Akhir-akhir ini Windy tidak punya banyak waktu luang. Selain disibukkan dengan tugas kuliah, dia juga harus segera merampungkan film dokumenter kegiatan pengmas di Dusun Cemara. Untung saja semua footage yang diperlukan Windy sudah lengkap sehingga yang perlu dilakukannya sekarang hanya menyelesaikan proses editing video.
Hari ini, tepat seminggu setelah dia membuat kesepakatan dengan Sadam mengenai hubungan mereka, Windy akhirnya berhasil merampungkan film dokumenter tersebut. Setelah sebelumnya berhasil melewati tahap diskusi dengan tim dan beberapa anggota BEM lain dilanjut dengan sedikit revisi sana-sini, akhirnya film itu pun selesai dan akan disaksikan beramai-ramai oleh seluruh panitia sore ini di ruang BEM.
Event nobar dadakan ini dilakukan sebagai perayaan kecil-kecilan atas berakhirnya kegiatan pengmas awal tahun secara resmi. Para panitia tampak antusias sampai rela berdesakan duduk di dalam ruangan yang tidak begitu luas ini, padahal film yang durasinya tidak sampai tiga puluh menit itu juga pada akhirnya akan diunggah secara resmi di kanal YouTube BEM Fakultas Teknik setelah pemutaran offline pertamanya selesai.
Sejujurnya Windy merasa sedikit gugup. Dia memang sudah berusaha semaksimal mungin, tapi tetap saja ada kekhawatiran jika hasil film ini tidak sesuai dengan ekspektasi orang-orang. Kegugupannya pun semakin menjadi ketika melihat Sadam muncul bersama teman-temannya. Ini adalah pertama kalinya Windy bertemu degan lelaki itu di hadapan banyak orang semenjak peristiwa di Kantin Teknik. Seperti yang sudah diduganya, semua orang langsung menyoraki mereka. Apalagi setelah Sadam menyadari kehadiran Windy dan tanpa banyak bicara langsung mendudukkan diri di sampingnya. Sorakan itu terdengar semakin heboh.
"Dih, harus banget deket-deketan gitu?" komentar Nami yang duduk di sisi kanan Windy.
"Biasa, Nam. Namanya juga pasangan baru. Iri aja lo, jomblo ngenes." Sahut Ezra sambil mengambil posisi tak jauh dari Sadam dan teman-temannya yang lain.
"Eh, Nyet. Lo juga ngaca, dong?" sungut Nami tak terima sambil mendelik ke arah Ezra yang hanya balas cekikikan.
Nami dan Ezra sebelumnya memang sudah saling mengenal karena berada di kelompok yang sama saat KKN semester lalu. Tidak heran jika sekarang mereka terlihat akrab.
"Lagi anget-angetnya, tuh. Mana bisa jauh-jauhan." Ujar Rama yang sedang mengatur laptop dan proyektor di ujung ruangan.
Serta komentar-komentar lainnya yang membuat Windy rasanya ingin menghilang saja. Dia tidak begitu suka menjadi pusat perhatian dan selalu bingung jika sudah dihadapkan dengan peristiwa seperti ini.
Menanggapi kehebohan itu, Sadam hanya bisa menyengir geli, "Udah dong, guys. Iseng banget, sih." Lelaki itu menoleh sekilas pada Windy yang dari tadi hanya bisa menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Seakan-akan paham dengan ketidaknyamanan Windy, Sadam segera mengahilkan perhatian teman-temannya. "Jadi udah bisa dimulai nih, nobarnya?"
Mereka semua akhirnya kembali fokus ke depan ketika Rama membuka acara dengan kata sambutan. Singkat saja, lalu setelahnya lelaki itu langsung segera bersiap memutar film.
Bukannya semakin tenang, degup jantung Windy malah semakin terpompa ketika perhatian orang-orang kini sudah terpaku pada layar yang mulai menampilkan intro film. Orang-orang mungkin tidak begitu memperhatian, tapi Sadam yang duduk di sampingya sadar betul akan hal itu.
"Santai, Win. Nggak usah khawatir gitu." Sadam berusaha menenangkannya. "Draft yang kemarin sebelum lo revisi itu aja udah keren kok, gimana lagi yang sekarang? Apalagi muka gue yang cakep itu ntar terpampang nyata di sesi wawancara. Makin tambah keren nggak, sih?"
Windy mendengus dan tertawa geli. Awalnya Windy sudah akan terharu dan berterima kasih, tapi kalimat terakhir Sadam mengurungkan niatnya dan sekarang dia malah ingin menonjok lelaki itu. Setidaknya dengan gurauan Sadam kegugupannya jadi sedikit berkurang.
Film dimulai dari memperlihatkan kondisi eksisting Dusun Cemara yang padat penduduk dan bangunan. Anak-anak terlihat ingin bermain namun hanya memiliki sedikit tempat layak yang pada akhirnya membuat mereka lebih sering mendekam di dalam rumah. Para orang tua terutama ibu-ibu yang harus bekerja di rumah pun merasa resah melihat anak-anak mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain di dalam rumah dengan banyak keterbatasan.
Layar menampilkan diskusi antara anggota BEM, para dosen dan mahasiswa tingkat akhir Arsitektur yang melakukan pembahasan terkait isu tersebut. Dari diskusi awal, peninjauan lapangan, pengerjaan sketsa kasar, sampai akhirnya lahirlah konsep revitalisasi salah satu sudut gang buntu di Dusun Cemara menjadi ruang bermain anak-anak.
