Hai. Cepet kam updetnya. Ahaaaayyy.
Sebelumnya, dekadeeek, tolong tinggalkan akal sehat kalian dulu ya sebelum baca chapt ini 🤣🤣🤣
..
..
..
Ckiiiiitttt!
Mobil berhenti mendadak membuat tiga hyungnya terkejut dan nyaris saja kepalanya terbentur.
"Wae?!" protes semua Hyung nya.
"Tolong, mundur sampai mendekati kedai itu, hyung." pinta Haechan.
"Disana ramai, kau mau makan disana?" tanya managernya.
"Aku ingin memastikan seseorang."
Managernya menautkan alisnya, namun juga menurutinya.
Mobil itu terus mundur hingga berhenti sedikit lebih dekat dengan kedai tersebut.
Wah, benar. Ternyata pandangannya tidak salah. Dimanapun ada Jia, Haechan pasti akan tertangkap oleh sinyalnya.
"Bukankah itu Jia?" seru Mark.
"Ah, Jia adikmu?" sambung Yuta.
"Dengan siapa mereka? Mereka seperti preman." Johnny menatap mereka dengan dahi mengerut.
"Mereka teman-temannya." balas Haechan.
"Aigoo, dua bocah itu berteman dengan orang-orang seperti itu?" Johnny menatap Haechan yang sudah melepas sabuk pengaman.
"Haechan-ah, tunggu dulu. Kau tidak bisa langsung turun seperti itu. Bisa-bisa nanti ada yang mengenalimu." tahan Johnny.
"Aku tidak membiarkan dia minum seperti itu." Haechan kesal melihat Jia yang tertawa sambil menenggak minumannya langsung dari botol.
"Haechanie, Adikmu menarik juga." Yuta tergelak.
"Mwo?!" Haechan menatap Yuta yang duduk di depan, dengan delikan.
Mark dan Johnny tertawa melihat wajah merah Haechan yang hampir berasap.
"Tapi sayangnya sudah berpacaran dengan Jeno." lanjutnya, tertawa.
"Aku tidak mengakuinya!" tandasnya. Haechan tidak bisa mengatakan statusnya dengan gamblang karena yang mereka tahu, Jia dan Jeno berpacaran.
Ck. Haechan membenci fakta itu.
"Hyung, aku akan naik taksi, kalian bisa pergi lebih dulu."
"Yang benar saja?! Itu tidak aman." Mark memprotesnya.
"Kau bisa membawa Jia bersama kami." ujar Johnny.
"Tidak. Aku naik taksi saja." tolaknya tegas.
Haechan lantas turun dari mobil setelah mengenakan topi dan masker, lalu membungkus kepalanya dengan tudung jaket.
"Haechan-ah, hati-hati jangan sampai ada yang mengenalimu." Pesan managernya. "Dan cepatlah pulang. Perkiraan cuaca hari ini mungkin akan turun hujan."
"Gwenchana, hyung."
"Baiklah. Kita pergi dulu."
"Ne, hyung. Gomawoyo." Haechan mengangguk.
Haechan turun di tempat yang cukup gelap. Mungkin beberapa meter dari kedai minuman tersebut.
Dari arahnya berdiri, ia bisa melihat Jia yang gelagapan melihat namanya yang memanggil. Jia sengaja tidak langsung mengangkatnya.
Pintar sekali. Dia memilih menjauh dari teman-temannya untuk menerima telpon darinya.
"Malam ,Oppa." jawab Jia dengan suara yang berbeda.
Dia pasti sudah mulai mabuk.
"Eodiya?"
"Di-di-eng ... Toserba dekat gedung."
Haechan terperangah kesal. "Mwohae?"
"Minum."
"Sendirian?"
"Aaa--iya~"
"Ah, begitu~" Haechan mengangguk, dengan sunggingan miring. "Baiklah. Sekarang, dengarkan aku."
"Ne?"
"Hadapkan badanmu ke arah kiri, dan luruskan pandangan mu sejauh mungkin."
"A-apa maksudmu?"
"Cepat ikuti perintahku."
