¶¶ÒõÉçÇø

To Be Normal

By scripolar

3.1K 253 72

Desika Anintyas nekat pergi ke kota besar hanya dengan berbekal enam puluh ribu di saku celana. Kerasnya hid... More

1) Desika Anintyas
2) Stenley Kong
3) Teman
5) Spesial
6) Mau ...
7) Ketemu
8) Jafran Ali
9) Jangan
10) Pelarian Desika
11) Dikuntit
12) Malam Itu
13) Cara Mengobati
14) Keterlibatan Daniel
15) Tidak Seburuk Dugaan
16) Sore Bersama Stenley
17) Tekad
18) Jongos
19) Kacau
20) Resmi
21) Selain Hitam
22) Bertemu Kebenaran
23) Surabaya, halo.

4) Tetangga

134 12 3
By scripolar

     Bagi sebagian wanita, mencari uang adalah cara paling mudah yang bisa dilakukan.

     Itu adalah kalimat Galuh yang kuprotes mati-matian hingga nyaris memukul mulutnya. Di kampung, para perempuan hanya akan berakhir menjaga asap dapur supaya tetap mengepul, nggak ada tempat lebih bagus dari pada itu. Kamu bisa bilang aku salah kalau hendak memasukkan warung klontong pasar adalah tempat yang lebih baik. Pada akhirnya, jika ingin memaksa "pekerja" dapat dengan mudah disandangkan di samping perempuan, pelayan suami adalah pekerjaan paling tinggi yang bisa didapat seorang perempuan.

     Tapi protesku kehilangan suara sehari setelah Galuh menggeretku menyusuri gang-gang kecil Surabaya, daerah kumuh yang ganjilnya berpenghuni wanita-wanita ayu nan gemulai berpenampilan mewah.

     "Mereka menguangkan harta demi kehidupan semacam ini," kata Galuh waktu itu. Aku baru sadar, para perempuan itu berpenampilan familiar dengan tampilan Galuh. "Nggak punya apapun selain uang."

     Aku mengernyit. "Cuma uang satu-satunya yang dibutuhin buat mendefinisikan seseorang punya segalanya."

     "Termasuk harga diri?"

     Anggukanku nyaris tergerak yakin, namun urung ketika mataku menangkap tubuh perempuan terselimut lengan pria bersetelan jas mahal keluar dari salah satu pintu rumah kumuh.

     Galuh menyadarkanku lewat realita gang tersebut kalau harta seorang wanita bisa menjadi bak dua sisi mata uang. Sejak hari itu, aku mengalami waktu-waktu tidak nyaman apabila harus bersinggungan dengan topik harta wanita.

     Jadi, ketika Galuh melemparkan ide gilanya soal apa yang harus dilakukan terkait kesembuhan Stenley, aku diam. Sebagai teman, aku merasa tidak punya hak untuk menasihati Galuh. Dia sudah lebih dari pantas untuk paham akan konsekuensi dari pilihan hidupnya.

     Demi memotong perbincangan yang terancam berlanjut, aku bangkit dari kasur lantai, berjalan keluar kamar dan membawa apa saja yang bisa kubuang untuk dilempar ke keranjang di depan pintu.

     "Serius, rumah ini lebih cocok disebut rumah kecoa daripada tempat tinggal manusia."

     Suara nyaring khas remaja laki-laki membuatku menoleh kiri, mendapati tiga-lima cowok berseragam awut-awutan berdiri di depan kamar losmen tepat di sebelah kamarku, mengamati pintu dengan tatap menghujat. Aku hendak menyahut lantaran tersinggung, tapi teringat kesan pertamaku yang serupa pada losmen ini, aku urung dan masuk kamar, menutup pintu keras-keras dan bisa kudengar umpatan terkejut dari bocah-bocah SMA di luar.

     Kataku saat tiba di sebelah Galuh, "Kamar sebelah ada yang nempatin."

     Galuh mengangguk sambil menggigiti kuku, meludah ke pojok sebelum menyahut, "Tadi ada gue pas mereka lihat-lihat kamar sama Bu Sun."

     "Masih bocah."

     "Gue nggak tahu apa lima-limanya mau desek-desekan sekamar, tapi ada satu yang ganteng. Gue harap, sih, bocah itu aja yang di mari, umpama empat lainnya cuma nemenin lihat-lihat."