Lalu berganti pada hari-hari di mana kegiatan tersebut berjalan ketika para mahasiswa, dosen dan penduduk setempat mulai merealisasikan pembangunan ruang bermain. Potongan demi potongan kegiatan itu juga terkadang diselingi dengan wawancara-wawancara yang dilakukan Windy dan timnya dengan berbagai narasumber.
Di sela-sela film, Windy juga memasukkan footage yang cukup menghibur dengan tujuan agar film ini terkesan tidak begitu kaku. Taktiknya berhasil karena potongan-potongan video itu dapat mengundang tawa para penonton.
Dengan selesainya proses pembangunan, layar kini akhirnya menampilkan kondisi akhir sudut gang buntu di Dusun Cemara yang kini terlihat lebih hidup dan berwarna. Anak-anak bermain di sana, para orang tua mengawasi dari kejauhan. Semua orang terlihat sangat bahagia.
Film ini ditutup dengan sebuah kutipan dari ketua BEM Fakultas Teknik:
"Mimpi untuk mengubah dunia terasa begitu besar jika dilakukan sendiri. Tapi kita bisa memulainya dengan mengubah hal-hal kecil, oleh diri sendiri. Kalau semua orang berpikir seperti itu dan benar-benar menjalaninya, maka lihatlah hal baik apa yang akan terjadi pada dunia di masa depan nanti."
Ketika layar berubah menjadi hitam tanda bahwa film sudah selesai, semua orang yang ada di ruangan langsung berseru dan bertepuk tangan. Bahkan Nami dan beberapa panitia lainnya tampak begitu terharu hingga menitikkan air mata.
"Keren banget, woy!"
"Yaaah, kok cepat banget sih selesainya?"
"Baru kali ini gue nggak ngantuk nonton film dokumenter."
"Nangis banget gue pas ada bocah yang bilang dia iri sama anak-anak orang kaya yang punya taman bermain di deket rumahnya, nggak kayak dia sama temen-temennya di dusun."
"Nami centil banget sih, pake nge-wink manja ke arah kamera."
"Ngakak banget tadi pas si Ezra jatuh ke got!"
Dan berbagai komentar lain tak henti-hentinya dilontarkan para panitia. Bahkan setelah Rama menutup secara resmi acara nobar tersebut, orang-orang masih saja membahas isi film dan memuji Windy dan timnya yang sudah bersusah payah membuat film dokumenter ini dengan sukarela. Windy hanya bisa membalas pujian-pujian itu dengan bolak-balik berterima kasih dan mengatakan kepada mereka bahwa ini semua tidak akan berjalan dengan baik tanpa partisipasi dari seluruh orang yang terlibat.
Senyum mengembang di wajah Windy. Dia senang sekali, sejauh ini ternyata hasil kerja keras bersama timnya mendapat respon yang positif. Hatinya terasa penuh.
Setelah acara tersebut selesai, Windy dan Sadam pamit terlebih dahulu. Sebelum datang ke sini mereka memang sudah berjanji untuk duduk bersama jika acara sudah usai. Hal itu tentu saja langsung mengundang godaan dari teman-teman mereka, terutama Nami dan Ezra yang berasumsi Windy dan Sadam akan pergi nge-date.
Windy berusaha untuk tidak peduli dengan tuduhan itu. Mereka buru-buru pergi meninggalkan ruangan BEM sebelum orang-orang semakin semangat menggoda.
Ketika sudah sampai di parkiran sepeda motor tempat Sadam memarkirkan motornya, Sadam menyerahkan salah satu helm yang tergantung di sana untuk Windy.
"Gue udah memutuskan kalau mulai sekarang gue harus bawa dua helm. Sampe beli helm baru gue."
Windy menerima dan memakai helm itu. "Makasih, ya. Niat banget lo."
Mereka pun berjalan ke luar kawasan kampus. Ini adalah pertama kalinya Windy berada di boncengan Sadam. Sedikit asing bagi Windy karena baru kali ini dia berada di jarak yang sedekat ini dengan lelaki itu. Dari jarak ini Windy bisa memandang bahu Sadam yang lebar dan mengendus parfumnya yang berbau segar seperti aroma buah lemon. Dari kaca spion depan, Windy juga bisa melihat cahaya sore mulai menyinari sisi wajah Sadam.
Mereka bergerak menuju sebuah Warung Mie Aceh yang menurut Sadam sudah menjadi langganannya sejak menjadi mahasiswa baru. Ketika Sadam mengatakan bahwa dia akan mengajak Windy ke sini, Windy yang tidak begitu hobi mengeksplor makanan berkata jujur bahwa dia belum pernah mencicipi Mie Aceh. Di sepanjang jalan, Sadam begitu persuasif menjelaskan betapa nikmatnya makanan itu dan Windy harus segera mencobanya.
"Bener kan, apa kata gue?" ucap Sadam ketika mereka sudah duduk menunggu pesanan di dalam warung Mie Aceh. "Film dokumenternya dapet respon yang positif. Tapi emang keren banget, Win, gue aja sampe merinding."
"Thanks, Dam. Lega banget rasanya. Nggak sia-sia gue begadang hampir semingguan buat kelarin itu."
"Serius deh. Gue bangga banget sama lo."
