Bodohnya, dia selalu berpikir masih ada waktu yang tersisa. Semuanya akan sempat seperti biasanya. Dia tidak tahu dia mendapatkan kebiasaan dan arogansi ini dari mana. Semuanya membuatnya merasa begitu pintar kemudian mengolok-olok dirinya dengan begitu parah.
Saat ayahnya berkata akan pergi ke pengadilan pada hari Senin untuk mengurus perceraian, gadis itu tetap diam dan tidak bergeming. Dia bahkan tidak berusaha sedikitpun untuk membujuk kedua orangtuanya agar berbaikan, ataupun mendekatkan dirinya dengan ayahnya agar saat ayahnya pergi, dia akan ikut serta membawa [Name] meninggalkan perempuan gila itu.
Awalnya dia kira mereka akan sempat berbaikan. Hari ini hari Sabtu dan hubungan mereka akan membaik begitu saja sebelum hari Senin tiba. Tetapi dia salah. ketika hari Senin tiba, di bawah mentari yang bersinar tepat di atas kepala, dia tidak menemukan ayahnya lagi. Sewaktu itu dia merasakan bahagia tak kepalang, tentang bagaimana ibunya akan sering tidak di rumah uuntk tidak bekerja. Perasaan itu kekanak-kanakan. Seharusnya waktu itu dia merasa sedih karena tidak sempat membujuk ayahnya membawanya pergi dari ibunya.
Hal ini terjadi lagi, untuk ratusan kalinya. Tetapi gadis itu heran, mengapa dia tetap tidak jera dan menjadi lebih berhati-hati? Selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya sebuah kondisi dimana ibunya akan berhenti menghasilkan uang. Jika dia memikirkannya secara objektif, ini memang kesalahannya. Seharusnya dia menahan dirinya saat itu karena waktu yang tersisa tidak sebanyak itu.
Dia mengingatnya dengan jelas namun samar, terasa mengawang di kepalanya. Bagaimana hari itu sedang turun hujan dengan deras, jam dinding di hotel itu menunjukkan pukul tiga sore, keramaian dari obrolan kerumunan yang terus terdengar dari sebelum mereka memasuki lift. Tangannya kala itu menggenggam sebuah piagam penghargaan dan kotak merah yang berisikan medali. Senyuman masih terukir di wajahnya saat membayangkan bagaimana dia akan memamerkan kemenangannya pada Senku dan Byakuya.
Lift itu berdenting, memberitahu mereka bahwa mereka telah tiba di lantai dasar hotel. gadis itu melangkah keluar dengan pandangan tertutupi kerumunan di depannya. Ketika kerumunan itu akhirnya menjauh darinya, barulah dia dapat meluaskan garis pandangannya. Saat itu juga kakinya terpaku. Matanya berkedut dengan sendirinya begitu melihat apa yang ada di depannya.
Selama ini, dia hanya mengira ibunya hanya pergi bersenang-senang setelah bekerja. Ternyata itu juga salah satu bentuk arogansi miliknya?
Ibunya berdiri di situ, kepalanya mendongak ke atas dan sibuk beralih ke kanan dan ke kiri, meminta perhatian dari kanan dan kirinya. Berapa kalipun gadis kecil itu mengedipkan dan memicingkan matanya, pakaian yang dikenakan ibunya sama sekali buukanlah pakaian yang akan diterima di sebuah lingkungan kantor. Tangan-tangan itu hingap di tubuh ibunya begitu saja dan bagaimana ibunya tidak mempermasalahkan kekurangajaran itu.
Selama itu ibunya bekerja sebagai perempuan lacur. Detik itu juga, dada gadis itu teremas, merasa dikhianati. Air mata menggenang pada pelupuk matanya, tanpa disadarinya saat berkedip air itu menuruni pipinya. Rasa mual datang begitu saja, menggerogoti seisi perut dan kerongkongannya. Dia merasakan penghinaan yang amat besar saat ini, akan bagaimana dia terus hidup dengan uang yang dihasilkan oleh perempuan gila itu. Ibunya sungguhan seorang lacur kotor sebagaimana dia mengumpatinya selama ini.
Kala itu, entah dengan arogansi jenis apa lagi yang dimilikinya, dia tak dapat menahan dirinya. Dengan rasa mual di dada, dengan mata yang terasa perih, dia menghampiri ibunya. Dia menarik tangan itu, bertanya dengan suara yang bergetar, "Apa yang ibu lakukan!"