     Cebikanku menguar, memukul pelipis Galuh yang mengambil alih tempat di atas kasur. "Bocah SMA mana punya duit."

     "Gue suka beramal, kali."

     Sialan cewek ini. Aku nggak akan meragukan jiwa liarnya.

®®®

     Aku sudah lama menanggalkan seragam sekolah, artinya nggak perlu bangun pagi-pagi lagi supaya lolos dari upacara penyambutan guru BK di depan gerbang sekolah. Tapi sekarang aku harus mengulangi rutinitas menyebalkan itu untuk bisa bertahan hidup. Pukul setengah tujuh, aku keluar kamar, sudah rapi seperti anak sekolah, minus seragam.

     Di depan kamar, satu orang lagi yang baru saja keluar dari kamarnya. Seorang bocah dengan kupluk jaket gelap terpasang menutupi nyaris setengah wajahnya. Kayaknya dia tetangga baruku.

     Saat pandangan kami saling menyiborok, aku sudah hendak melempar sapa, namun berakhir umpatan lirih lantaran si bocah laki-laki main pergi seenaknya. Kalau dia Stenley, aku nggak bakal senewen karena main ditinggal tanpa sapa, tapi anak itu kelihatan waras. Aku bahkan nggak mau menyetarakan dia dengan Stenley, Stenley jauh lebih baik dari bocah ingusan nggak tahu sopan-santun kayak dia.

     Hingga sampai rumah Stenley yang berjarak dua puluh menit dengan berjalan kaki, aku terus mengutuk bocah sialan yang sialnya adalah tetanggaku. Di rumah Stenley, suasana hatiku belum kunjung baik.

     "Pagi, Ibu," memaksa senyum kusapa Bu Joselin yang duduk di ruang tamu, sibuk dengan tas hitam yang biasa dibawanya bekerja.

     Karena nggak mendapati Stenley di sekitar, aku bertanya pada ibunya, "Koko Stenley di mana, Bu?"

     Semula, perempuan nyaris 40 tahun itu tidak meletakkan benar-benar atensinya pada kedatanganku, namun begitu tanyaku terlempar, ia memberi perhatian dengan baik. "Oh, aku lupa bilang, Wi masih diajak Daniel, katanya baru datang sore nanti."

     Jadi Stenley nggak ada di rumah? Terus ceritanya aku bakal jagain siapa? Dodo? Yang benar aja.

     "Kamu pulang saja," suruh Bu Joselin berdiri dari duduknya, menyodorkan ponsel padaku. "Nomormu. Nanti kutelpon kalau Wi sudah pulang."

     Aku gelagapan, bukan lantaran aku tipe-tipe manusia gagap teknologi dan harus dihadapkan dengan ponsel mahal Bu Joselin, ini lebih karena aku nggak memegang alat komunikasi apapun sejak di Surabaya. Tapi pada akhirnya, aku menyimpan sebuah nomor di ponsel tersebut.

     Pulang, tujuanku tidak lurus ke losmen. Aku menikung ke selatan, menyusuri jalanan yang panasnya bikin aku pengin gegas taubatan nashuha. Semakin jauh langkahku, makin meruncing tujuanku. Jalan-jalan lebar yang kulalui tadi makin menyempit, berbelok masuk ke sebuah gang kecil yang panjang nyaris dua kilometer. Sampai di sini, sebenarnya aku nggak yakin apakah tujuanku akan langsung terlaksana.

     Aku berhenti di depan pintu sebuah bangunan, tepat di bawah undakan pertama serambi. Seorang pria bertubuh tinggi kekar menghalangi jalan, jadi aku mundur.

     "Mau ngapain?"

     Garuk kepala, aku menjawab, "Nyari Galuh."

     Bapak berkumis tebal itu diam sebentar, lantas menjawab dengan nada yang lebih bersahabat, "Galuh masih nge-job, ada panggilan di luar. Lo mau nunggu di dalem?"

     Ah, sial.

     Menggeleng dan tersenyum kaku, aku menolak, "Nanti kalau Galuh datang, tolong bilangin segera kabarin Desika kalau ada telpon dari Stenley."

     "Duh, Mbak, gue udah kepala empat, nyaris ma-puluh, nggak bakal inget pesen lo. Kalo mau ketemu Galuh, tunggu aja di dalem."