"Jadi gimana cuplikan wawancara lo yang gue masukin? Oke, nggak?" tanya Windy selagi mengalihkan pembicaraan karena di sepanjang jalan tadi Sadam sudah bolak-balik memujinya dan dia terlalu salah tingkah sehingga tidak tahu lagi bagaimana harus merespon.
Sadam mengacungkan kedua jempolnya, "Oke banget, malah. Sesi wawancara gue diselipin di bagian yang tepat. Dan gue juga pastinya terlihat cakep di situ."
Windy memutar bola mata. Sadam kembali lagi dengan jiwa super percaya dirinya.
"Becanda, Win. Gue bisa secakep itu juga kan karena skill dan teknik editing lo kali."
Pesanan mereka pun datang tak lama kemudian: semangkuk Mie Aceh Kuah dan segelas Teh Tarik. Menurut Sadam kedua hal ini adalah perpaduan yang sempurna. Sadam bahkan memesan sepiring Martabak Telur Kuah Kari untuk mereka bagi berdua.
"Gimana?" tanya Sadam tak sabar ketika Windy sudah selesai mencicipi sesendok Mie Aceh.
Windy membelakkan matanya. "Hmm, kok enak?"
Sadam bertepuk tangan sambil tersenyum bangga, "Bener kan apa kata gue. Lo pasti bakal suka. Emang enak banget makanan satu ini."
Windy bisa dibilang susah menerima makanan dengan rasa baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Sejujurnya, di awal dia sedikit sangsi melihat semangkuk mie tebal dengan kuah merah kecoklatan kental yang dilengkapi berbagai macam toping sayuran dan daging ini. Tapi setelah mencoba sesuap, ternyata rasanya enak. Dan di suapan berikutnya Windy jadi ketagihan.
Sadam juga ikut menikmati hidangan tersebut. Dia makan dengan begitu lahap, persis seperti yang Windy lihat saat mereka makan berhadapan di aula Dusun Cemara. Saking semangatnya, lelaki itu sampai tersedak.
"Pelan-pelan makannya, Dam. Nggak bakal gue ambil kok makanan lo."
Sadam meringis. "Ya gimana dong? Enak banget. Guenya juga laper."
"Lo pernah denger soal mindful eating?"
Sadam menggeleng.
"Mindful eating tuh berarti kita makan tanpa melakukan hal lain. Kita cuma fokus menikmati makanan. Ngunyahnya juga harus pelan-pelan. Dengan begitu kita jadi lebih bisa menikmati makanan. Sistem pencernaan juga bakal jadi lebih baik."
Selama Windy menjelaskan, Sadam mendengarkannya dengan serius sampai dia harus berhenti menyendok makanannya. "Jadi selama ini lo selalu menerapkan itu, makanya lo makan lama?"
"Baru setahunan ini juga, sih. Itu pun kadang gue masih suka lalai. Apalagi kalo lagi deadline, gue suka makan buru-buru sambil nugas. Tapi ya gue coba pelan-pelan ubah habit buruk itu supaya asam lambung gue nggak sering naik."
Sadam mengangguk paham dan mulai menyendok makanannya lagi. Tapi kali ini dia melakukannya dengan lebih santai, tidak terburu-buru seperti sebelumnya. "Yaudah, gue mulai coba deh si mindful eating itu. Tapi kalo gue mulai bar-bar tolong ingetin lagi ya. Hehehe."
Sambil meikmati makan secara perlahan, mereka lanjut membahas tentang film dokumenter. Mulai dari Windy yang menjawab rasa penasaran Sadam mengenai proses editing, hingga respon yang didapati Windy ketika dia kembali mendatangi Dusun Cemara untuk mengambil beberapa footage pasca lokasi gang buntu direvitalisasi.
"Gue udah cerita sama Nami... soal kita." Ujar Windy ketika mereka sudah menghabiskan seluruh hidangan.
"Oh, ya? Gimana reaksinya?"
"Ya gitu, deh. Heboh sendiri dia. Tapi untungnya nggak curiga, sih. Dia juga merasa aneh dengan ketiba-tibaan ini, tapi di sisi lain maklum juga kenapa gue sempat nyembunyiin. Katanya, mungkin karena ini baru pertama kalinya gue pacaran."
Sadam menaikkan alisnya, "Jadi... gue cowok pertama lo?"
Cowok pertama gue, ulang Windy dalam hati. Walaupun Windy tahu pasti kalau Sadam bukan cowok pertama sungguhannya, tapi entah kenapa hatinya tergelitik sendiri ketika menyadari itu.
Windy menaikkan bahunya, "Ya gitu, deh."
"Gue juga udah cerita ke Ezra. Kemarin begitu gue nyampe kosan dia langsung masuk ke kamar gue—kita satu kosan, btw, kamar gue dan kamar dia sebelahan. Bacot bener dia. Nanya-nanya mulu."
Windy memicingkan mata curiga, "Nanya apaan dia?"
"Nggak nanya yang aneh-aneh. Dia cuma bingung aja karena seperti yang udah lo duga, kita nggak pernah terlihat dekat sebelumnya. Dia jadi banyak nanya-nanya soal lo, kayak lo tuh orangnya gimana? Dan jujur ya, gue agak kelimpungan jawabnya. Gara-gara itu gue juga sadar..." Sadam menatap Windy ragu, "kalau sebenenrya gue belum benar-benar mengenal lo."