Dengan ragu, Jia mengikuti instruksi Haechan. Sesuai harapannya, ketika Jia memutat badannya dan meluruskan pandangan, dia bisa melihat seseorang di ujung sana, melambai padanya.
"Sudah melihatku, Jiaku sayang?" ucapnya, sarkas.
Di ujung sana, Jia hanya bisa berdiri membeku tanpa bisa menjawab.
"Aku baru tahu toserbanya pindah disini," sindirnya.
Terdengar tawa gugup disebrang sana. "Op-pa, mianhe,"
"Kemari!" seru Haechan datar.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Tidak. Cepatlah kemari."
Jia tidak menjawabnya dan mematikan sambungannya sepihak. Dia tampak kesal saat mengambil tas dan berpamitan dengan teman-temannya dengan terpaksa.
Kakinya sengaja dihentakkan cukup keras saat berjalan ke arahnya.
Begitu berdiri dihadapannya, Haechan menarik satu pipinya. "Sudah kubilang, jangan minum di luar tanpaku!" omelnya.
"Haiishh!" Jia menepis tangan Haechan di pipinya dengan dengusan kesal. "Aku belum mabuk!"
"Heoh! Coba saja kalau aku tidak melihatnya. Mungkin kau sudah ambruk di depan orang lain."
"Haish! Iyaaa, iyaaaa!" Jia mencebikkan bibirnya kesal. Tidak mau berdebat dengan si juara adu mulut ini.
Haechan meraih tangan Jia, membawanya jalan bersama.
"Ayo pulang,"
Jia mengikuti langkahnya dengan bibir menggerutu.
"Kau bilang malam ini tidak bisa datang."
"Jadwal besok di undur." balasnya. "Aku sudah berniat datang menemuimu, tapi tanpa diduga, aku melihatmu di jalan. Kebetulan sekali, bukan?"
Langkah mereka membelah jalanan malam yang sunyi dengan tangan bergandengan. Rasanya sudah sangat lama mereka tidak berjalan bersama seperti ini. Jia cukup menikmatinya meskipun masih kesal telah dipaksa pulang. Diam-diam senyumnya tersungging melihat tangannya yang saling menaut.
Haechan menoleh pada gadis disampingnya yang hanya diam saja. Bocah itu hanya menunduk sambil mengikuti jalannya.
"Ya, kau mengantuk?" Haechan berhenti.
Jia langsung mendongak, balas menatapnya. "Ani~" jawabnya, menggeleng.
"Kenapa diam saja?"
Jia menggaruk pipinya, pandangannya kesana-kemari hingga melihat sebuah lapangan basket umum yang tengah kosong.
Ini sudah lewat jam 10 malam, wajar saja mulai sepi.
Kebanyakan anak-anak yang masih dibawah umur yang lebih suka bermain, yang mana saat jam sepuluh malam, semua anak-anak harus sudah berada di rumah.
"Oppa, ayo main basket saja." Jia menarik Haechan tanpa aba-aba.
"Mwo? Malam-malam?" Haechan memprotesnya, tapi tetap saja mengikutinya.
"Disini sepi. Jadi akan aman. Kajja!"
:::::::::::::
(abaikan orangnya,
fokus tempatnya saja 🤣)
Bug.
Meleset.
Bug.
Meleset.
Dari mereka berdua, belum ada satupun bola yang masuk ke dalam ring.
"Wah, kenapa susah sekali. Ring nya terlalu tinggi." oceh Jia.
Haechan tergelak, menonyor kepala bocah itu. "Kau bisa bermain di lapangan anak TK saja."
"Enak aja."
"Ayo main lagi." Haechan kembali mendribel bola.
"Kenapa bola nya hanya satu, sih?" keluh Jia, saat mencoba merebut dari Haechan.
"Ya, kau itu niat main atau tidak?" Haechan geregetan.
Jia tertawa, "candaa~"
Haechan menggeleng geli dan bersiap melempar bola tersebut ke dalam ring.
Hap!
Plung!
Kali ini bola tersebut masuk ke dalam lubang keranjang di atas sana.
"Yasshhhh!!!" Haechan berseru senang. Tertawa mengejek pada Jia yang belum bisa memasukkan bola.
