¶¶ÒõÉçÇø

Balance Shee(i)t [END]

By humming_rain31

453K 26.2K 914

Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan aku... More

Prolog
Episode 1 - Balance Belum Tentu Benar
Episode 2 - Tekad Mosha
Episode 3 - Kating Galak
Episode 4 - Insiden
Episode 5 - Filosofi Telur Rebus
Episode 6 - Jurnal Pembalik
Episode 7 - Chaka Sesat
Episode 8 - Jalur Orang Dalam
Episode 9 - Di Balik Layar
Episode 10 - Barisan Semut
Episode 11 - Tanpa Tergesa
Episode 12 - Hectic
Episode 13 - Sogokan Nasi Padang
Episode 14 - Kena Ulti
Episode 15 - Pura-pura Tuli
Episode 16 - Kemasan Sachet
Episode 17 - Di Balik Lensa
Episode 18 - Ajudan Jevan
Episode 19 - Membenahi Perasaan
Episode 20 - Pepet Terus
Episode 21 - Cowok Di Seberang
Episode 22 - Kakak-Adek Zone
Episode 23 - Misi Ketiga
Episode Spesial Hari Raya
Episode 24 - Gombalan Anak Akuntansi
Episode 25 - Pawang Jevan
Episode 26 - Kupu-kupu
Episode 28 - Batasan
Episode 29 - Hanya Sebatas Itu
Episode 30 - Memberi Judul
Episode 31 - Kita Bikin Romantis
Episode 32 - Kebiasaan Baru
Episode 33 - Makna Sebuah Potret
Episode 34 - Profesional, Katanya
Episode 35 - Punya Aku
Episode 35 - Punya Aku (2)
Episode 36 - Ulah Karmilla
Episode 37 - Burnout
Episode 38 - Balance Shit
Episode 39 - Dua Opsi
Episode 40 - Filosofi Sepatu
Episode 41 - Karma Terindah
Episode 42 - Serba-serbi Anak Forsol
Episode 43 - Shik Shak Shock
Episode 44 - Ajakan Pulang
Episode 45 - Kapal Yang Seimbang
Epilog
Bonchap #1
Bonchap #2
Bonchap #3
Episode Reuni
Bonchap #5 - Sunset In Venice
Bonchap #6 & 7 - Jeffrey Edition

Episode 27 - Budak Proker

7.1K 455 9
By humming_rain31

Allo up lagii

Makasih dukungannya sejauh iniii

Happy reading ^^

Setelah kesibukan satu bulan ke belakang, Mosha akhirnya menyadari betapa melelahkannya menjadi anak organisasi. Di samping harus mengikuti kepanitiaan, dia juga tetap harus mengurus prokernya sendiri. Proker yang meski berskala kecil tapi bersifat rutinan, hingga rasa lelah dan stresnya pelan-pelan menumpuk.

Gadis itu kini sedang berada di toilet dekat aula. Usai melakukan briefing tadi, para panitia lekas berjaga di tempat masing-masing sesuai jobdesk. Mosha memilih melipir terlebih dahulu ke toilet, hendak memperbaiki riasan. Karena terburu-buru berangkat dini hari, cewek itu jadi asal-asalan memoles make up.

Hari H acara seminar tingkat nasional, dengan pemateri keren yang masih muda dan berbakat, serta peserta yang mencapai angka lima ratus orang, tentu Mosha harus tampil cantik. Setidaknya dia tidak boleh terlihat kucel dan kusut, apalagi sampai merpertontonkan mata pandanya yang mendadak muncul. Entah sudah berapa hari dia terus bergadang dengan jam tidur yang tidak teratur.

Selesai dengan urusannya Mosha pun berjalan kembali ke aula. Ketika tiba di depan pintu, gadis itu berpapasan dengan sosok Jevan. Terlihat cowok itu tampil dengan kemeja hitam dan bawahan cream, dress code panitia. Rambut yang biasanya berantakan dan jatuh menutupi jidat kini ditata dengan rapi, membuat lelaki itu jadi tambah ganteng.

Tadinya Mosha hendak melengos begitu saja, masih malu akibat diceng cengin kemarin. Namun, tidak disangka Jevan dengan santainya malah menarik tangan gadis itu.

“Sebentar, Mo.”

“Eh, kenapa?”