Apa yang dikatakan Sadam memang benar. Walaupun akhir-akhir ini mereka sudah cukup sering mengobrol dan bersinggungan, Windy sendiri juga merasa belum begitu jauh mengenal Sadam.
"Jadi gue rasa ada baiknya kita perlu sedikit saling mengenal kalo lagi duduk bareng gini supaya kita jadi nggak buta-buta banget soal satu sama lain. Gimana menurut lo?"
Windy berpikir sejenak. Dia bukanlah orang yang cukup mudah terbuka dengan orang lain, apalagi terkait hal pribadi. Tapi jika diingat-ingatnya kembali, dia sudah cukup sering berbicara dengan Sadam dalam kurun waktu belakangan ini. Sadam juga tipe orang yang dapat membuat orang lain mudah nyaman saat berbicara dengannya. Sadam adalah pendengar yang baik dan dia pandai dalam merespons. Sepertinya akan lebih mudah bagi Windy untuk bercerita jika itu dengan Sadam. Tapi tetap saja ada satu hal yang diragukannya.
"Mungkin gue bisa berbagi soal diri gue. Tapi... apa bisa gue percaya sama lo?"
Sadam terdiam cukup lama sebelum berujar, "Gue tau nggak sepantasnya kita gampang percaya sama orang lain, bahkan orang terdekat sendiri. Gue juga nggak bakal maksa lo buat percaya sepenuhnya sama gue. Ya... terserah lo juga, sih. Kalau ada beberapa hal yang nggak bisa lo bagi ke sembarang orang, gue hargai itu. Tapi at least lo nggak keberatan kan untuk nyeritain hal-hal basic tentang diri lo yang sekiranya nggak mengganggu kalo lo bagi ke temen lo sendiri?"
Windy mengangguk, "Oke. Gue juga bukannya mau sok misterius, Dam. Untuk hal-hal basic gue masih oke. Tapi kalau yang lebih dalam dari itu... kayaknya perlu waktu nggak, sih?"
"Sure. Gapapa kok. Pelan-pelan aja. Jadi kita mulai dari... orang terdekat. Gimana kalau kita cerita soal orang terdekat masing-masing? Kayak keluarga atau teman?"
Sadam lah yang pada akhirnya bercerita terlebih dahulu, mengenai keluarganya.
Sadam berasal dari Bandung dan keluarganya terdiri dari dirinya, ibunya dan kakak laki-lakinya. Ayah sadam adalah seorang dokter spesialis jantung yang sudah meninggal dunia sejak Sadam masih duduk di bangku kelas 5 SD karena kecelakaan lalu lintas. Sementara ibunya adalah seorang dosen dan peneliti di salah satu universitas swasta di Bandung. Windy jadi ingat foto keluarga yang ada di feed Instagram Sadam dan dia baru sadar kalau foto itu memang sudah sangat lama, karena Sadam masih terlihat sangat kecil dan masih ada almarhum ayahnya di sana.
Semenjak ayahnya meninggal, ibunya yang single parent memang jadi lebih sibuk dari sebelumnya. Untuk itu sejak kecil Sadam lebih sering menghabiskan waktu dengan kakak laki-lakinya yang biasa dipanggil Aa Khalil. Khalil berusia tujuh tahun di atas Sadam dan dia adalah seorang dokter yang saat ini sedang melanjutkan kuliah spesialis di Bandung, mengikuti jejak ayahnya.
Selain itu di rumahnya juga ada Bi Ratih, seorang ART yang sudah telaten merawat Sadam dan kakaknya sejak kecil. Karena sudah mengenalnya cukup lama, Bi Ratih sudah dianggap seperti keluarga sendiri bagi Sadam dan keluarganya.
Keluarga besar Sadam sendiri semuanya masih tinggal di kota Bandung dan sekitaran Jawa Barat. Itu yang membuat Sadam sejak kecil jarang sekali bepergian ke luar kota. Maka merantau untuk berkuliah seperti yang dilakukannya sekarang ini adalah pengalaman pertamanya menetap cukup lama di luar kota. Dan dia sangat senang bisa menjalani masa ini.
Usai menceritakan secara singkat mengenai keluarganya, Sadam mempersilahkan Windy untuk memulai gilirannya.
Windy pun mulai berbagi cerita tentang keluarganya.
Windy lahir dari keluarga bersuku Jawa yang sudah lama menetap di Bekasi. Ayah dan ibunya adalah sepasang pengusaha yang saat ini sedang menjalani bisnis makanan olahan rumahan.
Menurut Windy, ayahnya adalah makhluk tersabar yang pernah dia temui. Ayahnya juga cukup pendiam. Namun kalau sudah marah, ayahnya bisa jadi cukup menyeramkan. Sementara ibunya adalah kebalikan dari ayah: sangat cerewet. Tapi ibu sangat telaten dalam mengurus keluarga dan membantu bisnis ayah.
Windy merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Dia punya adik laki-laki bernama Galih yang berumur satu tahun lebih muda darinya. Sekarang Galih sedang mendalami ilmu bisnis manajemen di universitas swasta yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah mereka.
Windy dan Galih seperti kakak adik pada umumnya yang jarak umurnya tidak begitu jauh. Mereka sering bertengkar, apalagi saat masih kecil. Tapi mereka juga dengan mudahnya berbaikan dengan sendirinya. Semenjak dewasa mereka juga jadi semakin akur dan kompak. Dia cukup dekat dengan adiknya karena mereka cukup sering bercerita soal apa pun. Walaupun adiknya rada tengil dan manja, tapi Windy mengakui di saat-saat genting Galih cukup bisa diandalkan di keluarga mereka.