"Kalau aku bisa memasukkannya, kau mau memberiku apa?" Jia menantang pada Haechan.
Lelaki itu tergelak. "Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu."
"Aku meminta padamu." dagunya terangkat.
Haechan menurutinya saja. "Geurae!" angguknya, tersenyum. "Agar sebanding, kau juga harus memberiku sesuatu jika aku bisa memasukkannya lebih banyak."
"Call!" Jia menjabat tangan Haechan.
Tidak perlu mendribel, mereka akan bergiliran melemparkan bola ke dalam ring.
"Kaibawibo!"
Haechan yang menang, jadi dia akan lebih dulu melemparkannya.
Bug!
Jia tertawa, lemparan pertama gagal.
Bug!
Hingga ke dua dan tiga, Haechan masih saja gagal. Kesempatannya hanya sepuluh lemparan saja.
"Oppa, hwaitiiing~"
Sebelum melempar, Haechan menyeringai jahil. Ia menundanya sebentar hanya untuk menunduk dan mendaratkan bibirnya di bibir yang tengah menertawakannya.
Chup.
Jia langsung diam dan saat itu juga, bergerak mundur dengan cepat. Kepalanya langsung celingukan kemana-mana, khawatir ada orang yang melihatnya.
"Oppa, ini di luar."
"Tidak ada orang." Haechan terkekeh saat bersiap melempar bola selanjutnya.
Plung!
Jia hanya bisa melongo melihat bola itu masuk ke dalam ring.
Plung.
Lagi, bola itu masuk yang ke tiga kalinya.
"Kok--?"
Pada sepuluh lemparan, Haechan bisa memasukkan benda bulat itu sebanyak 5 kali.
"Oke, aku harus bisa setidaknya 6 kali, bukan?" ucap Jia percaya diri.
Haechan tergelak. "Oke, ayo kita lihat?"
Pada kenyataannya, harapannya tidaklah sesuai dengan keinginannya. Boro-boro 6 goal, satupun Jia tidak bisa.
Tawa Haechan sukses menyembur sampai memegangi perutnya. "Aigoo, 6 kali?"
"Ini karena sudah malam dan sedikit gelap, jadi wajar bukan?" Jia beralasan.
"Alasan saja." Haechan yang gemas, memiting leher itu.
"Haish! Menyingkirlah!" Jia meronta dari pitingan laki-laki itu. Dua orang itu ribut ditengah lapangan yang sunyi.
Haechan melonggarkan pitingan tangannya sehingga Jia kembali mengangkat kepalanya dengan nafas lega. Rambutnya sudah acak-acakan dengan wajah yang sedikit memerah karena efek dari alkohol.
Lengan yang masih melingkar di leher gadis itu, ia tarik mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. Keduanya berpandangan ditengah cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
Chup.
Haechan menempelkan bibirnya cukup lama di bibir Jia tanpa pergerakan. Setelah itu, Haechan menarik bibirnya secara perlahan, saking pelannya, persis seperti plester yang dicabut secara perlahan.
Jia tersenyum setelah Haechan menarik bibirnya. Sentuhan bibirnya tadi terasa sangat berbeda. Meski tanpa pergerakan panas seperti biasanya, Jia bisa merasakan perasaan itu menembus pada hatinya.
Jedeeerrrr!
Keduanya terlonjak mendengar suara gemuruh petir.
Jia mendengak ke atas. Langit malam yang gelap tanpa bulan dan bintang. Berita cuaca siang tadi memang mengatakan kemungkinan akan turun hujan pada sore ini. Tapi nyatanya tidak ada hujan di sore hari, mungkinkah malam ini akan tiba hujan?
Tak lama setelah berfikir seperti itu. Rintikan hujan membuat Jia terkejut.
"Oppa, hujan!"
"Hanya hujan air, kenapa ribut?" Haechan malah santai saja.
"Ayo, kita berteduh. Nanti basah!" Jia menarik jaket laki-laki itu yang hanya bergeming ditempatnya.
Haechan menyeringai, "memangnya kenapa kalau basah bersama? Bukankah menyenangkan?"
