jeffrose_'s present
Pusat Tahanan Kota Beijing, sebulan kemudian.
"Terimakasih, Pak," Kun membungkuk pada para sipir-sipir penjara.
Mujur sekali ia memiliki teman sekaya Winwin. Masa tahanannya yang harusnya 24 tahun ditebus langsung sehingga hanya seminggu ia mendekam di penjara, sementara 3 minggu lainnya ia habiskan di rumah sakit memperbaiki tulang ekor, kaki, dan kedua tangannya.
Di depan gedung tahanan itu sudah ada Yangyang, tersenyum menunggunya sembari membawa sebuket hydrangea biru.
Kun tersenyum. Dihampiri dan diciumnya dalam-dalam bibir tunangannya itu. "Kau mau aku lamar lagi atau langsung kunikahi?"
Yangyang tertawa pelan. Ia menjunjung buket bunga itu. "Pertama-tama, aku ingin memperbaikimu terlebih dahulu."
Kun menatap guci berisi abu Hendery itu penuh rasa menyesal. Di sentuhnya permukaan guci yang halus itu dengan mata berkaca-kaca. Ditaruhnya buket bunga hydrangea biru di depan guci itu.
"Ia gugur secara terhormat. Letnan Muda yang Agung," katanya sambil memberi penghormatan.
Yangyang menarik nafas panjang. Disentuhnya bahu Kun pelan. "Ayo pulang, ge."
Kun mengangguk. Dan untuk terakhir kalinya, ia menatap guci itu dengan penyesalan yang bertumpuk.
Kun dan Yangyang pun pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
Mereka tak menyadari kelopak hydrangea biru yang berkilau gemerlapan setelahnya.
"Tombak dan panah perak mulai berterbangan di langit. Lengkingan kesakitan menjadi alunan melodi yang membersihkan hutan dari sunyi. Satu persatu makhluk itu mati. Logam mewah itu menghancurkan jantung mereka. Jasadnya terinjak-injak dan melebur dalam tanah hutan dan ruh mereka dipaksa untuk melayang meninggalkan perang.
"Matanya yang cantik namun kosong, terbuka lebar pada harapan-harapan. mais la lumière l'a rendu aveugle.
"Harapan-harapan kosong itu akhirnya pergi, ketika salah seorang pemuda dari kalangan manusia menemukannya kembali."
Mata kelam yang sarat akan keheningan malam itu kembali terbuka. Kumpulan awan kelabu berarak tinggi, hampir menyentuh atap salah satu gedung tertinggi di sana.
"Ibu! Ibu! Berhenti menangis! Lihatlah! Lihat Kakak!"
'Dimana aku?'
Tetesan demi tetesan air hujan membasahi atap gedung tersebut. Dingin, menusuk jantungnya.
"Dokter! Dokter! Kemarilah, dokter!"
'Apa-apaan ini?'
"Tuan? Anda bisa mendengar saya? Tuan?"
Raganya telah berubah menjadi abu. Sang jiwa seharusnya telah mengikutinya.
'Apa maksud dari semua ini?'
"Kakak, jangan bercanda! Aku tahu kau sudah siuman! Kau tak bisa membohongiku!"
'Siapa mereka?'
"Chan!"
'Kenapa aku mengenal mereka?'
Sinar biru mendadak memenuhi ruangan itu. Membuka matanya pada harapan-harapan yang membutakan.
'Ah, aku tahu.'
"I-I...bu..."
Genggaman hangat itu belum pernah ia rasakan. Wajah cantik itu memerah karena isak tangis.
"Iya, sayang? Ibu ada di sini. Kau mau apa? Hm?"
'Aku sekali lagi...'
"I...bu..."
'...akan menjadi ksatria."
Seoul, 12 tahun kemudian.
"Seo Haechan! Seo Haechan! Ada yang tahu kemana Seo Haechan hari ini?"
Sahutan Xiaojun di depan kelas itu tak sama sekali digubris oleh murid-muridnya. Sebaliknya, mereka juga terdiam karena bingung. Xiaojun menghela nafas panjang.
"Jaemin? Kau tahu kemana teman semejamu pergi?" tanyanya sehalus mungkin.
Na Jaemin yang duduk di meja paling depan itu terkejut. Ia menunduk dan menjawab takut-takut. "Di-dia bilang dia se-sedang sakit, Pak Xiao."