Keluarga besar Windy sendiri sebenarnya banyak yang menetap di Bekasi. Namun sebagian dari keluarga ayah dan ibunya masih ada yang tinggal di sekitaran Jawa Tengah. Untuk itu setiap setahun sekali keluarga Windy selalu mudik lebaran secara bergantian ke kedua tempat tersebut.
"Udah. Itu aja cerita gue."
Dalam hati Windy merasa bersalah karena sebenarnya dia masih menceritakan soal keluarganya dari permukaan saja. Sadam juga sepertinya menyadari kalau Windy masih menahan diri untuk bercerita lebih banyak.
"Gapapa, Win. Kayak yang gue bilang tadi. Pelan-pelan aja."
Windy menghela napas panjang. Benar kata Sadam. Mungkin seiring berjalannya waktu baik Windy maupun Sadam bisa lebih terbuka lagi satu sama lain.
"Oh, iya. Ini gue udah selesai bacanya." Windy mengeluarkan buku yang dipinjamkan Sadam padanya minggu lalu dan menyerahkannya pada lelaki itu.
"Wah, udah selesai. Kayaknya reading slump lo udah beneran hilang?"
Windy menaikkan bahunya, "Thanks. Gara-gara lo gue udah mulai sering baca lagi. Gue sampe nggak pernah lagi main game di handphone."
Sadam mendengus geli, "Game Sudoku yang lo mainin pas di ruang BEM waktu itu maksudnya?"
Windy sedikit tertegun. Ternyata Sadam memperhatikan.
Setelah berbincang singkat mengenai isi buku tersebut, mereka pun memutuskan untuk pulang ketika hari sudah hampir gelap. Sadam mengantar Windy ke kos-kosannya.
"Makasih ya, Dam, traktirannya. Lo nggak perlu traktir gue padahal."
"Kan udah gue bilang traktirannya sebagai rasa terima kasih gue karena lo udah buat film dokumenter sekeren itu. Kalo waktu itu gue nggak ngide nyaranin buat film mungkin lo bisa kerja lebih santai di kepanitiaan kemarin. Nggak perlu begadang sampe seminggu."
"Oh, jadi ini semacam bayaran lembur gitu? Tau gitu tadi gue minta Marugame." Canda Windy.
"Yaudah, ntar pas awal bulan gue traktir di Marugame, deh."
Windy berdecak dan mengibaskan sebelah tangannya. "Yaelah. Becanda kali, Dam."
"Nggak, gue serius. Pokoknya awal bulan depan kita duduknya di Marugame ya. Gue yang nraktir lagi dan gue nggak nerima penolakan. Bye!"
Sadam pun pergi tanpa memberikan kesempatan Windy buat berbicara. Windy hanya bisa mendesah panjang dan menatap kepergian Sadam sebelum masuk ke dalam kamar kosnya. Besok-besok dia akan menemukan cara lain untuk menolak tawaran Sadam barusan. Bukannya bagaimana, dia hanya tidak enak hati saja.
*
Malamnya ketika sedang menyicil tugas, Windy mendapati satu notifikasi Instagram dari Sadam. Lelaki itu baru saja mengunggah sebuah foto di story dan menandai akun Windy di sana. Penasaran, Windy langsung membuka postingan tersebut.
Foto candid Windy dan Sadam saat kegiatan di Dusun Cemara. Entah siapa yang memotret, Windy tidak yakin. Yang jelas bukan dirinya karena Windy sendiri ada di sana. Di foto itu Windy tampak sedang merekam suatu momen penting di kameranya. Windy masih ingat saat itu cuaca sedang terik-teriknya. Bahkan beberapa partisipan mulai menyerah dan menepi di pinggir rumah warga, menunggu hingga matahari tidak seterik itu lagi. Sebenarnya Windy juga merasa sedikit terganggu akibat cahaya matahari yang menyengat, maka dia pun mengangkat sebelah tangan untuk menutupi sebagian kepalanya, yang mana hal itu sama sekali tidak membantu dalam meredakan panas. Bisa saja Windy menyerah dan menyerahkan tugas itu dengan timnya yang lain, tapi dia tetap memilih untuk melakukannya sendiri.
Sampai tahu-tahu saja Sadam muncul dari arah belakang. Sadam yang sangat tinggi itu berdiri persis di belakang tubuh Windy yang jauh lebih pendek. Seperti paham akan kondisi Windy, lelaki itu sudah siap sedia memegang selembar kertas kardus besar dan langsung melindungi kepala Windy dari terik matahari dengan kardus tersebut. Windy berterima kasih padanya dan kembali fokus merekam.
"Panas banget gini masih juga ambis. Effort lo emang nggak main-main, Windy. Salut banget pasti anak-anak BEM sama lo."
Windy sadar saat Sadam mengatakan hal itu. Yang Windy tidak sadar adalah kalau ternyata Sadam memperhatikannya dari belakang sambil tersenyum bangga. Dan itu terabadikan jelas pada foto yang diunggahnya barusan dengan keterangan:
Support each other, shall we?
Postingan Sadam manis sekali. Windy tak kuasa menahan senyumnya.
Tapi Windy yakin Sadam pasti sedang mendalami peran palsunya agar orang-orang semakin percaya akan hubungan mereka. Windy pun buru-buru menyadarkan diri dan segera me-repost unggahan tersebut di story miliknya sendiri.
