Motor sport hitam itu meliuk-liuk dengan lincah di jalan raya yang ramai pada sore hari ini. Pengendaranya mengenakan helm full face hitam, hoodie, celana sekolah, dan tas bermerk A di punggungnya.
Banyak pasang mata yang memperhatikan laki-laki tersebut, terutama gadis-gadis seumurannya. Apalagi kalau melihat barang-barang yang dipakai olehnya. Orang-orang tentu tahu berapa harga jam tangan berbentuk persegi yang melingkar di pergelangan tangan laki-laki itu.
Rayner Dexalion namanya.
Laki-laki dengan tinggi 188 sentimeter itu mengendarai motornya memasuki basement apartemen. Setelah mematikan mesin motornya, ia melepaskan helm dari kepalanya.
Rayner berjalan santai menuju lift tanpa mempedulikan rambutnya yang acak-acakan. Ia melirik sekilas jam di tangan kirinya sebelum mengantungi kedua tangannya ke saku hoodie.
Tidak butuh waktu lama, ia sudah bersandar di sofa depan televisi. Rayner mengeluarkan ponselnya dari tas dan memposisikannya miring. Kemudian ia menghela napas saat seseorang menelponnya.
"Halo?"
Rayner menarik punggungnya dari sandaran sofa. "Halo, Tante. Kenapa telpon Ray?"
"Ray, Tante bakal pindah ke Bali, tapi anak bungsu Tante ga pengen ikut. Kebetulan satu sekolah sama kamu, boleh ga ya, Ray, Tante titip sama Rayner? Sampe lulus aja kok."
Cowok itu melirik sekitar dengan cepat sambil membasahi bibirnya. Jujur ia sedikit keberatan dengan adanya orang lain di apartemennya.
"Kalo boleh tau, Tante kenapa pindah ke Bali?"
Di seberang sana, Hera tersenyum tipis. Wanita dengan dua anak itu tahu Rayner keberatan. Namun, bagaimana lagi? Ia tidak memiliki saudara di Jakarta dan tidak akan mengizinkan anaknya tinggal sendiri.
"Tante emang udah lama mau pindah, Ray, tapi karena kerjaan Om kemarin lagi turun dan Xabiru lagi skripsian jadi Tante tunda. Eh pas sekarang mau pindah beneran, Si Cerewet gamau ikut, katanya bentar lagi lulus."
Rayner mengusap wajahnya. Kalau saja ia tidak ingat Hera yang membantunya dulu saat ia hampir kehilangan nyawa, pasti ia tidak perlu berpikir dua kali untuk menolak.
"Yaudah gapapa, Tan. Hemm, tapi bukannya anak bungsu Tante cewek ya?" tanya Rayner memastikan.
"Iya, Ray. Tante takut kalo dia tinggal sendiri. Anaknya kan bar-bar gitu."
Sekilas wajah seorang gadis terlintas di pikiran Rayner. Ia meringis saat mengingat gadis itu merupakan gadis tercerewet di angkatannya.
"Hehe. Yaudah, Tan. Tante kapan mau ke sini?"
"Besok abis kalian pulang sekolah bisa, Ray?"
"Bisa kok, Tan."
"Makasih banyak ya Ray."
"Iya, sama-sama, Tan."
Sedetik setelah sambungan terputus, Rayner mengerang. Ia seratus persen yakin apartemennya yang damai dan tentram ini akan berubah setelah kedatangan gadis itu.
"Semoga tuh cewek ga susah diatur." doa Rayner.
Rayner bangkit dari sofa lalu menyeret malas tasnya ke dalam ruang belajar. Ia merapihkan buku tulis untuk mata pelajaran besok. Rayner tidak membawa buku paket, karena semua bukunya ada di laci meja dan loker di sekolah.
Setelah itu ia melangkah menuju kamarnya untuk mandi, barulah setelah mandi ia membuat makan malam.
Kondisi apartemennya begitu sepi, tapi Rayner menyukainya. Ntah bagaimana kondisi apartemennya setelah kedatangan seorang gadis besok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rayner and Rain
Romance18+ Sifat Rayner itu seperti kebanyakan laki-laki di sekolah. Bisa kalem, bisa bacot, bisa nakal, dan bisa juga berubah mesum. Sementara itu, Rain yang memiliki wajah kalem ternyata memiliki mulut yang cerewet. Kisah ini berawal dari Hera, bunda Ra...