Jia menautkan alisnya, menatap lelaki itu aneh. "Bagian mananya yang menyenangkan? Dingin dan basah, tentu tidak nyaman." dumelnya. Tangannya sesekali mengusap wajahnya yang sudah basah karena air hujan.
Bibir Haechan mendekat ke telinganya dan berbisik, "kita bisa saling menghangatkan, bukan?" ia mengakhirinya dengan menggigit pelan telinganya.
Pergerakan Jia lantas berhenti. Sampai beberapa detik ia hanya terdiam, mencerna arah pembicaran Haechan.
"Haish. Gila!" Jia langsung mendorong lelaki itu yang malah terbahak.
Ji
"Ya, lihat wajahmu yang semakin memerah." Haechan memegang gemas kepala gadis itu. "Apa yang dipikirkan oleh kepala kecil ini?"
Jia yang kesal meninju perut Haechan, dan dengan mudahnya dia menghindarinya. Jia mengejar laki-laki itu hingga memutari lapangan di tengah guyuran hujan.
Haechan masih menyisakan tawanya, dia kini berhenti dengan merentangkan kedua tangannya. Langsung saja Jia menubruk ke dalam pelukan laki-laki itu. Keduanya tertawa bersama dibawah hujan.
"Ayo kita pulang."
Mereka kini memilih berteduh di depan toko yang sudah tutup di pinggir jalan.
"Apa masih ada taksi?" Jia sudah mulai kedinginan.
"Entahlah." Haechan mengeratkan pelukan Jia agar tidak terlalu kedinginan.
"Apa kau mau menginap di motel?"
"Shireo! Itu tidak aman. Bisa jadi stafnya akan mengenalimu."
"Baiklah. Kita tunggu sebentar lagi."
🌑🌑🌑
Akhirnya mereka bisa sampai di rumah setelah menunggu taksi cukup lama. Sampai di rumah milik Haechan, karena jaraknya lebih dekat. Keadaan mereka yang basah kuyup tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah Jia, Haechan khawatir Jia akan semakin kedinginan.
Awalnya taksi itu menolak karena pakaian mereka basah. Pada akhirnya semua terselesaikan oleh uang. Haechan membayar lebih untuk biaya pembersihan dan kompensasi.
Agak lucu memang.
"Rasanya sudah sangat lama aku tidak ke rumahmu." Jia menyeka wajah dan bajunya yang basah.
"Aku juga." Haechan terkekeh. Sejak mereka bersama, Haechan selalu pulang ke rumah Jia. Rumahnya lebih sering kosong, hanya ada bibi yang bertugas bersih-bersih saja yang datang setiap minggu sekali.
"Aku mandi dulu." Jia hendak masuk ke kamar tamu untuk membersihkan dirinya, namun tangannya ditahan oleh Haechan.
"Wae? Aku sudah kedinginan."
"Kenapa kau mendadak tidak peka?"
Jia mengerjap cepat menatapnya. Dirinya tidak begitu siap ketika tiba-tiba tubuhnya terangkat olehnya.
"O-oppa--" Jia tergagap begitu Haechan membawanya ke dalam kamar mandi di kamar Haechan.
Begitu Haechan menurunkannya, dia langsung menyergap bibirnya tanpa ampun. Jia masih belum siap menerima serangannya, sedikit kewalahan mengimbanginya. Langkahnya sampai tidak sadar telah bergerak mundur hingga punggungnya membentur tembok.
Byuuur.
Di tengah tautan bibir mereka, Jia terkejut ketika tiba-tiba air hangat mengguyur tubuh mereka. Jia tidak tahu Haechan telah menyalakan shower ditengah pagutan mereka.
Bruk.
Kain atasan mereka telah tersonggok mengenaskan di lantai kamar mandi.
Ditengah guyuran air hangat itu, keduanya saling bersaing siapa yang lebih unggul dari permainan bibir mereka.
"Jia-ya, heummm," Haechan bergumam saat bibirnya bergilir mengabsen leher indah itu. Kedua tangannya melingkar erat di pinggang ramping itu. Tubuh mereka saling menempel dengan hangat.
"Bukankah sangat menyenangkan basah bersama seperti ini?" Haechan bergumam pelan. Mengingatkan kata-katanya di tengah hujan tadi.