Beberapa menit berlalu. Kemudian muncul sebuah notifikasi DM Instagram yang membuat Windy kaget. Dia sampai mengubah posisi jadi berdiri saking kagetnya.
galihyanuar:
Woy, Mbak Indy! Lo punya pacar?
Kenapa nggak pernah cerita sama gue???
Lo udah nggak nganggep gue sebagai adek lagi ya?
Hiks, jahat! Gue aduin ke Ibu, ya!
Windy menepuk dahinya sambil merutuki dirinya sendiri. Windy lupa kalau setelah Nami dia masih harus menghadapi Galih, adik satu-satunya.
*
"Gue nggak terima basa-basinya ya, Mbak. Cepat lo ngaku!"
Windy langsung menjauhkan telinganya dari ponsel ketika mendengar teriakan Galih di ujung sana. Setelah membaca DM dari Galih beberapa menit lalu yang membalas postingan fotonya dengan Sadam, Windy segera menelepon adiknya itu. Windy tahu Galih pasti tidak sabar menunggu penjelasannya, buktinya Galih langsung mengangkat telepon Windy di dering pertama.
"Sejak kapan gue jago basa-basi?"
"Cepetan, Mbak Indy!"
"Nggak sabaran banget sih, bocah? Seenggaknya biarain gue tarik napas dulu!"
"Nggak mau tau. Gue hitung sampe lima, kalo nggak ngaku juga gue aduin ke Ibu sama Ayah. Satu, dua, tiga—"
"Iya, iya! Itu cowok gue."
Galih terkesiap. Windy bisa membayangkan adiknya di seberang sana sedang membelakkan mata dan menutup mulutnya secara dramatis—khas Galih yang terlewat ekspresif.
"Gimana bisa—dia siapa—kapan mulainya—"
"Heh, nanyanya satu-satu, dong?"
Windy pun mulai menjelaskan semuanya pada Galih, persis seperti apa yang dijelaskannya pada Nami beberapa waktu lalu. Di seberang sana adiknya mendengarkan, sesekali terkesiap, dan dia juga melontarkan puluhan pertanyaan. Bahkan tingkat penasaran Galih jauh di atas Nami karena ada banyak sekali hal yang ingin diketahuinya, terutama mengenai kepribadian Sadam dan asal usulnya. Untung saja Windy sudah tahu lebih banyak soal Sadam melalui pembicaraan tadi sore. Jadi dia tidak perlu kebingungan menjawab pertanyaan adiknya.
"Bentar, siapa nama cowok lo tadi?" tanya Sadam setelah Windy selesai menjelaskan apapun yang bisa dijelaskannya.
"Sadam."
"Trus lo Sherina-nya gitu? Nyanyi musikal nggak tuh kalian? Dia pikir, dia yang paling hebat~"
Windy berdecak malas, sementara Galih terkikik geli di seberang sana. Ada saja memang cara adiknya itu untuk menggodanya.
"Berarti si Sadam-Sadam itu tipikal cowok famous idola kaum hawa di kampus?" tanya Galih setelah puas terbahak.
"Bahasa lo tuh, kayak kebanyakan nonton FTV. Tapi ya kurang lebih gitu, deh."
"Wah, keren banget mbak gue bisa macarin laki model kayak begitu."
"Heh? Mbak lo ini nggak kalah keren juga, lho?"
"Iya, deh. Lo juga keren. Si mahasiswi paling berprestasi sejurusan, kan?"
Lagi-lagi Windy hanya bisa berdecak ketika Galih kembali menggoda dan menertawainya.
"Tapi gue sebagai adek lo turut bahagia juga, deh. Akhirnya status jomblo seumur hidup mbak gue lepas juga."
"Lo ngomong gitu kayak pernah pacaran aja?"
"Pernah, dong... hampir tapi."
"Sama aja belum. Nggak usah bacot, bocah."
Galih menyengir tanpa rasa bersalah, "Btw, Mbak, bulan depan band gue bakal manggung di kampus lo, di acaranya anak hukum. Main guest-nya Hindia, trus band gue juga diundang buat ngisi acaranya."
Windy terkesiap, "Serius?! Makin oke aja nih lo sama temen-temen band SMA lo."
"Iyeee. Galih, gitu. Cowok terkeren se-Bekasi. Lo kudu nonton ya, pokoknya."
Windy memutar bola matanya, "Yaudah, ntar gue nonton. Lagian anak hukum acaranya selalu keren-keren, sih."
"Ntar sekalian ajak cowok lo juga. Kenalin gue sama dia."
"Ngapain pake kenalan segala?"
"Ya supaya gue bisa menilai itu cowok, lah? Gini-gini insting gue lumayan tajam juga. Mau gimanapun kan lo mbak gue. Pastinya gue mau yang terbaik buat lo. Walaupun dari cerita lo dia terdengar seperti cowok baik-baik, tapi gue tetap mau melihat dan men-judge secara langsung."
"Dih, posesif amat?"
"Nggak juga. Ntar kalo lo galau dan kenapa-kenapa siapa lagi dong yang bakal sering beliin gue jajan?"
Windy menghela napas kasar. Galih tetaplah Galih, adiknya yang perhatian dengannya tapi di sisi lain juga super menyebalkan. "Dasar bocah nggak jelas. Oh, iya, lo jangan cerita-cerita ke Ayah sama Ibu dulu ya."