Saat mengucapkan kata ibu, rasanya dia malu tak kepalang. Air matanya mengucur bertambah deras, menitik membasahi sertifikat yang dipegangnya. Dia menatapi wajah ibunya, kali ini penuh rasa heran, rasa penasaran, rasa tak percaya, rasa ingin mempercayai.
Saat itu, perempuan yang tangannya digenggam oleh sang gadis berjalan dengan cepat, menyeret anaknya untuk ikut keluar. Suara ketokan dari sepatu hak tingginya terdengar begitu nyaring dan cepat, seolah dia melampiaskan amarahnya pada tiap langkah miliknya.
Sepanjang mereka duduk di taksi, ibunya tak mengeluarkan sepatah kata apapun. Di sisi lain gadis itu terus menarik napas dengan panjang, meredakan isak tangisnya. hatinya sangat gundah, kepalanya tak mau memproses informasi yang diterimanya, dengan pernyataan mengambang bahwa apa yang dilihatnya tidak menjelaskan semuanya.
Begitu tiba di rumah, di detik pintu itu baru saja dikunci, telapak tangan ibunya mendarat tepat di atas wajahnya. Gadis itu termangu di situ, memegang pipinya yang perlahan-lahan merasakan sensasi bakaran. Dia menatap wajah ibunya sembari menggigit bibir dalamnya. Tatapan tak percaya itu masih dilontarkannya. Kala itu, justru wajah ibunya yang tampak jijik menatapinya.
"Harusnya aku yang menatapmu dengan tatapan jijik-" Tamparan berikutnya melayang begitu saja, disambut dengan runtutan lainnya seolah perempuan gila itu belum puas. Merasa tak cukup dia mendorong gadis itu, menjatuhkannya ke lantai kemudian menginjak-injak tubuh kecilnya dengan rasa geram. Tangisan milik sang Gadis bertambah parah, rintihan itu terdengar semakin kencang kian waktu.
"Kau adalah pelacur?"
"Dasar anak sialan. Apa? Pelacur? Kau hidup karena aku yang melacur! Kau sama saja seperti pelacur!" Ibunya menjambak rambutnya dengan kencang. "Kau tahu? Karena kau aku tidak bisa mencari uang lagi! Apa gunanya kau seperti itu? Hah?" Ibunya menggoyangkan kepalanya dengan kesal. Kepala sang Gadis mulai merasakan sakit yang tak kepalang, dia tak merasa sedang bangun sekarang.
"AKU TANYA APA GUNANYA!"
"BERHENTI MENJADI PELACUR! AKU TIDAK BUTUH UANG KOTOR ITU!"
Guncangan di kepalanya terhenti saat itu juga. Tawa kencang kemudian terdengar menggema.
"Haha! HAHAHAHAHHAHAAHA!"
Dia seharusnya lebih menahan diri saat itu.
Dia seharusnya sadar bagaimana dia terus merasa masih memiliki waktu dan menghamburkan uangnya untuk buku-buku ilmiah dan kue-kue manis itu.
Dia tidak menyadari seberapa dia tidak akan sempat mengejar tempo kehidupannya.
Dia tidak tahu, karena arogansinya selama ini, perlahan-lahan semua yang dimilikinya akan hilang.
===============★===============
Jantungnya sungguh terasa lemas pada detik itu, saat mikrofon tergali dan terpampang nyata di matanya. Saat Tsukasa menarik keluar mikrofon dari dalam tanah, jantungnya terasa seperti akan berhenti berdetak pada saat itu juga. Kali ini, ketidakpastian yang besar menyerangnya kembali, kenyataan bahwa nasib mereka yang selalu tidak beruntung kembali diungkapkan.
Dia membuat sebuah lubang di rencananya sendiri, tentang bagaimana dia tidak bisa memperkirakan waktu dengan tepat seperti Senku. Apakah sekarang sudah pukul 13.20? Atau ini masih 12.50? Dia tidak tahu! Bencana sungguh datang jika sekarang belum melewati pukul 13.05!
Tanpa aba-aba, dua pria di depannya segera melesat dengan cepat, menghilang dari hadapannya tanpa sepatah kata apapun. Sang Gadis memejamkan matanya dengan erat kemudian berhasil melepaskan diri dari keinginan untuk menebak waktu. Dia kemudian berlarian, mengejar dua pria di depannya yang menuju ke tempat dimana semua kisah ini dimulai.