"Mungkin dia kelelahan akibat semalaman bergadang di warung internet, Pak Guru," celetuk salah seorang murid di meja paling belakang. Seluruh kelas tertawa setelahnya, membuat kepusingan Xiaojun semakin menjadi-jadi.
"Ya sudah, buka buku halaman 65. Hari ini kita akan mempelajari Bab Revolusi Prancis."
Na Jaemin mengintip ke ruang guru, berusaha mencari keberadaan Xiaojun disana.
Xiaojun yang tengah mengurusi berkas sembari memijat lehernya itu terlihat sangat memprihatinkan di mata Jaemin. Pemuda berusia 17 tahun itu lalu berlari-lari kecil menghampiri Xiaojun. Ia lalu meletakan sebotol minyak herbal di meja Xiaojun.
"Paman terlalu keras pada diri sendiri," katanya.
Xiaojun tersenyum. Ia memberi isyarat pada Jaemin untuk duduk. "Kau bilang tadi temanmu itu sedang sakit?"
Jaemin yang sudah duduk itu mengangguk. "Dia mengatakannya tadi malam. Sekitar jam 1."
Xiaojun mengoleskan minyak yang tadi Jaemin berikan di tengkuknya. "Itu, sih, bukan malam namanya."
Jaemin terkekeh pelan. "Tapi kasihan juga jika Haechan sampai dikeluarkan dari sekolah karena sering membolos, kan?"
"Dia mungkin akan senang jika dikeluarkan," ujar Xiaojun sarkas. "Kau memiliki kontak orangtuanya?"
"Tentu," ujar Jaemin. Dengan sigap, ia menuliskan kontak orangtua Seo Haechan di selembar kertas dan meletakannya di meja Xiaojun.
"Kau boleh pergi sekarang," kata Xiaojun.
Jaemin mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya hendak pergi.
"Jaemin," panggil Xiaojun. Jaemin yang sudah mencapai pintu menoleh kepadanya.
Xiaojun tersenyum. "Aku sudah meminta izin kepada guru olahragamu, kau boleh tak mengikuti pelajarannya. Jadi hati-hatilah, jangan sampai anemiamu kambuh dan membuat ayahmu harus menutup tokonya lagi."
Jaemin membungkuk dan tersenyum lebar. "Terimakasih, Paman Dejun."
Keesokan harinya, Xiaojun yang tak memiliki jadwal mengajar sejarah tetap harus datang ke sekolah untuk menunaikan kewajibannya sebagai wali kelas.
Ketika sedang merangkum buku absen, seorang pria dengan nada lugas bertanya padanya. "Dengan Pak Guru Xiao? Wali kelas anak saya?"
Xiaojun mendongakan kepalanya. Matanya terbelalak karena kaget. Seorang pria tampan penuh wibawa beraksen asing dengan tubuh tinggi tegap berdiri di depan mejanya. Pria dengan garis wajah yang mengingatkan Xiaojun pada seseorang.
Wajah pria itu berubah heran. "Maaf? Pak Xiao"
Xiaojun lantas tersadar dan mengusap wajahnya kasar. "Ah, maaf. Silahkan duduk, Tuan Seo."
Pria itu kembali tersenyum. Ia kemudian duduk di kursi yang telah disediakan. "Jadi ada masalah apa Pak Xiao."
"Begini. Anak anda, Seo Haechan telah membolos sekitar 3 hari di minggu sebelumnya, 4 hari berturut-turut pada minggu kemarin, dan seminggu penuh pada minggu ini. Alasannya bermacam-macam, satu hari ia berkata sedang sakit, hari lainnya ia sedang berpergian keluarga. Apakah ada penjelasan yang lebih jelas untuk itu, Tuan Seo?"
Ayah dari Seo Haechan itu memiringkan sedikit kepalanya. Ia lalu tertawa pelan. "Jika saya katakan bahwa alasannya adalah asmara bagaimana, Pak Xiao?"
Xiaojun mengerutkan alisnya. "Asmara?"
"Haechan sudah berhari-hari tergolek lemah di kasur, menangisi kakak kelasnya yang baru saja pindah ke Kanada," jelas Tuan Seo tenang.
Xiaojun semakin terlihat keheranan. "Maafkan saya, Tuan. Tapi bagi sekolah, keterangan itu tak dapat diterima."