"Dih, kenapa gitu? Takut diomelin, ya, karena pacar-pacaran?"
Sebenarnya orang tua Windy tidak se-strict itu. Dia cuma merasa jika tidak dalam keadaan kepepet, jangan sampai orang tuanya tahu soal hubungannya dengan Sadam. Apalagi mengingat hubungan ini tidak sungguhan.
"Gue sama dia masih baru baget, Galih. Ntar aja kalo timing-nya pas." Ucap Windy akhirnya setelah berpikir sesaat.
"Huuu. Nggak asyik."
"Bodo amat. Yaudah, ya. Gue mau lanjut nugas lagi, nih."
*
Sesuai janjinya, seminggu kemudian—tepatnya di awal bulan—Sadam menghampiri Windy di gedung Arsitektur untuk mentraktirnya Udon di Marugame. Sebenarnya Sadam lebih pantas disebut memaksa karena Windy sudah bolak-balik mengatakan kalau Sadam tidak perlu mentraktirnya lagi. Traktiran di dua minggu lalu itu saja sudah cukup. Tapi Sadam tetap bersikukuh kalau Windy pantas mendapatkan lebih dari semangkuk Mie Aceh dan Martabak Telur Kuah Kari serta segelas Teh Tarik. Bahkan Sadam rela menemani dan menunggu Windy menyelesaikan tugasnya di studio dari siang hari hingga matahari terbenam agar Windy tidak kabur. Jadi mau tidak mau Windy membiarkan lelaki itu duduk di sampingnya di sepanjang waktu itu. Sambil menemani Windy yang sibuk dengan berlembar-lembar kertas dan aplikasi desain bangunan di laptop, Sadam juga ikut membuka laptopnya dan mengerjakan tugasnya sendiri.
Setelah selesai waktu maghrib, Sadam dan Windy pun langsung bergerak menuju outlet Marugame Udon yang terletak di Mall yang tidak begitu jauh dari kampus. Windy memesan menu favoritnya, semangkuk Chicken Katsu Curry Udon dan segelas Ocha dingin, sementara Sadam dengan menu favoritnya sendiri yaitu semangkuk Niku Udon dengan Topping Daging dan segelas Lemon Tea dingin.
Sambil menikmati pesanan, mereka pun berbincang.
"Jadi adek lo udah tau soal gue?"
Windy mengangguk. Dia baru saja menceritakan mengenai pembicaraannya dengan Galih beberapa waktu lalu. Semuanya tanpa terkecuali.
"Gue nggak masalah, sih, ketemuan sama adek lo. Dari cerita lo, kayaknya seru tuh anaknya." Sadam menggeleng sambil terkekeh geli, "Bisa-bisanya dia nyebut lo Sherina-nya gue."
Windy merinding sendiri mendegar sebutan itu keluar dari mulut Sadam. "Bukan seru, tapi bacot."
"Justru orang-orang kayak Galih ini asyik, tau. Gue mau, kok, kenalan sama dia. Ntar kita samperin aja kalo dia udah selesai nampil."
"Lo fix banget dateng ke acara anak hukum emangnya?"
"Ya iya, dong. Lagian gue sama Ezra ada kerjaan juga di sana. Bentar aja, sih."
"Oh, ya? Kerja apa tuh?"
"Jaga stand photobooth punya kakaknya si Hanif, anak Hukum, temen kelompok KKN gue semester lalu. Ezra kebagian shift siang, kalo gue sore sampe sebelum maghrib. Paling dua jam gitu lah per-shift."
"Hmm. Si Galih nampilnya setelah maghrib, sih. Mungkin sempat ketemu. Tapi kalau nggak sempat juga gapapa. Gapapa banget malah."
Sadam tertawa, "Lo santai aja kali, Win."
Windy sendiri juga heran. Harusnya dia tidak perlu meragukan kemampuan bersosialisasi Sadam dalam menghadapi makhkuk banyak tingkah seperti adiknya. Dan kalau saja adiknya berbuat sesuatu yang memalukan, Windy bisa langsung menendang bokongnya supaya dia jera. Benar kata Sadam, harusnya dia bisa lebih santai. Lagi pula mereka hanya mengaku berpacaran, bukan yang lebih serius dari itu. Jadi, jika dalam waktu beberapa bulan ke depan Windy mengatakan kalau dia sudah tidak bersama Sadam lagi, paling-paling Galih hanya akan mengecap Sadam sebagai 'mantan pacar Mbak Indy yang dia sudah pernah temui'. Dan sebutan itu tidak akan menyimpan beban yang berarti bagi Windy maupun Sadam karena hubungan mereka juga tidak sungguhan.
Tiba-tiba layar ponsel Windy berkedip, tanda ada pesan WhatsApp masuk. Ternyata isi pesan itu dari Nami.
"Apaan deh si Nami?" gumam Windy dengan suara pelan setelah melihat isi pesannya.
Tapi ternyata Sadam mendengarnya karena selanjutnya lelaki itu bertanya, "Kenapa dia?"
"Oh, bukan apa-apa, sih. Tadi pas gue ajak temen-temen gue di Arsi buat dateng ke festival anak hukum, si Nami langsung heboh nyuruh kita dandan sesuai tema festivalnya. Kan acaranya ada nyaranin pake dress code tuh. Gue sih ogah ya. Tapi ini anak malah kekeuh. Sekarang dia udah ngirim foto-foto referensi outfit sama make up."