Apa kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi sekarang? Senku belum menyerang? Tidak, itu masih sebuah skenario yang bagus. Mungkin dia bisa memiliki waktu untuk menyiapkan rencana baru lagi. Skenario terburuk adalah Tsukasa datang tepat saat sepuluh detik pertama meriam diledakkan! Apa yang harus dilakukannya? Mengendap dan membuat mesiu? Betul. Hanya itu hal terbaik yang bisa dilakukannya. Tidak apa-apa. Semuanya masih terkendali.
Di saat dia mendengar kerusuhan tak jauuh disana, dia sudah berhasil menenangkan hatinya. Suara teriakan Taiju menerjang gendang telinganya
"Bagaimana jika... Terjadi hal seperti dulu?" Suara cemas pemuda itu terdengar lebih jelas. [Name] menghirup udara dengan rakus, mencoba mengembalikan laju degup jantungnya ke kondisi normal agar fokusnya tidak terganggu. Dia sudah lama tidak berolahraga!
"Aku tak mau... Kedua kalinya...!" [Name] bisa melihat tangis Taiju yang akan berderai. Di sana, sang Gadis berdiri mengamatii keadaan sekitar. Mobil yang masuk ke jebakan, campuran arang dan sulfur yang tergeletak di tanah. INI SUNGGUH SITUASI TERBURUK! Apa yang bisa mereka buat? Haruskah [Name] membidik Tsukasa atau Hyouga di sini? Ukyo akan bertambah tidak menyukainya!
"Keh... Kekekeke! Jangan menunjukkan wajah menangis yang menjijikkan seperti itu, Dekabutsu. Apanya yang sama? Lebarkan matamu dan lihat baik-baik. Waktu itu, Taiju, kau tidak sempat datang sehingga hanya aku yang menghadapinya sendiri. Tapi sekarang, di sini sekarang... bukankah berlimpah? Aku, kau, dan juga teman-teman dari kerajaan Sains!"
"A! Kau benar, Senku!" Ucap Kohaku.
"Oo, yo! Di sini juga ada satu orang lagi yang memahami Sains!" Sahut Chrome penuh semangat.
"Benar! Aturan dari pertarungan ini adalah 'Jangan sampai ada satu orang pun yang mati.' Aturan adalah aturan." Di lain sisi Kinrou mulai mengambil kuda-kuda siap untuk bertarung lagi.
"Demi ini kami juga sudah banyak melakukan latihan, kan." Di luar dugaan Ginrou kali ini tidak merasa takut.
"Betul, Senku tak hanya kepala desa kami, karena dia adalah rekan kami." Ucapan yang keluar dari mulut ayah Kohaku membuat senyum terlukis di wajah cantik sang Gadis.
"Yang penting saling membunuh, bukan? Dengan mereka semua." Sepertinya telinga Magma baru saja tersumbat saat Kinrou membuka suara.
"Yaaa... Semuanya bersemangat sekali. Yah, jika Senku-chan mati, tidak akan ada Cola lagi."
Kemudian, pada akhirnya tawa kencang Taiju terdengar. Dia berbalik dan menghadap ke Senku yang tersenyum, "Benar juga! Sama sekali tidak sama! Maaf, Senku!"
Saat itu juga, Kohaku mulai memimpin untuk menyerang Tsukasa dan Hyouga. Sang Singa Betina meemiliki keyakinan penuh bahwa para ilmuwan kerajaan mereka akan berhasil membuat sesuatu bagaimanapun caranya!
"OI, GADIS SINTING! CEPAT KESINI!'' Di sana, Senku berteriak sembari berlarian menuju gua ajaib. [Name] bisa melihat dengan samar, bagaimana telapak tangan pemuda itu diulurkannya ke belakang, bersiap untuk menyambut tangan sang Gadis. [Name] menghela napas kemudian berlari keluar dari hutan, menghampiri sang Ilmuwan. Digapainya tangan itu dan digenggamnya dengan erat.