“Nih, buat lo.” Lelaki itu menyerahkan susu kotak rasa vanilla dan sebungkus cokelat. “Semangat, yah! Kalau capek nanti gantian tugas aja sama gue.”

“O-oh iyaa, thanks. Mangatss juga, Kak.” Meskipun lumayan deg-degan, Mosha berusaha sebisa mungkin terlihat kalem. Setelahnya dia pun masuk ke aula dan berdiri di belakang standing kamera, menyisakan Jevan yang menahan senyum di belakang.

Perasaan berbunga-bunga ini, sensasi menyenangkan yang menggelitik perut, sungguh Jevan menyukainya.

-o0o-

Pukul 01.55 dini hari.

Adalah sebuah rekor bagi Mosha, baru kali ini cewek itu pulang dari kampus sebegini larutnya. Rapat evaluasian yang dimulai ketika sore hari ternyata memakan banyak sekali waktu, berjalan dengan sangat alot dan melelahkan. Walaupun acara seminar sebenarnya sudah selesai sejak siang, tapi para panitia sepakat memulai rapat evaluasi pukul empat sore. Tidak disangka rapat eval ini berlangsung lama, belum lagi jeda istirahat dan mereka harus membersihkan aula kembali.

Dan dapat ditebak bagaimana perjuangan Mosha menahan matanya tetap melotot. Gadis itu sampai mencubit-cubit tangannya, walaupun itu tidak berpengaruh banyak. Beberapa kali dia hampir jatuh ketiduran. Beruntung sepanjang eval, Mosha duduk di samping Jevan, sesekali dia bersembunyi di belakang tubuh besar cowok itu, sekedar mencuri sedikit waktu untuk terang-terangan menguap.

“Kak, udah dong. Cukup aja gitu, jangan komen lagi.”

Sempat dia berbisik pada Jevan, memintanya untuk mencukupkan pembahasan, agar tidak semakin memanjang. Namun sayang, yang dilakukan Jevan tidak sesuai keinginan.

“Sebentar yah, eval ini penting banget, biar ke depannya bisa lebih baik lagi.”

Tidak lupa, senyum tipis dan tatapan sayu yang meneduhkan Jevan berikan, membuat Mosha seketika terdiam kaku. Belum lagi tangan cowok itu yang impulsif mengelus punggung tangan Mosha.

Sepertinya, jika itu adalah Jevan yang dulu maka dia akan langsung menjitak kepala Mosha karena berisik dan banyak mengeluh. Namun setelah terkena badai cinta, semua itu jadi berubah. Mosha itu memang benar selalu menguji kesabarannya, tapi karena itulah dia jadi sosok yang lebih penyabar, tidak se-tempramen sebelumnya. Sejak sering bersama Mosha, lelaki itu jadi tahu bagaimana bersikap lembut dan hangat.

“Nggak lama lagi selesai, kok.”

‘Nggak lama’ versi Jevan rupanya tidak sama dengan versi Mosha, sebab nyatanya butuh berjam-jam sampai rapat akhirnya selesai. Kini gadis itu sudah berada di luar aula, bersama beberapa panitia yang juga hendak membubarkan diri setelah tadi sempat melakukan sesi foto bersama.

“Mo, besok lo masuk kelas Bu Winda?” Ruby menghampiri Mosha dan melemparkan pertanyaan. Besok adalah hari senin, dan mereka ada kelas pagi bersama Bu Winda. Kebetulan di mata kuliah satu itu Ruby dan Mosha satu kelas.

Mosha menguap terlebih dahulu sebelum menjawab, “Masuk, lah.” Tangannya bergerak mengucek kedua mata yang sudah berair, ngantuk parah.

“Gue nitip tugas dong, besok gue mau bolos aja, capek gilak.”

“Lah, emang boleh?” Mosha kaget Ruby mengatakan bolos dengan begitu mudahnya.

“Ya boleh, lah, siapa yang ngelarang, bolos mah bolos aja.”

“Hah, seriuss lo mau bolos?”

“Kan ada jatah 3 kali, klo udah lebih dari tiga kali nah baru nggak lulus matkul. Ini gue mau pake jatah pertama, jadi nggak apa-apa lah.”

Mendengar penjelasan Ruby Mosha jadi tergiur ingin bolos juga. Tapi … kalau baru segini saja akademiknya sudah terganggu, bagaimana mau hidup balance? Tidak, Mosha tidak boleh menyerah secepat itu! Dia harus bisa hidup seperti Tara, hidup seimbang dimana antara akademik dan organisasi tidak saling terdistraksi.

