抖阴社区

Dvr|34

436 62 5
                                        

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.


Devira berjalan menyusuri taman kecil yang ada di dekat rumahnya. Gadis dengan kacamata tebal itu datang kemari untuk menyegarkan pikirannya, yang sudah mempelajari materi-materi sebagai persiapan ujian akhir semester. Omong-omong, Devira sudah bisa berjalan dengan normal. Meskipun masih cukup kaku.

"Udah lama banget gak ke sini," kata Devira pada dirinya sendiri, "ternyata masih sama," sambungnya sambil meneliti setiap sudut yang ada di taman itu.

Netra Devira menangkap ada seorang pria paruh baya sedang terduduk di samping gerobak dagangannya berada saat ini. Dengan rasa penasaran dan kemanusiaan yang tinggi, Devira akhirnya memutuskan untuk menghampiri pedagang itu. Jarak semakin dekat, membuat tulisan yang ada di gerobak semakin terpotret dengan jelas oleh indra pengelihatan Devira. Ternyata bapak itu menjual telur gulung. Karena sudah lama tidak memakan jajanan legendaris tersebut, Devira berinisiatif untuk membelinya untuk dibawa pulang ke rumah.

"Pak ... masih ada?" Senyuman terbit di bibir sang pedagang. Pergerakan tangannya yang sedari tadi sedang mengipasi diri sendiri, kini terhenti. Tubuh renta langsung bangkit, kemudian mempersilahkan Devira untuk duduk di kursinya.

"Masih, Mba. Mau berapa?"

"10 tusuk aja, Pak," balas Devira dengan sangat ramah.

"Siap, Mba!"

Pukul 02.00 Wib.

Devina menggulingkan badannya ke samping kiri dan kanan, tiba-tiba  saja memimpikan Davina, Aldo juga Azka. Di dalam mimpi itu terlihat ketiga saudaranya mengenakan baju berwarna putih dan terilhat sedang melambaikan tangan ke arah Devina, tak lupa senyuman manis menghiasi wajah mereka bertiga, seraya berjalan menjauh.

"Kalian mau ke mana? Jangan tinggalin Devi sendirian." Bayangan ketiga orang yang disayanginya pergi diiringi teriakan dan juga keringat yang menetes di dahi Devina.

Mimpi macam apa itu, Devi?! Kamu harus berpikir positif, Bang Azka pasti baik-baik aja, kata Devina dalam hatinya.

Keringat dingin mulai bercucuran di dahi. Devina mengusap wajahnya kasar. Dengan napas yang terengah-engah, gadis itu menyibak selimut yang ia kenakan dan menghidupkan lampu kamar menggunakan ponsel. Pikiran dan perasaannya tidak enak. Gadis dengan rambut yang berantakan itu bangkit dari kasurnya untuk mengambil air minum di dapur, mungkin saja pikiran Devina akan sedikit lebih tenang setelah meneguk segelas air dingin.

Devina menuruni anak tangga dengan sangat lambat, pikirannya masih berkelana di dalam sebuah penggalan mimpi tadi. Sesampainya di dapur dia baru ingat jika memiliki yoghurt, alhasil ia menyantap susu fermentasi itu untuk sarapan yang terlalu cepat ini. But, not bad. Devina cukup menyukai menyantap produk fermentasi itu disuhu yang amat rendah sekalipun, seperti pagi ini.

Devina mengeluarkan gelas kecil untuk menuangkan yoghurtnya. Namun, entah dari mana datangnya cicak di kakinya, membuat ia terkejut dan tidak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang dipegang.

'Prak' suara pecahan gelas terdengar sangat nyaring. Devina memejamkan matanya untuk meredam segala sesuatu yang bergejolak di hatinya, antara marah, kesal, dan juga sedih menjadi satu. Dan ketiga hal itu menjadi sangat susah untuk dideskripsikan. Devina memutuskan untuk mengambil sapu dan juga pengki untuk membersihkan segala kekacauan yang sudah ia buat di pagi buta hari ini.

Tiba-tiba saja telepon rumah kediaman Brahmantyo berderimg dengan hebatnya. Devina yang tengah membersihkan serpihan-serpihan gelas, dengan segera berlarian menuju ke sumber suara. Devina cukup bingung, pasalnya sekarang adalah pukul dua pagi dan telepon rumah ini sudah sangat jarang digunakan karena nomornya yang sangat jarang diketahui oleh orang banyak.