Angin berhembus dengan kencang, menyibak setiap helai rambutnya ke belakang. Suara anak panah yang saling teradu selaras dengan langkah kakinya. Awal musim semi tidak lagi terasa dingin begitu dia menggenggam tangan itu. Senyumnya bertambah lebar, perlahan-lahan dia memimpin dalam lari dan menarik tangan Senku. Dia menoleh ke arah Tsukasa yang terdiam seperti perkiraannya. Sang Gadis berteriak, "I LOVE YOU TSUKASA! JANGAN DENDAM KEPADAKU!"
"HAH?" Suara eluhan heran keluar dengan nyaring dari mulut Senku. Pergerakan sang Ilmuwan terhenti, membuat [Name] membalikkan pandangannya ke arah Senku.
"EH?" Teriakan nyaring Taiju menyergap telinganya lagi. Dia melihat bagaimana tatapan semua orang, yang merupakan manusia modern, tertuju padanya. Dia memiringkan kepalanya dengan heran.
"Apa? Cepat!" Dia menarik tangan Senku dengan rasa kesal.
"[NAME], KAU SEKARANG MENYUKAI TSUKASA?" Teriakan Taiju membuat sebelah matanya bekedut kesal. Ternyata itu yang dipertanyakan mereka? Apakah mereka tidak mengenal candaan? Dia juga sering begitu pada Yuzuriha dan Kohaku!
"TAIJU TOLOL PAKAI OTAKMU!" Pekiknya dengan kesal. Suaranya menggema begitu dia memasuki gua dan menoleh ke kanan dan kiri. Ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kakinya ke dalam gua ini. Tempat dimana semuanya dimulai. Tempat lembab dengan cahaya redup, suara tetes Asam Nitrat yang menggema di sekujur gua.
"TERNYATA BEGITU? MAAF TIDAK PEKA!" Teriakan balasan dari Taiju membuat [Name] naik pitam. Dia meremas rambutnya dengan kesal dan berbalik badan.
"BODOH! AKU TIDAK MENYUKAINYA BEGITU!" Pekiknya balik dengan geram. Dia kemudian kembali berjalan menghampiri Senku yang sudah mendekati Asam Nitrat.
"Ja-jangan bilang kau berencana untuk membuat senjata sains selagi mereka menahan Tsukasa-chan? Semua bahannya hancur, loh!" Gen terdengar panik.
"Gadis sinting, beri tahu apa yang harus kubuat?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Senku yang kini tengah menakar Asam Nitrat.
"Apapun yang tidak mengandalkan keberuntungan seperti Urea Nitrat." [Name] memijat tipis cuping hidungnya. Dia menatapi Senku yang kini mengumpulkan kotoran ular dan kelelawar kemudian mencampurkannya ke dalam Asam Nitrat. Pada awalnya dia menyimpan sedikit harapan bahwa mereka tidak sesial itu, akan tetapi harapannya salah total!
"Kenapa kalian berdua sial sekali." Gen mengeluh dengan pesimis.
"Sialan, untuk apa aku mempelajari bagaimana membuat bom atau TNT atau- TNT! NITROGLISERIN!"
"Kita tidak memiliki Asam Sulfat. Aku juga berharap kita bisa-"
"Asam sulfat ada di peluru meriam itu, bukan? Jika kita cukup beruntung, mungkin botolnya tidak hancur lebur dan masih ada yang tersis-"
"ADA DI SINI! ASAM SULFAT TERCINTA KALIAN!" Chrome datang dengan suara lantangnya seperti biasa, mengangkat tinggi botol berisi Asam Sulfat dengan sedikit retakan.
"YESH!"
Kali ini, nasib buruk mereka tidak menyerang mereka seburuk itu.
Kali ini, Tuhan memihak mereka.
[Name] mengambil salah satu anak panahnya. Dibalutnya anak panah itu dengan kertas yang diberikan Gen. Senku kemudian membasahi kertas itu dengan larutan berbahaya yang sudah mereka buat, Nitrogliserin.
"Oi, [Name]." Sang Gadis menoleh ke arah sang Ilmuwan dan menaikkan kedua alisnya. Pemuda itu merogoh salah satu kantongnya dan mengeluarkan kacamata dari dalam sana. Menyadari kedua tangan [Name] yang memegangi anak panah dan busur, Senku memakaikan kacamata itu. "Kau akan menambak dengan mata setengah buta?"
