"Hatiku dulu serupa musim dingin abadi-beku, sunyi, dan tak tersentuh. Tapi gadis itu datang seperti matahari pertama setelah ribuan tahun salju."
"Akasha Harrington."
---
Inggris,Asfhord Kent 2006
- Musuh Dalam Bayangan
Pagi di mansion Harrington terasa lebih senyap dari biasanya. Kabut tipis masih menyelimuti halaman luas, dan embun menggantung malas di jendela-jendela kaca yang menghadap ke taman belakang. Langit kelabu, seolah menahan napas menjelang sesuatu yang lebih besar.
Di dalam ruang kerja yang megah dan sunyi, Akasha duduk sendirian. Udara dipenuhi aroma kayu tua dan kopi pahit yang sudah mulai dingin di cangkir porselen putih di tangannya. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja marmer panjang, tercampur dengan berkas investigasi yang baru dikirimkan oleh Albert pagi itu.
Ia membaca satu per satu laporan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi matanya-tajam, dalam, dan tenang seperti laut di tengah badai-mengisyaratkan lebih dari sekadar kemarahan. Itu adalah ketegasan seorang pria yang bersiap menyalakan perang.
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu.
"Masuk," ucapnya datar, tanpa mengalihkan pandangan dari laporan.
Pintu terbuka perlahan. Albert masuk membawa map hitam tebal. Ia berjalan hati-hati, seakan enggan mengganggu ketenangan yang bisa berubah menjadi ledakan sewaktu-waktu.
"Semua dokumen tentang Cinza-rekam jejak, transaksi dengan mafia Timur, dan rekayasa digital video skandal yang tersebar-semuanya ada di sini," lapornya sambil meletakkan map di meja. "Kami juga berhasil menelusuri sumber awal berita palsu itu. Ada nama yang familiar."
Akasha menutup map dengan satu gerakan halus. "Kita mulai dari pendekatan hukum. Kirim gugatan pencemaran nama baik, dan ajukan permintaan audit keuangan pada yayasan tempat Cinza berafiliasi. Gunakan pengacara dari Zurich, bukan dari Inggris. Dia takkan menduga kita menyerang dari luar."
Albert mengangguk cepat. "Dan soal media?"
"Biar publik bermain dengan ketidaktahuan mereka. Semakin banyak dia bicara, semakin dalam lubang yang ia gali sendiri."
______
Sementara itu, di lantai atas, Hema duduk di tepi ranjang besar dengan ponsel di tangan. Layarnya menyala penuh notifikasi-puluhan pesan dari nomor tak dikenal, beberapa berisi hinaan, lainnya mulai berubah menjadi ancaman yang terselip dalam kata-kata manis.
Di ambang pintu, suara lembut namun penuh kekhawatiran terdengar.
"Apa kau benar-benar yakin dengan ini?"
Hema menoleh. Ibunda Akasha, wanita dengan sorot mata tajam yang biasanya tak menunjukkan banyak emosi, berdiri di sana dengan ekspresi ragu.
Hema meletakkan ponselnya, bangkit, dan menghadap sang mertua.
"Yakin dengan apa, Ibu?"
Wanita itu melangkah masuk pelan. "Dengan tinggal di sini. Dengan berdiri di samping Akasha. Dunia ini... bukan seperti yang kau kenal, Hema."
Hema menatapnya. Senyumnya muncul perlahan-lembut, tapi mengandung kekuatan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya.
"Justru karena itu aku harus ada di sini. Anak Ibu sudah terlalu lama memikul semuanya sendiri. Tapi sekarang..."
Ia menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap sang mertua.
"Sekarang dia tidak sendiri."
----
Di bawah, Akasha menutup semua berkas, lalu berdiri menghadap jendela. Langit mendung di luar memantulkan bayangannya di kaca.
"Permainan ini sudah berlangsung cukup lama," gumamnya pelan. "Sekarang giliran kita mengatur papan."
Ia meraih ponselnya dan menekan salah satu kontak yang sudah lama tak tersentuh.
"Hubungkan aku dengan Viktor Morozov," katanya dengan nada rendah dan mengancam. "Katakan padanya... aku siap membuka kembali kasus Moskwa tahun 2002-jika dia mau bicara soal Cinza."
Jauh dari mansion Harrington, di sebuah apartemen hotel mewah di tengah kota, Cinza duduk di depan meja rias. Ia tengah mengoleskan lipstik merah darah ketika siaran berita menyela program pagi.
"Gugatan hukum telah diajukan terhadap Yayasan Artemis oleh pihak Akasha Harrington terkait skandal video dan penyebaran berita palsu..."
Tangannya membeku di tengah gerakan. Senyum manis di wajahnya perlahan memudar, digantikan kerutan samar di keningnya.
Ia menatap bayangannya di cermin. Senyumnya kembali, kali ini lebih dingin. Lebih berbahaya.