Tuan Seo mengangguk pelan. "Saya mengerti sekali soal itu, Pak Xiao. Namun, sebagai ayah, saya juga perlu memaklumi perasaan Haechan. Keadaannya memang membaik beberapa hari ini, dan ia berjanji kepada saya untuk segera berangkat sekolah dalam waktu dekat."
Xiaojun memainkan penanya. "Dan selagi Haechan mempersiapkan diri, keterangan apa yang harus saya tulis di buku absennya?"
Tuan Seo mengangkat alisnya. "Tulis saja R."
"R?"
"Rindu."
"Hah?"
"Terimakasih kerja samanya, Tuan Seo," Xiaojun membungkuk sopan setelah mengantar Tuan Seo sampai ke halaman parkir sekolah.
Tuan Seo mengibaskan tangannya. "Bukan masalah, tunggu saja sampai anak manja itu mau bangun dari tempat tidurnya. Tenang saja, itu tak akan membutuhkan waktu lama."
"Saya akan menunggu," kata Xiaojun.
Tuan Seo tertawa. "Aih, manisnya. Apa anda sudah menikah?"
Xiaojun menggeleng. "Saya tidak akan menikah dalam waktu cepat."
Tuan Seo mengangguk mengerti. "Saya paham, mengejar karir. Kebanyakan anak muda zaman sekarang berpikiran seperti itu. Tapi jangan sampai lupa menikah, itu penting untuk kesehatan mental anda."
Xiaojun tersenyum. Kata-kata Tuan Seo ini persis sama dengan apa yang Ibunya di China sana katakan. "Sampaikan salam saya kepada Haechan, Tuan."
"Baik, baik. Sampai jumpa, ya."
Tuan Seo pun berjalan menuju mobilnya. Seorang laki-laki dengan rambut disemir pirang yang sepertinya sebaya dengan Xiaojun keluar dari mobil itu dan membukakan pintu untuk Tuan Seo.
"Sebentar," gumam Xiaojun. Ia menyipitkan matanya.
Laki-laki pirang itu menoleh ke arahnya. Dan entah Xiaojun berdelusi atau memang kenyataan, laki-laki itu tersenyum singkat kepadanya sebelum masuk lagi ke mobil. Mobil itu pun meluncur pergi dari halaman parkir sekolah.
"Apakah aku sedang lapar?"
"Kalau begitu makanlah denganku."
Xiaojun sedikit berjengit. Di sampingnya telah berdiri Winwin dengan kemejanya yang rapi dan kacamatanya, meletakan tangan di belakang punggungnya sembari menatap ke arah yang sama dengan Xiaojun.
"Gege? Ada apa kemari? Apa Jaemin pingsan lagi?"
Winwin tertawa. "Tidak, jangan khawatir, anakku itu sangat sehat. Aku kemari untuk mengajak adikku yang kurus ini pergi makan."
"12 tahun dan itu masih menganggumu?"
Xiaojun menghentikan kunyahannya. Ia menatap Winwin yang duduk di seberangnya tengah memainkan sendok di piring.
"Karena itu masih menggangguku," lanjut Winwin.
"Apa yang sedang kau bicara-"
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Dejun," potong Winwin. "Aku juga melihat apa yang kau lihat tadi."
Xiaojun mengerjap, ia lalu mengangkat bahu. "Kurasa kita sama-sama lapar."
"Dejun," Winwin mencondongkan tubuhnya ke depan. Matanya terpekur ke bawah. "Meskipun itu dua abad yang lalu, dia tetaplah anakku."
Ponsel dalam saku kemeja Winwin berdering. Laki-laki itu bergegas mengangkatnya.
"Halo? Baik, saya segera ke sana."
Winwin menutup teleponnya. "Aku harus kembali ke rumah sakit," ujarnya.
Xiaojun mengangguk. "Hati-hati di jalan, ge."
Winwin pun segera pergi dari restoran itu. Xiaojun kembali menarik nafas panjang. Di tatapnya pemandangan kota yang sibuk dari jendela. Ia memejamkan matanya dan terhanyut dalam lamunan.
"mais la lumière l'a rendu aveugle."