“Ya udah serah lo, deh.”

“Lo nggak pengen bolos juga emang?” Ruby sedang mode sesat, berusaha membujuk Mosha agar menemaninya membolos di mata kuliah Bu Winda.

“Kagak, takut gue Bu Winda galak.” Apalagi masih jelas dalam ingatan, bagaimana dulu dosen killer satu itu mengulti Mosha di depan kelas. Setidaknya dia harus keliatan rajin biar kesannya di mata Bu Winda tidak semakin jelek.

“Nah itu, gara-gara galak juga gue jadi ogah kelas hehe,” sahut Ruby, nyengir. “Ya udah, abis ini berarti lo ke kosan gue dulu yah, ngambil tugas gue.”

“Hmmm.”

Belum juga keduanya meninggalkan pelataran aula, Jevan tiba-tiba saja muncul dan menghadang jalan mereka.

“Mo, ayo gue anter pulang. Udah tengah malem ini.”

“Gue kagak ditawarin, Kak Jep?” Ruby langsung menyahuti, padahal yang ditawari saja bungkam.

“Sorry, bawa motor, nggak bisa bonceng tiga,” kata Jevan dengan muka lempeng.

“Heum iya dah, paham gue.” Cewek itu lantas melemparkan tatapan penuh arti, paham banget dengan kelakuan Jevan.

“Eung, tapi gue mau ke kosan Ruby dulu, Kak.”

“Ngapain?”

“Ngambil tugas Ruby buat besok.”

Jevan menghela nafas. “Ya udah nggak apa-apa, gue anterin juga. Lo sama gue naik motor, Ruby jalan sendiri di depan.”

“Anjrit tega bener lo, Kak Jep.”

Mosha sampai meringis mendengar respon sengit Ruby. Memang Jevan ini kejam banget! Namun pada akhirnya karena tidak ingin ada perselisihan, Mosha pun memilih jalan kaki saja bersama Ruby, sedangkan Jevan mengikuti dengan motor. Lagipula kosan Ruby tidak jauh dari kampus, walaupun berbeda arah dengan kosan Mosha.

Anehnya, begitu mereka tiba di depan kosan yang gerbangnya tertutup rapat, Ruby malah memegang pagar dan berancang-ancang untuk memanjat. Sontak perbuatan tersebut membuat Mosha melotot kaget, bahkan Jevan juga mengeryitkan alisnya pertanda bingung.

“Lo mau ngapain, Byyy?”

“Manjat, Mo.”

“Bukan itu maksud gue dodol, kenapa ga lewat pintu?” Tolong, ini sudah tengah malam, sebaiknya mereka tidak perlu berulah atau berbuat aneh-aneh.

“Kosan gue itu ada jam malemnya. Ya kalau balik subuh begini, harus manjat lah. Gerbangnya udah dikunci soalnya.”

“Gilak, tau begitu mendingan lo nginep kosan gue aja dah By. Nggak bahaya taa manjat kayak gitu?”

“Udah biasa, Mo, kalem aja.” Ruby menjawab santai sambil terus berusaha memanjat pagar yang lumayan tinggi. Untungnya ujung pagar itu tidak ada ornament runcing yang membahayakan. “Tunggu bentar yah, gue ambil dulu tugasnya.”

Mosha cuma bergumam sebab masih tidak percaya. Dia jadi bersyukur kosannya tidak ada jam malam, kalau ada mungkin dia akan berakhir seperti Ruby, memanjat-manjat kayak monyet pada dini hari. ‘Aduh, gini banget yaa jadi budak proker,’ batin cewek itu, melas.

Tidak lama kemudian, Ruby akhirnya muncul di balik pagar. Perempuan itu menyerahkan selembar kertas folio dengan menyelipkannya di sela-sela pagar. “Nitip yah, Mo. Tengkyuu bangettt lohh anak baikkk, maniss, rajinn, nggak pelit, muach.”

“Yeuu, nggak usah muji-muji.”

“Hehee iya deh, bye calon pacarnya Kak ekhemm,” lanjut Ruby yang kemudian kabur begitu saja.

“Heh!!”

Kini hanya tersisa Mosha dan Jevan, gadis itu mendadak jadi canggung setelah Ruby meninggalkan mereka.