"Boleh liat, nggak?"
Windy menunjukkan layar ponselnya pada Sadam, mesikpun dia tidak mengerti kenapa Sadam malah jadi penasaran. Foto-foto yang dikirim Nami adalah contoh pakaian dan riasan wajah bernuansa modern-tradisional Indonesia yang didapatinya dari internet, sesuai dengan tema dress code festival musik Fakultas Hukum.
Setelahnya lelaki itu langsung berseru takjub. "Wah, keren nih." Sadam menerawang sebentar, "Gue jadi kepikiran mau pake dresscode juga."
"Serius?"
Sadam mengangguk mantap."Lo nggak mau coba apa?"
"Buat apa?" tanya Windy heran. Tidak seperti Nami yang centil dan fashionable, Windy sendiri tidak begitu tertarik dengan hal seperti itu. Apalagi dia belum pernah mencoba model pakaian dan riasan seperti yang ada di foto-foto yang dikirim Nami.
"Ya... buat seru-seruan?"
Windy mengernyitkan alisnya, tidak mengerti.
"Seru nggak sih kalo kita bisa lebih mengekspresikan diri kita? Apalagi di momen festival kayak gitu, di mana musisi atau seniman berkumpul untuk nampilin karyanya? Kita sebagai penonton juga bisa nggak kalah kreatif. Salah satunya ya dengan menuangkan kreatifitas kita dalam fashion."
Windy mengangguk. Dia setuju dengan gagasan Sadam barusan. Tapi..., "Masalahnya gue nggak cukup percaya diri untuk berekspresi kayak gitu."
Kebingungan tersirat di wajah Sadam, "Apa yang lo khawatirin sih, Win?"
"Orang-orang bisa aja nggak sih nganggep gue aneh? Apalagi... gue nggak pernah nyoba dandan nyentrik kayak gitu."
"Win, lo tuh... kreatif. Tapi lo suka kurang pede kalo mau ngelakuin hal baru kayak gini. Bener, kan? Kalau gue nggak salah tebak."
Windy terdiam. Sadam memang benar. Dia terlalu mudah takut mencoba hal baru.
"Ini bukan tentang penilaian orang lain, Win. Ini tentang diri lo dan cara lo mengekspresikan diri lewat make up dan fashion. Anggap aja diri lo itu kertas yang mau lo coret dengan gambar sketsa, apapun yang lo tuangkan di situ—mau orang lain suka atau nggak—asal nggak merugikan, ya lo harus tetap menghargai karya lo dengan tetap pede nampilinnya. Itu kan buah hasil kreatifitas lo yang udah lo pikirin capek-capek." Sadam mengangkat bahunya, "Gue cuma ngasih sudut pandang lain aja. Dan gue nggak maksa juga. Ujung-ujungnya ya senyamannya lo aja."
Windy menatap Sadam dengan penuh pertimbangan. Entah kenapa dia jadi merasa tertantang setelah mendengar gagasan Sadam.
*
Ketika sudah sampai di kos-kosan dan membersihkan badan, seharusnya Windy melanjutkan tugas esainya dan beristirahat. Tapi dia malah menunda kedua hal itu dan membuka laptop untuk menjelajah Pinterest, mencari referensi outfit dan make up yang sesuai dengan tema acara Festival Musik Fakultas Hukum. Referensi yang dikirim Nami tidak begitu banyak, jadi dia merasa perlu megeksplor lebih banyak ide lagi.
Windy terus menjelajah hingga tidak terasa satu jam berlalu ketika akhirnya dia menemukan referensi yang paling menarik baginya.
Sembari mengingat kembali ucapan Sadam beberapa jam yang lalu, Windy akhirnya memantapkan diri untuk menjadi berani. Sadam benar, ini soal Windy dan caranya mengekspresikan diri. Yang penting Windy puas dengan konsep yang sudah dipikirkannya. Dan penilaian orang lain adalah urusan belakangan.
Sebelum menutup tab Pinterest-nya, Windy mengambil ponsel dan mengetikkan sebuah pesan WhatsApp untuk Sadam.
Windy Andriana Putri:
Gue berubah pikiran. Gue udah nyari referensi kostum dan make up yang mau gue pake ntar di acara festival anak hukum.
Balasan dari Sadam diterima Windy lima menit kemudian.
Sadam Pradipta H.:
Nah, gitu dong. Glad to know that, Windy.
That's my girl!
Windy Andriana Putri:
???
I'm not your girl?
I'm the one who owe myself, Sadam.
Sadam Pradipta H.
Hahaha. Kan biar kayak pacar beneran gitu lho, ceritanya.
Iya, deh. Siapa banget gue main nge-claim lo tiba-tiba.
Windy Andriana Putri:
Hadeh.
Btw, nggak bakal kepikiran kayak gini tanpa saran lo. Thanks ya, Dam!
Sadam Pradipta H.
Anytime!
Berguna juga bacotan gue ya. Wkwkwk.
Introducing
Galih Yanuar Putra
Author's Note:
Peran Galih menurutku emang paling cocok divisualisasikan sama Gaon, anak band tengil tapi jenius kesayangan kita semua. Bagi yang belum kenal sama Gaon, beliau ini gitarisnya salah satu idol band JYP Ent., Xdinary Heroes. Mereka keren juga, nggak kalah keren dari abang-abangnya, Day6. Hehehe.