Xiaojun membuka matanya. Matanya menangkap sosok dengan surai pirang tengah duduk tak jauh dari mejanya, entah tertidur atau hanya melamun, namun matanya terpejam damai. Sosok itu laki-laki yang ia lihat bersama Tuan Seo tadi.
Mata itu terbuka. Xiaojun buru-buru memalingkan wajahnya ke arah jendela lagi. Pura-pura tengah menikmati pemandangan di jalanan kota.
Laki-laki surai pirang itu tersenyum. Ia beranjak dan menghampiri meja Xiaojun. "Selamat siang, Pak Xiao."
Xiaojun mau tak mau menoleh ke arahnya. Hatinya sakit seperti tergores, pikirannya kalut seperti arus laut, matanya berair seperti daun yang berembun. Wajah itu, wajah dengan senyuman yang sendu dan mata yang sekelam malam, sukses membuat air matanya jatuh setitik.
Xiaojun yakin tak berdelusi, ia sudah makan.
"Nama saya Seo Kwanhyung, kakak dari Haechan," ujar laki-laki itu. "Terimakasih telah menjaga Haechan dengan baik, dan-
"-dan terimakasih telah menjaga dirimu dengan baik selama ini."
Air mata Xiaojun semakin berderai, mulutnya menganga tak percaya, tangannya terulur menyentuh pipi Seo Kwanhyung. "K-kau nyata?"
Kwanhyung meraih tangan itu dan mencium punggungnya pelan. "Aku senyata dirimu sekarang."
Xiaojun bangkit dan memeluk tubuh itu erat-erat. Tangisannya semakin menjadi. Ini nyata. Bukanlah mimpi atau delusi di siang bolong. Bukanlah kebohongan dari sang lily, bukan pula kepalsuan dari awan mendung di pagi hari.
Tangan Kwanhyung mengusap pelan rambut Xiaojun. "Apa kau merindukanku?"
"Tentu saja! Hendery bodoh, dungu, kuno, lamban, sialan! Aku merindukanmu, aku merindukanmu!"
Kwanhyung menangkup wajah Xiaojun, lalu ditempelkan bibirnya kepada bibir Xiaojun dalam-dalam. "Maafkan aku telah membuatmu menunggu."
"Tidak," ujar Xiaojun. "Akulah yang membuatmu menunggu."
Keduanya tersenyum sambil menatap lurus satu sama lain.
"PAK XIAO!"
Xiaojun terlompat kaget mendengar teriakan nyaring di lorong sekolah yang ramai oleh lalu lalang siswa itu. Ia menoleh ke belakang. Nampak olehnya Seo Haechan sedang berlari-lari kecil dengan sumringah.
"Ah, Haechan. Sudah sembuh dari sakit rindumu?" sindir Xiaojun.
Haechan menggaruk belakang kepalanya. "Saya minta maaf. Saya berjanji untuk fokus bersekolah mulai sekarang."
Xiaojun yang sudah berkali-kali diingkari janji Haechan itu hanya tersenyum tipis. "Ya sudah, masuk sana ke kelas."
"Tunggu sebentar," ujar Haechan. Ia merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah tas kertas. "Kakak saya menitipkan ini untuk anda. Omong-omong, kalian saling mengenal?"
Xiaojun menerima tas kertas itu dengan ragu. "Terimakasih, sekarang masuklah ke kelas."
"Baik, Pak Xiao."
Xiaojun membanting pintu mobilnya. Ia membenturkan kepalanya pada setir. Menjadi guru memang selalu melelahkan, terlebih lagi jika mengajar di tempat dimana para anak-anak usia tanggung berkumpul, dan tambahan lagi jika anak usia tanggung yang kau ajar itu bernama Seo Haechan.
Ia menyambar tas kertas pemberian Haechan yang ia simpan di kursi samping pengemudi. Ia membuka dan mengeluarkan isinya.
Sebuah mantel musim dingin yang berwarna kecoklatan. Mantel yang pernah ia berikan pada Hendery di malam ketika ia diserang oleh senapan.
Xiaojun memeluk mantel itu dan menghirup aromanya. Tak ada yang berubah sama sekali. Tetap aroma dan kehangatan milik Hendery.
"Kau suka?"
Untuk kesekian kalinya di hari ini, Xiaojun terlonjak kaget. Ia menatap horor kepada Kwanhyung yang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi samping pengemudi.