"Aku bisa membidik tepat sasaran tanpa kacamata." Sang Gadis kemudian tersenyum jahil. Dia kemudian melangkah mendekati mulut gua. Di sana dia berdiri, menarik napas dalam dan menarik tali busurnya. Diarahkannya anak panah itu ke atas sembari memperkirakan jaraknya dan orang terjauh yang bisa dilihatnya. Jarak yang paling aman adalah 300 meter! Saat itu, dilepaskannya tali busur itu, membiarkan anak panah itu melesat dengan cepat dan dalam seketika menciptakan suara ledakan dahsyat yang sukses menyita perhatian semua orang.
"Kekeke! Sungguh nyaris, bukan? Power team? Berkat kalian yang melindunginya dengan sekuat tenaga." Senku menghampirinya, kemudian meletakkan sebelah tangannya pada bahu [Name], sedikit bersandar.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu! Kau baru saja memegang kotoran!" Gadis itu dengan cepat bergelijang dan menjauhi pemuda itu.
"Aku sudah memakai sabun." Ucapnya santai dengan kedua tangan di pinggang.
"EWW!"
"Baru saja, Kerajaan Sains membuat Dynamite, loh! Kekuatannya sekitar sepuluh miliar megaton Joule." Gen tersenyum jahat, menakut-nakuti lawan mereka.
"Apa-apaan, sepuluh miliar megaton Joule. Besar omong." Senku dan [Name] melirik Gen, membuat pria itu kelabakan dan mencoba membuat keduanya menutup mulutnya dan tidak menghancurkan kebohongannya.
"Perang selesai. Yey, menyerah, menyerah!" Gen berkata dengan riang sembari menepuk kedua tangannya. Tak lama senjata di genggaman prajurit Tsukasa jatuh ke tanah. [Name] menghela napasnya dan menatapi Tsukasa.
"WUOOO! KATTA ZOOO!"
"AKHIRNYA SELESAI!"
Sang Gadis melangkah maju dengan menarik lengan Senku yang berbalut perban, menuju ke arah Tsukasa. Di sana dia berdiri di depan pemuda itu dan mendongak.
"[Name]. Kau sungguh membuatku takjub." Suara sang Kaisar terdengar tidak memiliki nada sarkasme sama sekali. Begitu dapat melihat matanya dengan jelas detik itu, sang Gadis kian bertanya-tanya, mengapa sesuatu yang sangat berbahaya begitu indah dan tidak terlihat mengancam?
"Penggunaan Dynamite terlalu destruktif. Kau yang berhati lembut tentunya tidak akan membiarkan sebuah ledakan yang akan melukai banyak orang." Tsukasa berbicara dan menatap Senku. " Aturan yang disebut pemuda berkacamata itu tentunya juga akan kalian taati, bukan?" Kini barulah dia beralih menatap [Name].
"Kekeke, bagaimana ini? Kedua pihak tidak bisa bergerak?" Senku terkekeh dengan puas.
"Sejak awal, kalian sengaja menciptakan situasi ini." Ucap Tsukasa tersenyum tipis.
"Tsukasa, mari kita buat kesepakatan. Mari kita bangkitkan adikmu." Hal itu diucapkan begitu saja oleh [Name] dan Senku, secara bersamaan. Tsukasa terdiam, tidak bergeming sedikitpun. Rencana ini merupakan hasil rombakan secara besar-besaran, bermodalkan hasil analisis [Name] selama ini. Bahwa adik Tsukasa masih hidup. Ini taruhan besar!
Pemuda itu terdiam di sana, meminta pembuktian.
Di lain sisi, perhatian [Name] teralihkan dari pembicaraan dua pemuda itu. Telinganya mendengar dengan jelas suara Gen yang membicarakannya dengan Kohaku. "Mungkin Senku-chan memang bermaksud untuk membuat sebuah pertukaran. Tapi [Name]-chan sudah tahu bahwa Tsukasa-chan tidak akan melawan lagi setelah adiknya disembuhkan, bukan?"
"Mengapa begitu?"
"Karena dia tahu Tsukasa-chan orang baik yang akan merasa berhutang."
"Betul, tidak sepertinya." Chrome datang menyahuti dengan suara yang kencang.
"Bisakah kalian berbisik jika ingin menjelekkan orang?"
===============★===============
"Ternyata kau memiliki adik perempuan." Ucap Niki. [Name] sedari tadi terus memandang ke samping kanan, memandang hamparan laut yang luas dan tampak berkilauan. Suara deburan ombak yang perlahan ditemani oleh teriakan burung sesekali. Rasanya dia ingin meloncat ke bawah sana sekarang juga! Pemandangan ini membuatnya sangat terpana. Ternyata dia memang mencintai dunia ini.