“Ayo, Mo, kita pulang.”

Bahkan hanya dengan sebaris kalimat itu, jantung Mosha jadi tremor sendiri. Apa tadi katanya? Kita?

Jiwa jomblonya betulan meronta-ronta, seketika dia merasa jadi cewek murahan yang gampang baper.

“Pake dulu jaket gue, dingin ini.”

“Eh, nggak usah, Kak.” Akan tetapi, penolakan Mosha kurang cepat dari tindakan Jevan. Lelaki itu tetap menyampirkan jaketnya ke sekeliling pundak Mosha. Bahkan dia juga membantu memakaikan lengan jaketnya seperti tengah mengurus anak kecil.

Sudut bibir Jevan berkedut, menahan geli begitu melihat tubuh Mosha yang tenggelam di jaket besarnya. ‘Kunti bogel gue emang imut banget,’ gumamnya dalam hati.

Setelah itu, mereka berdua pun pergi menuju kosan Mosha. Di tengah perjalanan singkat itu, Jevan mengajak Mosha mengobrol agar tidak hening.

“Besok kelas jam berapa memangnya, Mo?”

“Jam 9, Kak.”

“Ohh, kenapa nggak bolos aja kayak Si Ruby?”

“Nggak mau aja, sayang absennya.”

“Siapa sih dosennya?”

“Bu Winda.”

“Ah, Bu Winda emang killer, sih, tapi kalau sekali izin sih nggak apa-apa, Mo.”

“Kak Jep pernah diajar Bu Winda?”

“Pernah.”

“Pernah dimarahin nggak?”

“Engga.”

Mosha auto diam, baru ingat katanya Jevan termasuk jajaran mahasiswa ambis yang namanya disukai dosen-dosen. Pasti Bu Winda termasuk salah satunya juga.

“Kenapa emangnya, lo pernah dimarahin?”

“Ah, emm i-iyaa gitu deh.”

“Coba cerita sama gue, gimana kejadiannya?”

“Kapan-kapan aja, Kak, udah mau nyampe ini.” Menolak dengan halus, Mosha tentu saja enggan membagi pengalaman jelek itu pada Jevan. Bisa-bisa dia diejek, sudah cukup Mosha malu luar biasa waktu itu.

“Ya udah, janji tapi ya,” kata Jevan sambil menghentikan laju motornya setelah tiba di kosan Mosha.

“Hemm.” Mosha bergumam. “Btw, makasih jaketnya ya, Kak. Sebentar.”

Tahu Mosha akan melepas jaketnya, Jevan buru-buru menggeleng. “Pake aja, Mo. Jalan dari gerbang sini ke kamar kosan lo kan lumayan, dinginnya bakal tetep kerasa. Jadi jangan dilepas, ya.”

Kini bukan hanya tubuhnya saja yang menghangat, tapi juga hati Mosha ikut merasakan hangat mendapati perhatian tersebut. Senin pukul 02.15 dini hari, di tengah angin yang berhembus, derik hewan malam yang menyahuti hening, serta sinar rembulan yang menyorot lembut, akhirnya segala pertahanan Mosha runtuh. Gadis itu membiarkan dirinya jatuh pada pesona Jevan, membuang sisa-sisa keraguan yang ada.

-o0o-

Mosha : budak proker
Jevan : budak cinta

Mendingan jadi budak proker atau budak cintaa? Wkwkwkwk

Btw fun fact, gw pernah liat temen gue manjat pager kosan dia, gara" pulang subuh habis rapat 😭🤣

Antara nekatt, kasian tapi agak ngakak juga, kek 'gini bngt hidup jadi mahasiswa kura-kura bjir' hahaha

Gw tulis deh di sini buat mengenang kejadian itu 🤣

Okey segini duluu, Bubye 👋

Continue Reading

You'll Also Like

485K 33.1K 42
[KKN SERIES PRIME] Nama gadis itu, Putia Asmiranda. Dari SMA, Jengga suka pada Putia. Sampai masuk Universitas, Jengga masih suka padanya. Dan, sampa...
61.9K 7.3K 19
" Kalo kita sama-sama fokus membuat garis lurus, lalu kapan kedua ujung garis kita akan bertemu titik temunya?" *** Note : Ini cerita ringan, bukan c...
482K 41.7K 90
Kalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alia...