"Kenapa kau tiba-tiba ada disini?!"
"Ada masa dimana kau tiba-tiba menghilang dan tidak sadar akan dunia nyatamu, Xiao. Masa itu orang-orang beri nama 'lamunan'."
"Apa kau akan menjemput adikmu?" tanya Xiaojun.
Giliran Kwanhyung yang menatapnya horor. "Tidak, terimakasih. Biarkan saja anak manja itu pulang sendiri, aku tak peduli."
Xiaojun tertawa. "Aku tak pernah menyangka kau bisa menjadi kakak, Hendery."
Kwanhyung merasa tersanjung. Ia tersenyum bangga. "Terimakasih."
"Itu bukan pujian."
"Aku tahu."
"Tapi serius," kata Xiaojun. "Kenapa kau tiba-tiba ada disini? Menjadi Seo Kwanhyung? Memiliki orangtua dan adik?" tanyanya bertubi-tubi.
"Aku pernah berkata padamu, Xiao," ujar Kwanhyung. "Skenario Tuhan itu lebih rumit dari apapun yang bisa otak manusia proses."
"Semenjak kedatangan dirimu," gumam Xiaojun. "Aku selalu menerima keadaan sediluar nalar apapun tanpa terlalu melibatkan logika. Aku percaya dunia jauh lebih luas ketimbang ilmu pengetahuan."
Kwanhyung melirik Xiaojun sembari tersenyum penuh arti. "Hey, jalankan mobilnya."
"Kau mau ikut denganku?"
Kwanhyung menopang dagunya. "Aku masih ingin melihat wajahmu."
Malam sudah mulai larut. Mobil Xiaojun berhenti di pinggiran sungai besar di kota itu. Kedua insan yang berada di dalamnya sama-sama bersandar sembari melamun.
"Alas, my love, you do me wrong," senandung Kwanhyung.
Xiaojun tersenyum melihatnya. "Kau benar-benar Hendery."
"Apa kau masih mempertanyakannya?"
"Tentu saja."
"Kau bilang tadi bahwa kau sekarang percaya pada hal-hal di luar nalar."
"Bukan berarti aku menjadi lengah untuk ditipu."
Hendery tertawa. "Kau benar-benar Xiao Dejun."
Xiaojun melepaskan sabuk pengamannya. Ia melompat ke pangkuan Kwanhyung dengan posisi berhadapan. "Kenapa kau menyemir rambutmu?"
"Hm? Memang kenapa? Jelek?"
"Justru sebaliknya," ujar Xiaojun. "Kau terlihat tampan, sangat tampan."
Kwanhyung mendengus. Dengan gerakan perlahan, tangannya membuka satu persatu kancing kemeja Xiaojun. "Kau selalu- tidak pernah tidak- terlihat cantik sekali."
Xiaojun menarik tuas agar kursi mereka agak turun ke bawah. Kemudian bibir mereka saling berpagutan. Suara-suara lidah bertemu lidah memenuhi malam mereka di mobil.
Di bawah malam yang mendung dengan bintang di langit berpolusi. Di pinggir sungai yang riaknya berkilauan di giring arus. Di dalam mobil hitam berjenis sedan milik Xiaojun. Kedua vampir yang telah tercipta kembali menjadi manusia itu menyalurkan kerinduan mereka.
"Aku mencintaimu, Jenkinson."
"Aku juga mencintaimu, Hendery."
Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Yangyang. Laki-laki yang tengah sibuk merangkai buket bunga di tokonya itu bergegas membukanya.
Matanya melebar tak percaya. Ia segera memanggil suaminya yang sedang mengurus kasir. "Kun-ge! Kun-ge! Lihatlah! Ini undangan pernikahan Dejun-ge!"
Kun melihat undangan di ponsel Yangyang. "Astaga, syukurlah, akhirnya anak itu tidak jadi perjaka tua."
"Dia akan menikah dengan laki-laki bernama 'Seo Kwan Hyung'. Kau mengenalnya, ge?"
Kun merenung. Ia berpikir keras. "Kau merasa mengenalnya, Yangyang?"
"Entahlah. Ini aneh, tapi aku merasa mengenalnya."
Kun menopang dagunya. "Cepat atau lambat kita akan menemuinya, bukan? Jadi, kapan kita akan terbang ke Korea?"
the end.
tamat deh ^^