua penghuni kosan ini suka pada kucing, seperti Mosha yang agak takut pada hewan itu. Karenanya sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa gerbang sebisa mungkin dalam keadaan tertutup.
Samar-samar Mosha mendengar percakapan di teras.
"Jep, jangan galak-galak sama adek gue." Jelas ini suara Lijen, Mosha bisa mengenalinya.
Namun sepertinya perkataan cowok itu percuma, Jevan sudah melekat dalam ingatan Mosha sebagai kating galak dan ketus. Ganteng-ganteng galak, kurang lebih begitu. Pertemuan pertama mereka hari ini cukup menyebalkan.
"Sejak kapan lo punya adek?" tanya Jevan.
"Itu yang tadi adek sepupu Tara, yang artinya calon adek ipar gue."
"Halu mulu kerjaan lo!"
"Yeee, bener anjir."
"Bodo amat, sekarang buruan suruh pacar lo turun, gue perlu banget proposalnya."
"Iyaaa."
Hanya sebatas itu yang Mosha dengar, dia terlanjur diteriaki oleh Chaka untuk bergegas.
Di perjalanan singkat menuju kampus, Mosha sempat bertanya pada Chaka tentang cowok bernama Jevan itu. Tapi tidak banyak yang Chaka tahu, dia sebatas tahu kalau Jevan sering muncul di tongkrongan Lijen, yang menandakan mereka satu circle. Selain itu ada satu fakta lagi yang membuat Mosha terkejut, tentang Jevan yang merupakan mahasiswa jurusan akuntansi. Artinya, kakak tingkat Mosha dan Chaka.
Mosha jadi sedih, saking tidak gaulnya dia sampai tidak mengenal kating lain selain Tara dan Lijen. Itu pun bukan katingnya langsung sebab Tara dan Lijen jurusan manajemen. Sepertinya dia harus mulai memikirkan untuk memperluas relasi.
-o0o-
Keluar dari ruangan ujian, Mosha disambut dengan teman-teman seangkatannya yang berfoto ria di depan fakultas. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok alias circle.
Dari arah belakang, Chaka menepuk pundaknya. “Ayo ikutan foto,” katanya.
Mosha meringis, dia kan tidak ikut circle apapun, lalu harus berfoto dengan siapa? Sendiri? Lebih baik tidak usah. Mosha memang kenal beberapa dari mereka karena sering chatting, tapi untuk masuk ke circle mereka … sepertinya tidak.
“Nggak ma-...." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Chaka sudah menyeret Mosha ke arah kerumunan berisi anak-anak populer.
Sebelum benar-benar sampai, Mosha menghentikan langkah, membuat Chaka ikut berhenti. Mosha menggeleng pada cowok itu, tidak ingin ikut dan menyuruh Chaka saja. Mosha belum pernah mengobrol banyak dengan mereka, dia takut dipandang aneh. Beda dengan Chaka yang memang akrab dengan circle yang berisi anak-anak populer itu.
“Chaka buruan, Mosha juga yuk sini ikut!” salah satu perempuan di sana berseru memanggil. Mosha tidak tahu jelas, tapi seingatnya nama perempuan itu adalah Carmilla.
Tersenyum manis, Carmilla melambaikan tangannya. Chaka segera bergabung dengan mereka, masih sambil menyeret Mosha.
"Kan katanya mau nambah temen, ni gue ajak kenalan sama mereka."
"Iyaa, tapi kan nggak segampang it-...."
“Nah sekarang senyum dulu."
Sumpah, kalau saja keadaannya hanya ada mereka berdua, Mosha pasti sudah mencubit cowok itu. Enak saja sedari tadi seenak jidat menyeretnya dan tidak membiarkan dia bicara. Apalagi sekarang dengan tidak sopannya Chaka meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Mosha. Sementara tangan kirinya melakukan pose dua jari.
Gaya macam apa itu?! Mosha mendelik pada Chaka dengan ekspresi merengut. Kamera selesai membidik dan mengabadikan momen itu. Mosha mengeluh dalam hati, dia pasti terlihat jelek sekali.
“Gaya yang bener dong, Chak,” bisik Mosha geram.
“Iya iyaa.”
Setelahnya mereka mengambil beberapa foto lagi, kali ini Mosha dan Chaka bergaya dengan lebih baik. Usai berfoto, Mosha diajak mengobrol oleh beberapa orang, cewek itu menanggapi dengan agak canggung. Walaupun begitu, Mosha merasa senang. Ternyata orang-orang itu tidak seperti dugaannya, Mosha mengira mereka sombong dan akan bersikap jutek. Tapi nyatanya tidak, malahan mereka mengajak Mosha nongkrong malam nanti.
-o0o-
Di sisi lain, Tara, Lijen dan Jevan baru saja sampai di kampus. Jevan menggerutu melihat adik tingkatnya yang bergerombol dan berfoto-foto.
“Dasar maba, alay banget pake foto-foto depan fakultas. Nggak tau apa mereka tuh ngehalangin jalan.”
“Maklum masih semester satu, nggak apa-apa,” ujar Lijen, Tara mengangguk setuju.
“Tapi nggak depan fakultas juga lah anjir, ke studio foto kek. Ngeselin!” Jevan masih meluapkan rasa sebalnya. Sepanjang pagi ini cowok itu memang tidak bisa mengendalikan temperamen.
“Udah yang, tinggalin aja yuk. Si Jevan ngomel-ngomel terus dari tadi.” Lijen melengos sambil menggandeng tangan Tara. “Oy, jangan lupa ke ruang dekan dulu, jangan sampe lo telat ujian.” Sebelum benar-benar jauh, Lijen mengingatkan Jevan untuk ke ruangan dekan terlebih dahulu.
Jevan ingat dia harus meminta tanda tangan dekan untuk proposal proker. Lelaki itu harus bergegas sebab kurang dari sepuluh menit lagi dia ada jadwal ujian. Dekan kampus sedang sibuk dan hanya punya waktu sekarang, karena itu Jevan tidak bisa meminta tanda tangan sehabis ujian.
Melangkah dengan gegas, Jevan menerobos kerumunan. Sialnya, sebuah insiden terjadi. Karena terburu-buru dia menabrak seorang cewek, kejadiannya cukup cepat. Proposalnya terlempar, kertas-kertas yang belum diklip itu berhamburan seketika.
Mosha, yang tidak sengaja ditabrak Jevan limbung. Dia berusaha menyeimbangkan tubuhnya tapi-....
"Awas!" Jevan berseru, memperingati Mosha untuk memperhatikan pijakan.
Sret!
Terlambat.
-o0o-
Bersambung deh heheh
Tunggu kelanjutannya yaa, btw kenalin ini Jevann
Jevan Nareshwara
Si kating galak kalo kata Mosha
Makasii udah baca
See u in next part 👋