Leya menahan kantuknya dengan menguap sepanjang kelas berlangsung pagi ini, tadi malam ia baru sempat tertidur saat fajar dan kini ia tidak fokus berada di kelas. Benar-benar definisi kehidupan sehari-hari mahasiswi semester lima. Namun, saat matanya benar-benar tinggal lima belas watt, seseorang dari bangku belakang melemparkan pena dan tepat mengenai kepala gadis itu, hingga ia tersentak lalu menoleh ke belakang. "Jangan lempar-lempar ih, Jem."
Lelaki yang duduk di belakang Leya hanya tersenyum jahil, lalu menunjuk ke arah depan sebagai kode agar Leya kembali memperhatikan pelajaran. "Fokus," katanya tanpa suara.
Leya sudah bersahabat dengan Jema sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menegah pertama. Baik Leya maupun Jema sama-sama mengetahui kepribadian serta kebiasaan mereka masing-masing. Apalagi kini mereka berada di jurusan yang sama dan bersama berjuang di bangku perkuliahan. Ya, Jema dan Leya berada di jurusan Psikologi, Universitas Negeri Jakarta.
Jema selalu ada di momen-momen penting hidup Leya. Bagi lelaki itu, Leya adalah salah satu wujud dari kebahagiaan yang ditakdirkan untuknya. Waktu akan terasa cepat, malam akan terasa indah, dan masa-masa sulit akan terlewati jika mereka habiskan waktu bersama. Berbagi canda, tawa, rahasia, maupun luka.
•••
"Ayo cepetan Jem, nanti Leo nunggu kita kelamaan!" ujar Leya tidak sabaran menunggu Jema yang tengah membereskan alat tulisnya seusai kelas.
"Sabar dong, tadi pas kelas ngantuk. Giliran mau ketemu Mas Pacar aja langsung semangat empat lima. Ck kayak anak remaja baru kasmaran aja," ujar Jema.
"Protes mulu. Lo kaya nggak pernah jatuh cinta aja, Jem." Leya mencebik pelan. "Padahal dari semalem pas begadang ngerjain tugas ditemenin Leo teleponan sampe subuh, tapi kenapa masih aja nggak sabar mau ketemu orangnya," lanjut Leya bermonolog. Sedangkan Jema mengangguk seperti biasa. Ia hanya bisa memaklumi kelakuan Leya jika sedang jadi bucin.
Bagi Leya, biasanya suasana kampus pada hari Selasa itu selalu membuat moodnya berantakan. Ramai, panas, sumpek, dan ke mana-mana penuh sama orang. Tapi, beda cerita sekarang. kadar benci Leya pada hari Selasa jadi berkurang, baginya Leo seperti moodbooster. Leya dengan semangat menuruni tangga menuju kantin Fakultas Bahasa dan Seni untuk bertemu dengan Leo. Sekadar informasi, Leo merupakan mahasiswa jurusan music di universitas yang sama dengan Jema dan Leya.
Melewati lorong fakultas dan menuruni banyak anak tangga yang melelahkan, terbayarkan saat melihat Leo di meja kantin sambil melambaikan tangan pada mereka. Kehadirannya, senyumnya, dan juga setiap kata yang keluar dari mulut Leo --membuat Leya akan jatuh cinta pada Leo setiap hari.
"Gimana tadi kelasnya?" tanya Leo saat Leya duduk di sampingnya.
"Lancar, Le. Cuma aku masih agak ngantuk karena tadi malem," balas Leya.
Leo lantas tertawa. Walau bagaimana pun, Leya adalah mataharinya yang memberikan energi untuk semangat setiap hari.
"Besok-besok jangan mepet deadline lagi, ya. Kesian badan kamu jangan dibawa begadang. Nggak sehat."
"Iya -iya, bawel ih!"
Leo terkekeh melihat kekasihnya itu merajuk. Jema yang duduk di depan Leya pun ikut tersenyum.
Sudah tiga tahun Leya dan Leo menjalin hubungan sebagai kekasih. Leo yang tengah berada di semester akhir dan tugas Leya yang menumpuk membuat keduanya sangat sibuk sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk sering bertemu secara langsung. Oleh karena itu, ini adalah hari yang sangat spesial untuk keduanya. Mereka dapat melampiaskan rasa kangen terhadap satu sama lain tanpa melalui layar handphone.