Jia menggigit bibir bawahnya merasakan sensasi aneh di tubuhnya yang seakan menenggelamkannya. Sentuhan demi sentuhan yang Haechan berikan padanya, berhasil mengosongkan pikirannya. Jia tidak bisa berfikir apapun, hanya bisa merasakan tubuhnya yang seakan melayang di udara.
"Oppa--" Jia memandang sayu lelaki itu yang kini menjauh darinya.
"Aku akan menyiapkan air bathup dulu." katanya dengan senyum penuh provokasi.
Kedua tangannya reflek menutupi tubuhnya dengan senyum malu. Lantas berjongkok karena tubuhnya kembali terasa dingin setelah lelaki itu menjauh.
Jia berjongkok dengan pandangan menunduk, hingga tiba-tiba tubuhnya terangkat dan berakhir di dalam air hangat yang beraroma menenangkan.
Kedua tangan dibelakangnya itu melingkar di perutnya dengan posesif, sementara bibir itu sudah aktif mengabsen tengkuk, bahu, hingga punggung Jia.
"Jia-ya, bagaimana jika malam ini aku tidak bisa menahannya?" bisiknya di telinga Jia. Jia sampai meringis merasakan gigitan-gigitan kecil di telinganya.
"Itu--aku tidak tahu. Pikiranku kosong." jawab Jia gagap.
Haechan menarik dagu Jia dari belakang hingga kedua mata itu saling memandang. "Apa kau tidak menyesal jika melakukannya denganku?"
Jia meneguk ludah kaku. Tiba-tiba saja ia lupa caranya bernafas dengan benar melihat bagaimana Haechan menatapnya.
Menyesal?
Jia tidak merasa seperti itu. Haechan orang yang ia cintai selama bertahun-tahun.
Saking gugupnya, Jia sampai kesulitan untuk mengatakannya.
"Oppa--itu ..." Jia menggigit bibir. Pandangannya ia larikan kemanapun. Mereka sudah basah berdua seperti ini, apakah harus berhenti sampai disini saja. Tubuhnya yang sudah seperti ini seolah .... menginginkan lebih? Persis seperti apa yang lelaki itu pikirkan.
"Baiklah, ini belum saatnya." Haechan tersenyum, walaupun tampak getir. Dia tengah berusaha menahan hasrat yang meledak-ledak. Rasanya sangat berat untuk mengendalikannya.
Jia terdiam menatapnya. Melihat bagaimana tersiksanya lelaki itu karenanya.
Apa ... apakah ... ini saatnya?
Tangan Jia meremas kuat bibir bathup. Kepalanya kini tengah berperang pendapat. Hubungan mereka mungkin sudah lebih dari satu bulan, dan selama itu kegiatan mereka sudah cukup intim, namun tetap dengan batasan.
Haruskah ia merobohkan batasan terakhir mereka?
"Jia-ya, aku harus mandi sendiri." wajah itu sudah sangat frustasi.
Jia terdiam selama beberapa saat, lalu kembali menatap Haechan dengan senyum kecil. Secara perlahan, Jia tubuhnya memutar ke belakang menjadi duduk menghadapnya.
"Oppa, kau yakin akan mandi sendiri?"
ucapnya pelan.
Haechan terdiam menatap mata itu dihadapannya. "Kau sungguh tidak akan menyesalinya?"
Jia membalasnya dengan senyum geli. "Oppa, pertanyaanmu lucu sekali. Apa kau berharap aku melakukannya dengan orang lain selain dirimu?"
Kedua mata Haechan sontak melebar, "mana mungkin!"
Jia mengulum senyumnya melihat wajah tak terima lelaki di depannya.
Haechan kemudian menarik maju posisi duduk Jia hingga tubuh mereka tak ada jarak sedikitpun. Jia sampai mematung selama beberapa saat, merasakan apa yang lelaki itu inginkan ketika dia menariknya maju.
"Apa kau bisa berjanji?" tanyanya dengan wajah yang telah meredup, menahan gejolak gairah yang tengah membakarnya.
"A-apa?" Jia menggigit bibirnya.