     Sejenak aku diam, memandang bangunan di balik punggung bapak kumisan. Aku memang nggak sedang terburu-buru lantaran harus mengerjakan sesuatu di losmen, cuma, Galuh pernah bilang alasan dia nggak mengajakku tinggal bersama di tempatnya adalah karena kos-kosan dia merupakan kandang macan. Sudah tahu begitu, aku mana berani masuk. Gila saja, terlunta-lunta tanpa uang di kota gede begini bukan berarti aku sudah nggak sayang nyawa.

     Jadi sekali lagi aku menggeleng. "Nggak, deh, Pak."

     Si bapak merengut. "Jangan bapak, lah. Om aja, Om Brandon. Serius, itu nama gue, kalau lo nggak memeriksa KTP gue."

     Kayaknya si kumis ini adalah salah satu macan yang dimaksud Galuh.

     "Bilang aja dicari Desika, genting. Gitu, ya, Pak!" aku sengaja menekan, nggak mau lama-lama ngobrol sama orang macam gitu. Aku sudah nggak memedulikan bapak itu mau alasan kena demensia atau apa, yang jelas sesegera mungkin aku angkat kaki dari gang panjang itu sedetik usai bilang makasih.

     Di losmen, aku sudah berencana tidur santai, melakukan apapun yang menyenangkan untuk merayakan satu lagi waktu lengang dan menikmati gaji buta. Tapi tiba di depan pintu kamar, langkahku henti mendapati tetangga baruku sedang sibuk memasukkan kardus-kardus besar ke kamarnya. Semula aku nggak tergerak membantu mengingat sikap nggak sopannya, tapi melihat seorang bocah yang jauh lebih muda dariku kesusahan, dengusanku keluar seiring gerakanku yang membantu tanpa kata.

     Saat diberi tatap penuh kerut, aku hanya menggedikkan dagu, memberi bahasa tubuh tak kalah sengak. Namun nggak ada percakapan yang benar-benar terjadi di antara kami. Bocah ini memindahkan kardus lebih banyak dari yang kulakukan, sesekali mendorongku minggir ke kardus yang lebih kecil dari yang hendak kuangkat.

     "Makasih," katanya tanpa menatapku usai seluruh kardus masuk ke kamarnya. Aku nggak tahu dia mau tidur gimana setelah nyaris seluruh ruang kamar terisi kardus-kardus besar yang entah apa isinya. Mana berat banget.

     Sebagai yang lebih tua–seenggaknya begitu perkiraanku–aku mengangguk sambil berkacak pinggang, badanku pegal-pegal. "Kamu mau tidur di atas kardus-kardus itu?"

     Aku agak menyesal sudah melempar tanya, sebab wajah bocah ini begitu dingin untuk ukuran seseorang yang tahu sedang berhadapan dengan yang lebih tua.

     Dia menjawab singkat selagi memasang kupluk jaketnya, "Nggak."

     "Oh, gelar kasur di depan kamar mandi, ya," sahutku sarkas. Aduh, badanku jadi pegal-pegal begini.

     Melihat gerak-geriknya yang hendak pergi, aku mendahului angkat kaki sebelum ditinggal lagi. Tapi belum sempat meraih knop, suara sumbang yang begitu familiar membuatku kaget bukan main.

     "Deka...."

®®®

an:
Kita pelan2 aja ya di sini ehe. Detil2 cerita bakal saya kupas satu per satu seiring chapter. Kalau di-floor-in begitu aja di awal takutnya malah muntah karena kaget /apasih
So, mungkin pertanyaan2 yg kepikiran di awal chapter bisa menemukan jawaban pelan2 pada chapter2 selanjutnya~

Enjoy~ muach!

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 169K 70
Romance | General Fiction | Action You know the little ones that you are cubs. Do not dream about what I feel. You are a woman without any honor. I h...
Hana Madeleine By iza

General Fiction

604 40 31
Hana Madeleine. Seorang gadis berumur 17 tahun yang tumbuh dengan banyak kekecewaan, kesakitan dan penderitaan. Hana madeleine, seorang anak yang dip...
56.3K 1.7K 64
🥀Tengku Rayden Albert Nama seorang jejaka yang tampan,berdarah dingin dan disegani oleh orang ramai kerana dia adalah anak kepada Tengku Albert Rean...
6.6M 140K 40
[ 3rd BOOK = ARS ] ___________________ Mawar Qaisara gadis istimewa yang mempunyai IQ budak 6 tahun. Dirinya sama macam kanak-kanak yang lain. Manja...