Percaya. Kamu istimewa dengan apa yang kamu punya. Tugasmu adalah bagaimana caranya menunjukkan pada dunia. Pada mereka yang mungkin menganggapmu rendah.
-RagaArga-
"Lihat tuh Dis! Kasihan banget kalau jadi orang nggak dianggap. Kerjaannya cuma tidur-tidur doang, kalau sahabatnya lagi sibuk. Harusnya kan dia juga cari kesibukan, apa gitu kek yang bisa bikin dia berprestasi."
Gadis menghela nafas, lagi sahabatnya ini kumat. "Kalau kasihan seharusnya kamu nggak bilang gitu geh, Can. Lagian toh Raga itu nggak pernah ganggu kamu, dia tidur di tempatnya sendiri kan?"
Cantika tersenyum remeh, "Ganggu Dis, ganggu pemandangan. Ngerusak mata."
"Eh Can, kamu lupa Raga ini atlet basket loh? Udah berapa kali aja coba dia bikin bangga sekolah ini? Harusnya kamu juga bangga loh punya temen hebat kayak Raga."
"Halah Dis... Dis... Apa sih yang dibanggain dari main basket? Cuma masukin bola ke ring juga." tetap saja yang namanya Cantika tak mau kalah, tetap main cantik dengan kata-katanya.
Gadis beristighfar dalam hati, "Udah ah yuk, katanya mau ke kantin. Lama-lama kamu makin ngawur, nggak enak loh kalau Raganya denger." Gadis memilih menarik tangan Cantika cepat, daripada anak itu semakin menjadi dengan ucapannya. Sementara Cantika sedikit mendengus kesal karena sebenarnya ia belum selesai berbicara.
Raga, dalam diam dan pejamnya dapat ia dengar jelas pembicaraan Cantika dan Gadis yang mendominasi ruang sepi kelasnya itu. Tadi ia memang berniat mengisi jam kosong dengan tidur dan lanjut sampai saat jam istirahat habis, tapi denyutan yang datang-pergi malah mengganggunya. Membuatnya sulit tidur meski sudah memejamkan mata.
Raga itu sebenarnya bukan tipe orang yang suka dan terlalu memikirkan omongan orang, apalagi jika hanya menyakiti hatinya. Bukan apa-apa, hidupnya sudah terlalu rumit dan ada banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan, abangnya misalnya. Tapi, entah mengapa akhir-akhir ini semua kata-kata menyakitkan itu malah mendominasi ruang pikirnya. Merusak moodnya tiba-tiba.
***
Bang Reza melempar botol minumnya pada Raga yang sedang out dari lapangan. Lantas mengambil posisi duduk di samping Raga. Menatap lekat sebentar Raga yang sedang meneguk air sebelum akhirnya melempar pandang ke arah anak-anak lain yang sedang mengoper si oranye. Begitu menikmati permainan di bawah langit sore.
"Bilang sama gue, ada masalah apa? Jangan disimpen sendiri." Bang Reza buka suara.
"Hah?"
"Nggak usah bohong sama gue. Dari cara Lo main tadi sampe muka kusut Lo sekarang, kentara banget Lo lagi banyak pikiran."
Cukup lama Raga diam, pun dengan bang Reza yang memberi kesempatan pada Raga menata hatinya.
"Bang, kebodohan itu dosa besar ya? Sampe orang yang bodoh itu harus dijauhin?" ada jeda kala Raga menghalau getar pada suaranya, "Bang, gue pun nggak mau jadi orang goblok. Gue juga pingin pinter kek Bintang atau abang gue, gue udah berusaha bang selama ini buat nguasain banyak pelajaran sekolah, tapi sumpah bang, gue bener-bener nggak bisa. Tetep aja gue nggak ngerti. Gue tanya bang, apa ada orang di dunia ini yang mau jadi orang goblok? Orang pelupa? Pasti nggak ada kan bang?"
Cukup sampai situ, bang Reza sudah paham apa akar permasalahannya. "Anak kelas Lo lagi kan pasti yang ngomong nggak-nggak?"
"Ga, Lo percaya nggak kalau di dunia ini tuh nggak ada orang goblok? Lo percaya, kalau masing-masing orang punya kemampuan istimewanya sendiri? Sekarang gini deh, Bintang pinter banget biologi kan? Tapi apa hebat dalam main basket kek Lo? Terus Abang Lo, dia emang hebat dalam hitungan, tapi coba Lo suruh main piano, bisa nggak?"
Raga menggeleng.
"Nah jadi tiap orang itu nggak boleh ngatain orang lain goblok, karena pada dasarnya tiap orang itu punya kemampuannya masing-masing. Yang pinter ngitung belum tentu pinter bikin puisi, yang hebat main musik belum tentu hebat dalam olahraga." Bang Reza menepuk pundak Raga, "Ga, udah. Nggak usah dipikirin lagi omongan anak kelas. Mereka tuh cuma para ambisi yang dipikirkannya cuma ada nilai, nilai, dan nilai sampe-sampe hatinya tuh mati. Seenaknya ngomong dan nyakitin perasaan orang."