"Tsk! [Name]!" Senku datang, menarik tangannya dengan kesal, membuat sang Gadis mengalihkan pandangannnya dari lautan. "Mengapa kau berhenti berjalan?"
Selama ini juga terus seperti ini, pemuda itu akan selalu menarik tangannya, memastikan dirinya tidak tertinggal sebisa mungkin. Tetapi, mengapa pada akhirnya dulu [Name] tertap tertinggal?
Itu adalah pertanyaan yang bodoh. Selama ini juga tanpa sadar sang Gadis terdiam, terbuai dengan keadaan sekitar dan membiarkan dirinya tertinggal dengan sendirinya. Di saat Senku tak dapat terus memperhatikannya dan menarik tangannya seperti sekarang.
"[NAME]! KAU BELUM MEMINTA MAAF PADA TSUKASA KARENA SUDAH MEMBOHONGINYA!" Teriakan kencang milik Taiju membuat sang Gadis mengalihkan pandangannya dari tautan tangan mereka berdua. Sang Gadis memiringkan kepalanya dengan heran.
"Tadi Taiju-chan baru saja berkata bahwa perbuatan Tsukasa-chan itu sangat jahat. Tetapi kemudian dia mengingat kalau [Name]-chan sama sangat jahatnya." Penjelasan keluar dari mulut Gen yang duduk di atas mobil.
"Hah?" Gadis itu secara tidak sengaja mengangkat kedua alisnya dan mengeluarkan suara heran. Selama ini dia tidak pernah meminta maaf setelah membohongi orang!
"Oh! Maaf, Tsukasa. Jangan dendam kepadaku, peace." Ucapnya dengan cepat.
"Sesungguhnya itu wajar jika kau tidak meminta maaf. Tidak, kau memang seharusnya tidak meminta maaf." Perkataan itu keluar dari mulut Tsukasa di depan sana.
"Jangan tersinggung, Tsukasa! [Name] juga tidak pernah meminta maaf setelah membohongiku." Ujar Taiju. Ucapan yang terdengar berusaha untuk tidak menyakiti hati Tsukasa terdengar menyebalkan di telinga [Name].
"Juga semua orang yang dia bohongi bahwa mereka bisa menemukan emas di dalam gigi yang sudah patah." Sambung Yuzuriha.
"Kenapa kalian terdengar seperti sedang mengumpatiku? Yuzu-chan, kita sudah berpelukan tadi, bukan?" [Name] segera berlari menghampiri Yuzuriha dan memeluknya dari belakang.
"Kenapa, kau ingin membersihkan umat manusia? Itu hal yang sangat mengerikan." Pertanyaan itu pada akhirnya keluar dari mulut Ukyo.
"Mengerikan? Ya, mungkin memang benar. Kalian akan berbuat apa? Jika terbangun di Dunia Batu yang hampir tak ada manusia dan mengetahui adanya cairan kebangkitan. Dunia seprimitif ini tak akan bisa menampung begitu banyakk orang. Juga tak bisa dipastikan apakah carikan iitu bisa diproduksi tanpa batas. Ukyo. Kau akan memilih siapa?"
"Dalam kondisi seperti ini, aku hanya bisa menyeleksi orang. Ini memang hal yang sangat mengerikan. Berperan bagai Dewa, membuat dosa besar. Karena itu, selanjutnya pun aku yang akan menanggungnya. Ini adalah kesempatan untuk membuat dunia baru, begitulah pikirku."
"Tujuanku tidak akan berubah, baik sekarang, atau kedepannya."
Pemuda itu berjalan di depan dengan gagah, memimpin jalan mereka. Pundaknya terlihat tetap kokoh seperti biasanya, menanggung semua beban di pundaknya.
===============★===============
16-11-24
OMG GUYS, HELLO! IT'S BEEN A LONGGG TIME! I really appreaciate your waiting, huhu. Hope chap ini tidak mengecewakan.
This is TMI as always, but even though I've take a break from this book for like a month or more, I'm actually didn't get enough rest, duh. Terbombardir lomba, TOEFL test, MTK. GOD I HATE MATH. But I'm so terharu when I gind out you guys wait for me so that I get this done ASAP! That's all. Love you always!
With love,
-Kheyca