"Jadi kau memilih jalan perang, Akasha..." bisiknya pelan, jemarinya menyentuh permukaan kaca seolah menyapa musuh tak terlihat.
"Baiklah. Maka kita lihat... siapa yang akan jatuh lebih dulu."
---
Musuh dalam bayangan
Sudah tiga kali hari ini.
Ponsel Hema kembali bergetar di atas meja rias, bergetar seperti detak jantung yang tak sabar. Layar menyala-nomor tak dikenal. Lagi. Tidak ada nama. Tidak ada suara saat diangkat-hanya desahan halus, menyerupai napas seseorang yang terlalu dekat, lalu...
Klik.
Terputus.
Hema menatap layar itu dengan rahang mengeras. Ia berusaha tenang, menarik napas perlahan. Tapi matanya... tak bisa berbohong. Ada ketegangan yang menggantung, tak terlihat namun terasa seperti tali halus di leher-mengancam, menarik, dan perlahan mencekik. Ini bukan gangguan acak. Bukan hanya ulah penggemar yang kelewat batas.
Ini... dikendalikan. Terencana. Personal.
Tiba-tiba, ketukan terdengar dari pintu kamar. Cepat. Tegas. Suara menyusul dari balik kayu.
"Hema. Ini aku."
Nada suara itu dalam dan tenang, namun menyimpan sesuatu yang nyaris membeku di udara-sebuah kekuatan yang sudah terbiasa menghadapi bahaya.
Hema segera bangkit dan membuka pintu. Akasha berdiri di sana, siluetnya kontras di lorong remang. Ia mengenakan jas hitam dengan dasi tergantung longgar, dan matanya yang kelam langsung membaca kecemasan di wajah Hema seperti halaman terbuka.
"Nomor tak dikenal lagi?" tanyanya singkat. Nada suaranya datar-tapi tajam, seperti pisau yang baru diasah.
Hema mengangguk, perlahan menyerahkan ponselnya tanpa sepatah kata.
Akasha menerimanya dan melangkah masuk ke kamar. Langkah-langkahnya berat namun terkendali, seperti seseorang yang menahan amarah agar tidak tumpah di tempat yang salah.
Ia menatap layar ponsel sebentar, lalu menekan tombol panggilan ulang.
Nada sambung.
Satu... dua... tiga...
Terhubung.
Tapi tak ada suara. Hanya keheningan yang dingin di seberang. Seperti tatapan kosong dalam kegelapan.
Akasha mengangkat ponsel ke telinga. Suaranya pelan... namun membekukan.
"Bicara."
Hening.
"Atau aku akan melacakmu... dan mematahkan jemarimu satu per satu sebelum kau sempat menelepon lagi."
Klik.
Terputus.
Hema menatapnya, sedikit terkejut.
"Kau... kau menelepon balik?"
Akasha menoleh perlahan. Tatapannya datar, dingin, nyaris seperti batu. Ia meletakkan ponsel di atas meja.
"Aku sudah meminta Albert menghubungi bagian intel." Suaranya kini seperti perintah militer. Terukur dan tak terbantahkan.
"Mereka akan melacak lokasi panggilan. Mulai hari ini, kau tidak akan berada di mana pun tanpa pengawal. Bahkan di dalam rumah. Dan aku ingin kau tidur tetap berada di dekatku setiap malam... sampai aku bilang tidak lagi."
"Akasha..." Hema memanggilnya lirih, langkahnya mendekat pelan.
Akasha menunduk sedikit, menatap wajah istrinya-dan untuk sesaat, matanya tak lagi terlihat seperti lautan beku. Ada sesuatu yang rapuh di sana, kegelisahan yang tak pernah ia izinkan keluar, terkunci rapat selama bertahun-tahun. Jemarinya yang hangat menyentuh pipi Hema dengan hati-hati, seolah ia takut perempuan itu akan menghilang bila disentuh terlalu keras.
"Jika mereka berani menyentuhmu," bisiknya pelan, seperti janji yang dipahat di batu, "aku akan pastikan mereka dikubur hidup-hidup."
Hema hanya mengangguk. Tak berkata apa-apa. Tapi di sudut matanya, genangan air mulai terbentuk-bukan karena takut, tapi karena suara Akasha baru saja menyentuh bagian dalam dirinya yang selama ini mengering.
Suara perlindungan. Suara rumah.
Mereka berdiri dalam diam. Namun jemari Akasha tak kunjung pergi dari wajahnya-bertahan lebih lama dari yang diperlukan, seolah enggan melepas kenyataan bahwa Hema masih di sana, utuh.
"Kita akan melewati ini bersama," ucap Hema lembut.
Untuk pertama kalinya, Akasha tidak menjawab dengan kata.
Ia hanya memejamkan mata sesaat, lalu membisikkan sesuatu... pelan, nyaris seperti rahasia.
"Iya... bersamamu."
"Chapter 21,Done"
"Mentari di cakrawala,Hema Akasha"
By;utayysam.
Terimakasih sudah membaca🌷🌼