"Halo, dengan kediaman Brahmantyo di sini."

Devina diam dan tampak menelaah maksud dan tujuan si penelpon yang sedang berbicara di seberang sana.
Devina meneliti angka yang ada di monitor kecil telepon itu. Nomornya tidak asing.

"Apa!? Sekarang di mana?" Devina sangat terkejut ketika si penelepon mengatakan bahwa Azka mengalami kecelakaan. Ah, pantas saja Devina tidak asing dengan nomor tersebut. Ternyata itu adalah nomor telepon Azka.

"Baik, Pak, terima kasih. Saya akan segera ke sana, sekarang." Di seberang sana terdengar larangan untuk Devina agar tidak pergi ke rumah sakit karena masih dini hari dan hal itu sangat kurang memungkinkan. Si penelpon takut, terjadi apa-apa pada Devina dan membuat ia bernasib sama seperti Azka. Namun, Devira tetap bersikeras ingin pergi ke rumah sakit. Dia ingin menjumpai Azka saat itu juga.

Jika diperhatikan, kondisi Azka cukup mengenaskan. Luka-luka kecil menghiasi kulit wajah dan juga tangannya. Jangan lupakan kaki yang sudah dibalut dengan perban yang cukup besar, karena sepertinya mempunyai luka yang cukup dalam di sana. Lebam-lebam juga melengkapi kulit tangannya. Melihat hal itu, Devira merasakan ngilu yang luar biasa di tubuhnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Azka bisa membuat banyak sekali bekas luka dalam waktu sepersekian detik itu.

Dengan sisa-sisa air matanya, Devina berusaha untuk menghubungi kedua orang tuanya. Namun, tidak ada satupun tanda-tanda kalau mereka akan segera menjawab sambungan telepon Devina. Devina terduduk lemas di koridor ruangan ICU, tempat Azka berada saat ini. Gadis itu hanya berharap Azka lekas sadar dan juga pulih seperti sediakala, saat dia pergi dari rumah.

"Kenapa Abang pergi tanpa kabar dan sekarang malah kembali dengan kondisi mengenaskan? Abang tahu? Devi khawatir banget sama Abang ...." Devina mengepalkan tangannya untuk menyalurkan rasa sesak yang memenuhi relung hati.

"Abang bertahan, ya ... Devi yakin kalau Abang itu kuat. Jangan tinggalin Devi, Bang," lirih Devina sembari menatap nanar tubuh Azka dari luar ruangan yang dibatasi dengan kaca tebal.

"Ini diminum dulu, Dek." Seorang wanita paruh baya itu memberikan Devina segelas teh hangat untuk menjaga suhu tubuh. Wanita itu adalah istri dari seorang yang sudah membantu mambawa Azka pergi ke rumah sakit ini. Bu Asih, namanya.

"Terima kasih, Bu." Devina menerima pemberian Ibu Asih tersebut untuk menghargainya.

"Kamu pasti shock banget. Dulu Ibu juga begitu saat Kakak ibu kecelakaan. Kamu yang tabah, ya. Kakakmu pasti sembuh," kata Bu Asih sembari mengelus kepala Devina dengan lembut.

"T—tapi bagaimana kalau, Bang Azka gak—"

"Psttt. Kamu gak boleh berpikir seperti itu, Nak. Kamu harus pegang prinsip ini, jangan pernah berpikiran nagatif terlebih dulu, karena kita tidak akan pernah tahu apa rencana Tuhan beberapa detik, menit, jam atau bahkan tahun yang akan datang." Ibu Asih memeluk Devina untuk menyalurkan kekuatan pada gadis itu.

"Terima kasih banyak, Bu. Devi gak tau lagi mau bilang apa, yang jelas terima kasih karena sudah berbaik hati menolong Abang saya."

()

To be continued~

Holla gaizzz.
Apa kabar, nih? Maaf banget baru bisa update hari ini, karena kemaren kondisiku sangat gak memungkinkan untuk nulis. Kalian jangan lupa jaga kesehatan, yaaa.

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, follow akun ini atau instagram-ku, dan share cerita Davina juga Devira kepada teman kalian.

Terima kasih karena telah membaca karyaku :)

Palembang, 22 Agustus 2021.
With <3, Anin.


Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang