Emosinya terasa tergerak untuk meluap, saat manik ruby miliknya menangkap sosok yang tengah terduduk disana.
Semua orang terdiam, termasuk dirinya. Jauh dari espektasi, ia pikir akan menemui sang ayah dengan tenang untuk kemudian menutupi kejadian sebenarnya antara mereka. Tapi, kehadiran Solar seakan meruntuhkan semua rencana Hali.
Dengan tajam ia mengunci manik silver sang adik yang juga terdiam. Syok. Seperti disambar petir. Tak siap dengan kedatangannya.
Ingatan tentang bagaimana Ibunya berakhir ditangan Solar kini berputar dengan jelas tanpa melupakan satu detikpun. Rasanya Hali mau meledak, jika saja ia sedang diluar kendali, mungkin tangannya akan terangkat untuk menyalurkan emosi pada Solar.
Tak ada pergerakan antara keduanya dalam beberapa saat tatapan bak percikan petir. Sebuah suara terdengar memecah keheningan.
"Duduklah Hali. Berhubung kau sudah datang, ayah mau bicara dengan kalian berdua", ucap Amato santai. Seakan tak menyadari adanya masalah apapun.
Hali tak bergeming. Apalagi Solar. Pemuda bermanik silver bahkan tak mampu bernafas dengan benar, tubuhnya gemetar, perasaan takut dan trauma muncul. Satu hal yang ada dalam benaknya, lari. Lari jauh dari mereka. Dari orang ini.
"Hali", panggil Amato lagi. Panggilan yang menyadarkan sang sulung dan membawanya pada kenyataan.
"Ayah bohong padaku"
Amato tak mengiraukan jawaban tak terduga dari sang sulung. Ia melirik reaksi Solar, betapa putranya itu seakan memiiki ketakutan yang besar pada saudara yang telah hidup bersamanya sekian lama.
Menyadari kecanggungan yang ada, Solar tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia tersenyum canggung, "Suasananya jadi tidak baik karna aku, kalau begitu aku pergi saja", pamit Solar. Namun, baru hendak melangkah, sebuah tawa sinis terdengar. Tawa yang jika dulu begitu menyebalkan untuk ia dengar, namun kini seperti tercium nada penghinaan.
"Kenapa begitu terburu-buru? bukankah kau sudah menggunakan kartumu untuk mendapat pembelaan?", sindir Hali. Menatap tajam pada sang adik. "Jadi, daripada kau tidak menuntaskannya, lebih baik kau beritahu ayah bagaimana kami memperlakukanmu. Sampai kau puas, bukankah itu yang kau rencanakan?"
Solar terdiam. Tidak mengerti apa maksud dari kalimat Hali. Sementara kini, Hali melirik pada sang ayah. "Selamat datang Yah. Awalnya aku ingin menyambutmu, tapi sepertinya, sekarang pandangan ayah padaku sudah berubah, jadi kurasa tidak ada lagi yang perlu kujelaskan", ucap Hali. Lalu ia berbalik pergi.
Rasa kesal memenuhi dirinya saat mengetahui sang ayah ternyata berbohong dengan mengatakan jika ia ingin bertemu dengan Hali dulu sebelum yang lain. Terlebih, kenapa harus orang itu? orang yang begitu ia benci? kenapa sang ayah harus mempertemukan ia dan orang itu?
Namun, pikiran Hali terhenti, saat tangannya bergerak menekan tombol untuk membuka pintu. Tombol itu mati. Pintupun tidak terbuka, bahkan sensor otomatis juga mati.
Disisi lain, Amato menaruh gelas kosong dimeja. Mungkin menjadi kopi terakhir untuk hari ini.
"Ayah bilang duduk dulu sebentar", ucapnya dengan serius namun terkesan ringan.
Sial. Batin Hali. Ia sudah terjebak.
"Ayah janji tidak akan lama. Ayah hanya mau meluruskan sedikit kesalahpahaman antara kalian. Jika kau masih menganggapku sebagai ayahmu, maka kemari dan duduklah Hali. Kesampingkan dulu emosimu itu". Amato menatap punggung Hali, tanpa menyadari jika Solar adalah pihak yang paling takut jika sampai Hali menerima ajakan sang ayah.
Hali tak menjawab. Iapun tak berusaha menekan tombol pintu otomatis. Ia tau sang ayah merencanakan pertemuan ini dengan baik.
Menyadari situasi tidak seramah yang ia pikir, Amato menghela nafas panjang. Ada jeda dalam beberapa saat sebelum ia memandang satu persatu putranya.
"Baiklah kalau kau tidak mau duduk. Ayah akan mulai saja kalau begitu", ucapnya memulai. Kini ia membenahi posisi duduknya dan lebih memilih menyilangkan kaki dan duduk dengan tenang. Dipandangnya langit yang mulai gelap dan dihiasi ribuan bintang dari bingkai kaca diruangan itu.
"Apakah ini tentang Ibu kalian lagi?", tanyanya.
Tak ada yang menjawab.
"Dengarkan ayah baik-baik. Mungkin ayah tidak bisa memberitahu terlalu banyak hal pada kalian, tapi bagi ayah, terlalu miris melihat ikatan yang kuat berubah menjadi daun kering yang sangat rapuh. Padahal, jika berpegang pada simbolisme, persaudaraan kalian masih sangat kental dan tidak terkalahkan". Lelaki itu melirik Hali yang membelakanginya.