"Semua omongan jelek dari orang itu cukup dijadiin motivasi, gimana caranya supaya Lo bisa nunjukin kalau Lo itu hebat dan layak. Lo masih muda, harus semangat! Percaya, kalau Lo emang ada di jalan yang lurus, suatu saat mereka bakal ngeliat Lo."
"Thanks bang!" dan senyumnya hadir kembali. Kali ini, untuk yang kesekian kali Raga bisa melawan semua rasa patah semangatnya.
"Kalau ada apa-apa itu jangan dipendem sendiri. Ceritain ke Abang Lo ini! Gue nggak mau Lo stress terus berujung jalan-jalan di pinggir jembatan!"
"Kampret!! Amit-amit... Jangan sampe gue kek gitu!"
"Yauda gue gabung sama anak-anak dulu ya?"
"Nah gitu dong! Inget bentar lagi ada turnamen! Yang semangat latihannya!"
Mungkin apa yang dikatakan bang Reza dari tadi hanyalah kata-kata sederhana, tapi sungguh itu berhasil mengembalikan semangat Raga. Bahkan sampai membuat Raga lupa akan rasa sakitnya, memilih berlari dan bergabung dengan teman-temannya di lapangan.
***
Raga sedang mengeluarkan isi perutnya di kloset ketika abangnya mengetuk pintu kamar sambil memanggil namanya. Cepat-cepat ia hidupkan semua keran yang ada di sana, menyamarkan suara kesakitannya.
Tak mendengar jawaban, Arga lantas mencoba membuka pintu kamar Raga, tak dikunci ternyata. Membuat Arga leluasa masuk.
Suara gemercik air mengundang Arga, lantas didekatkannya telinganya di pintu kamar mandi, "Ga, Lo di dalem ya? Lagi mandi?"
"I-iya bang! Badan gue lengket banget jadi gue mandinya lama ya?" bohongnya.
"Okee tuan, mandi yang bersih biar genteng kek gue!" sesekali Arga memang suka bodoh, jelas-jelas ia dengan Raga kembar identik, jadi tentu saja ketampanan keduanya sama.
Sambil menunggu Raga, Arga memilih membereskan kamar Raga yang sangat berantakan. Dimulainya dari nakas dekat ranjang. Seketika cemas menggelayuti pikirannya kala melihat dua tabung kecil berisikan obat pereda nyeri milik Raga. Memperlihatkan bahwa adiknya itu seperti sedang sakit serius. Jujur Arga sampai berpikir yang tidak-tidak.
Lima belas menit berlalu, Raga keluar dari kamar mandi. Takjub kala melihat kamarnya yang berubah rapih.h
"Widiih baik banget Abang gue! Kamar adeknya sampe diberesin."
"Yaiyalah gue kan rajin, lagian kok bisa nih kamar berantakan padahal tadi pagi udah diberesin sama bibi?"
"Ya gitulah bang, hobi gue emang ngacak-ngacak."
"Eh Ga, sini geh, gue ada kabar bagus." ucap Arga sambil menepuk sisi kosong di sebelahnya.
Raga lantas menuntun langkahnya dan duduk di samping abangnya. "Apaan sih? Lo ada cewek? Apa menang lomba lagi?"
"Bukan itu. Lo percaya nggak kalau gue bilang tadi siang ayah nelpon?"
"Hah? Serius bang? Demi apa?"
"Serius Ga, ngapain gue bohong. Lo tau nggak sih Ga, ternyata selama ayah nggak pernah nelpon itu karena ayah bener-bener lagi hadapin masalah besar di perusahaannya."
"Ya Allah, kasihan banget ayah. Terus-terus, ayah bilang apa lagi?"
"Ayah nanya uang kita masih ada nggak. Terus gue jawab, masih banget karena selama ini ayah kasihnya banyak banget."
"Terus-terus?"
"Lo pikir gue tukang parkir? Sabar, elah,"
Raga nyengir. Kali ini dirinya memang sangat antusias mendengarkan cerita Arga.
"Ayah bilang Ga, sebulan lagi ayah bakal pulang. Dia bilang dia bakal netap di Indonesia seterusnya, nggak bakal balik ke sana lagi. Gue seneng banget dengernya."
"Demi apaan bang? Ya Allah, akhirnya...." Raga terlampau senang.
"Ga, gue minta satu hal ya ke Lo?"
"Apaan?"
"Kalau ayah pulang nanti Lo mau ya periksa kesehatan Lo? Gue mohon."
"Iya, kalau gue masih ada ya bang?"
"Raga!"
"Inget bang, mati hidupnya seseorang itu di tangan Allah, nggak ada yang tau. Kalau nanti ayah pulang, gue udah nggak ada, titip salam ke ayah aja. Bilangin gue sayang ayah, pake banget."
"Kalau memang bener, biar gue yang minta ke Allah buat tuker takdir kematian kita! Barangkali anak kembar punya hak istimewa."
***
To be continued
Bumi Lampung