Dimulai dari menanyakan kabar dan saling bertukar cerita, keduanya asyik mengobrol. Seakan-akan dunia ini hanya milik mereka. Tidak pernah mereka kehabisan topik untuk dibicarakan. Bahkan membuat Jema menjadi nyamuk kalau sudah ada di antara mereka. Rasanya kebahagiaan selalu mengitari mereka berdua, namun kenyataan tidak selalu indah.
"Di kelas, temenku-", Leo yang tengah bercerita tentang temannya terhenti saat melihat Leya dan Jema menatapnya dengan wajah terkejut. Tanpa ia sadari, cairan kental berwarna merah mengalir dari indra penciumannya. Leya dengan sigap memberikan tisu kepada Leo.
"Kemarin kamu abis check up 'kan? Apa kata dokter?" tanya Leya yang sebelumnya sudah tau mengenai penyakit yang dialami kekasihnya itu. Lebih tepatnya kanker otak. Suasana yang awalnya ceria berubah menjadi sedikit tegang.
"Sebenernya akhir-akhir ini aku..." Leo membuka mulutnya dan mulai menceritakan semua gejala yang hampir setiap hari ia alami. Mulai dari sakit kepala yang tak tertahankan, rasa mual yang selalu melanda, nafsu makan yang semakin menurun, serta seringnya ia mengalami mimisan.
Leo menambahkan, "Kemarin dokter bilang kalau kondisiku sedikit memburuk."
Mendengar keadaan kekasihnya itu, Leya jelas khawatir. Bagaimana bisa Leo tetap menunjukkan senyumnya, walaupun ia merasakan rasa sakit hebat yang datangnya terkadang selalu tiba-tiba. Saat itu juga raut wajah Leya berubah. Ingin menangis rasanya, tapi Leya tahu itu tidak akan membantu Leo.
Jema yang sadar akan keadaan tak mengenakkan tersebut memilih pamit untuk memberikan waktu berdua pada sepasang kekasih itu, "Gue cabut duluan ya, baru inget ada rapat." Jema membawa tasnya dan bergegas meninggalkan mereka di kantin fakultas yang lumayan sepi. Keduanya diam seribu bahasa selama beberapa menit. Sampai akhirnya Leo memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi.
"Leya... kalau suatu saat ini.. aku nggak kuat melewati fase-fase ini, aku nggak mau lihat kamu nangis. Apalagi kalau aku nggak bisa menepati janjiku untuk selalu ada di samping kamu." Leo menjeda kalimatnya beberapa detik. "Kamu harus bahagia Leya, walau bukan denganku..."
Leya yang mendengarkan perkataan Leo lantas marah. "Leo!" teriaknya, menunjukkan sedikit amarah. Leya tak habis pikir. Bagaimana mungkin dirinya bisa bahagia jika tak bersama Leo.
"Kamu pasti bisa melewati semua ini! Inget, kamu nggak sendirian, ada aku, ada Jema, ada ayah bunda dan semuanya. Kamu -ah enggak, kita berjuang bersama!" Leya bersikeras bahwa Leo pasti bisa sembuh. Ia berusaha menghilangkan pikiran negatif Leo dan kembali menyemangatinya.
Melihat mata Leya yang mulai berair, Leo beranjak dari duduk dan menghampiri gadisnya itu, lalu memeluknya. Tak butuh waktu lama sampai bendungan air di mata Leya tersebut pecah,.
"Kan aku yang sakit, kok kamu sih yang nangis?" tanya Leo sambil tertawa.
"Huwaaaaaa," tangisan Leya semakin kencang setelah mendengar perkataan Leo.
"Udah ah nangisnya. Nanti muka kamu tambah jelek loh," Leo menepuk-nepuk punggung Leya. Perkataan Leo dibalas dengan sebuah pukulan tangan mendarat di punggung Leo, membuat sang pemilik punggung meringis kesakitan dan kembali tertawa renyah.
"Kamu tau nggak manfaat pelukan?" Leo bertanya, dan kemudian dijawab dengan gelengan kepala Leya.
"Pelukan itu obat terbaik bagi jiwa. Walaupun kamu bukan dokter, tapi kamu udah buat jiwa aku jadi semangat lagi. Makasih ya," sambung Leo.
"Hmmm," Leya hanya menjawab dengan dehaman dan kembalimengeratkan pelukannya kepada Leo. Wajah Leya yang semerah kepiting rebus dapatdilihat jelas oleh Leo. Leo menatap pucuk kepala Leya sambil tersenyum. Senyumyang menyembunyikan berbagai rasa sakit.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.