"Hali. Jujur saja, ayah merasa harus kembali saat mendengar berita tentang penculikanmu. Walaupun dari kejauhanpun ayah tau setiap gerakan kalian. Tidak penting bagaimana, tapi ayah melihat semua yang terjadi"
"Apakah kau tau? siapa sebenarnya yang menculikmu? dan apakah mereka mengatakan sesuatu yang membuatmu tersadar akan sesuatu? itu hanya kau yang tau. Tapi apapun itu, ayah harap kau sadar Hali, hidup kalian dalam bahaya. Sewaktu-waktu, kau bisa kehilangan lagi. Kalian harus menjadi gugus yang tidak terkalahkan, yang mampu membuat musuh kalian gentar saat melihat bagaimana hebatnya kalian. Ketahuilah, berpecah hanya akan membuat kalian lemah"
Kali ini, manik coklat amber Amato berpaling pada Solar. "Sejak kalian lahir, ayah dan Mara sudah memperhitungkan semuanya. Walaupun tidak segala hal dari itu berjalan sesuai dengan espektasi, tapi cara kerjanya masih sama. Ada alasan dibalik terciptanya kalian. Kalian diibaratkan seperti sebuah teko air. Jika ada sedikit saja bagian yang pecah, kalian tidak akan bisa berfungsi normal"
Hening. Tak ada suara apapun setelah kalimat panjang lelaki paruh baya yang telah membesarkan ketujuh elemental itu. Jika boleh jujur, keadaan dimana kedua orang ini disatukan tidak menimbulkan bising keributan dan malah berperang dingin, adalah sesuatu yang belum ia prediksi.
Walau Amato memiliki kekuasaan yang lebih dari cukup untuk mengendalikan para putranya, namun kali ini iapun terdiam. Tak lagi memandang siapapun, melainkan terpaku pada hamparan ketinggian dibalik bingkai kaca.
"Satu hal..", ucapnya.
Mara, izinkan aku memberitahu mereka.
Aku janji
Hanya kali ini..
Helaan nafas terdengar dari Amato. Manik coklatnya yang memandang jauh menampakan rasa bersalah yang besar dan tak terbendung.
"Kalian bertujuh bukan manusia biasa. Gen kalian bukanlah gen manusia yang sebenarnya. Tapi..adalah campuran gen manusia asli dan manusia buatan. Kalian berdiri diantara kedua jenis itu. Kalian adalah kuncinya"
Kedua orang yang mendengar kalimat Amato seketika membelalak. Syok. Apa maksudnya itu? bukan gen manusia? Jadi, mereka bukan manusia asli?
"A-apa maksud ayah?", tanya Solar. Rasa tidak percaya tercermin jelas dari sorot wajahnya.
Amato tak menjawab.
"Aku tidak mengerti. Ayah bicara apa? maksudnya apa?". Sebisa mungkin Solar mendorong sang ayah untuk bicara lagi, namun sang ayah tak menunjukkan tanda-tanda akan merespon pertanyaannya.
"Siapa dari kalian yang bukan manusia?". Kali ini, sebuah suara berat terdengar. Suara dengan rasa ingin tahu yang berusaha disembunyikan, namun masih terdengar begitu kentara.
Mendengar tak ada lagi suara dari lelaki yang telah membesarkan mereka, Hali memilih untuk berbalik.
"Katakan sesuatu. Siapa diantara kalian yang bukan manusia?", merujuk pada kedua orang tuanya.
Sudah. Hanya itu saja janji yang kulanggar Mara.
Tak lama, Amato bangkit. Menatap kedua putranya bergantian. "Selebihnya, bukan tugas ayah untuk memberitahu kalian. Kalian sendiri yang harus cari tau. Petunjuk-petunjuk seperti itu akan selalu datang, jadi bersiaplah. Semuanya akan bergantung pada kalian. Jika kalian memutuskan untuk berpecah, jangan harap kalian akan menemukan titik terang dari kebingungan kalian."
Hali dan Solar terdiam.
"Ayah yakin, Mara sudah memperhitungkan semuanya. Sekarang hanya tinggal kalian bertujuh". Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk melangkah pergi, tepat saat pintu otomatis terbuka untuknya.
"Dan kau Hali. Apapun yang terjadi ditempatmu diculik, seharusnya sudah membuatmu sadar pada kesalahanmu", ucap Amato lagi. Sebelum dirinya dan kedua orang putranya terbatas oleh pintu yang menutup, menelannya pada sekat yang berbeda.
Dunia begitu besar.
Ada banyak hal hebat yang tidak kita mengerti.
Seperti halnya sebuah dunia yang berusaha mereka ciptakan dengan kemampuan luar biasa manusia.
Tapi, bagaimanapun manusia menciptakan orang-orang seperti kami, mungkin itulah batasan yang ditakdirkan.
Dunia yang damai tanpa perbedaan, itu mustahil.
Dunia selalu dipenuhi oleh cinta dan perang yang sama-sama memiliki porsinya masing-masing.
Apa yang terjadi jika dunia impian yang mereka inginkan terwujud? maka dunia ini bukan lagi tempat yang layak untuk dihidupi manusia.
Karena itu, aku berusaha menghentikannya.
Tapi mungkin takdir berkata lain. Aku harus segera pergi.
Walaupun begitu, jiwaku masih akan tetap bersama ketujuh putra yang sangat aku sayangi.
Merekalah yang akan melanjutkan perjuanganku dengan dipimpin olehnya.
Entah bagaimana dia mengaturnya, tapi mereka sudah ditakdirkan bersama bahkan sebelum mereka diciptakan kedunia ini.
Sampai saat itu tiba,
Kuharap semuanya akan berakhir dengan bahagia.
.
.
.
Author's Note
Ugh maaf ya telat hehe. Ini episode udah author garap berhari-hari. Alurnya memang sesulit itu wkwkk. Tapi semoga kalian suka ya.
Hm, apakah mulai terbuka?
Komen yang banyak dong, auth mau cepetan namatin cerita ini:(
Okelah, atas perhatian para pembaca setia ane, author mengucapkan sampai bertemu di episode selanjutnyaaa.