"Jangan katakan berhenti setelah ini. Aku sungguh tidak bisa berhenti."
Jia sudah memutuskannya, jadi tentu ia akan menyanggupinya.
Bibir cantiknya mengembangkan senyuman, sebagai jawaban persetujuan. Jari-jari lentiknya bergerak meraba dada lelaki itu dengan gerakan pelan sampa ke bahu lebarnya.
Pandangan Haechan mengikuti arah gerakan tangan Jia yang menggoda. Seringaian nakalnya muncul saat pandangannya beralih pada dua buah netra hitamnya yang indah.
Haechan sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Jia-ya, bersiaplah, aku akan melahapmu habis malam ini." suaranya berbisik.
"Heum--" Jia tidak diberi kesempatan untuk mengelurakan suaranya. Haechan sudah lebih dulu menyerangnya dengan ciuman yang panas dan penuh tuntutan. Tangan itu terus bergerak aktif, tanpa melewatkan satu inci-pun dari kulit lembutnya itu.
Mereka benar-benar melewati malam yang basah, panas dan penuh gairah. Jeritan itu tidak bertahan lama, di luar dugaanya, gadis itu bisa menahannya dengan baik.
🌚🌚🌚
"Ough..." Jia bangun dengan rintihan kecil. Merasakan pegal di bagian pinggulnya.
Wah, gila.
Jia membuka lebar matanya. Nyawanya seakan terbang entah kemana, memutar kembali ingatan semalam.
Apa yang mereka lakukan semalamam suntuk?!
Oh my god! Jia menutup wajahnya dengan selimut. Malu sendiri mengingat betapa gilanya dirinya.
Tidak-tidak! Tadi malam bukan dirinya! Tidak mungkin ia bisa mengeluarakan suara sekeras itu dan meminta lebih.
Gila! Gila! Apa dirinya memang secabul itu?! Hei!
Jia menoleh ke belakang, Haechan masih terlelap dalam tidurnya.
Sampai jam berapa mereka melakukannya?
Ah, entahlah.
Matanya melirik beberapa bungkus kemasan yang tergeletak di atas nakas. Jia tidak menyangka Haechan menyimpan benda seperti itu. Apa dia sudah mempersiapkannya sebelumnya?
"Sudah bangun, hm?" suara serak di belakangnya membuat bulu kuduk Jia merinding. Ia merasakan tangan yang merambat di perutnya dan membalikkan tubuhnya menjadi menghadap pria itu. Haechan langsung menyambutnya dengan kecupan di bibirnya.
"Apa masih sakit?" Haechan tersenyum.
"Tidak terlalu," jawan Jia kikuk.
Haechan mendengus geli, melihat wajahnya yang berusaha menahan malu.
"Bukankah tadi malam sangat luar biasa?" godanya. "Kau menjerit cukup keras, apa suaramu baik-baik saja?"
Bluushh.
Wajah putih pucatnya, seketika bersemu merah.
"Oppa, diamlah. Aku malu." Jia menyembunyikan wajahnya di dada lelaki itu.
Haechan terkekeh, memeluk erat tubuh polosnya di bawah selimut.
Dalam pelukan itu, Jia spontan menjauh dari Haechan begitu teringat waktu. "Aku harus bekerja!"
Haechan tidak menahannya. Ini memang sudah siang. Jika ia menahannya, Haechan tidak yakin akan cukup dalam beberapa menit saja.
"Haish!"
Haechan tak bisa menahan senyumnya menonton Jia yang terburu-buru memakai pakaian seadanya.
Pandangannya masih tertuju pada pintu kamar mandi yang telah tertutup rapat. Kilasan kejadian semalam terputar tanpa bisa di cegah.
Haechan tersenyum sendiri sembari menggigiti punggung jarinya. Masih tidak menyangka saja, bocah yang dulu ia perlakuan seperti adik sendiri, kini telah berakhir menjadi wanitanya.
Rasanya sungguh menyenangkan menjadi yang pertama untuknya. Begitu pula dengan dirinya, Jia wanita pertama untuknya.
_______
Yaelah banh... Akhirnya di unboxing uga🙈👀🤣