Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.Kanaya sedang menikmati sore harinya dengan membereskan rak buku yang sudah sangat berdebu. Kanaya juga sedang mengingat, kapan terakhir kali dia membersihkan rak itu? Ah, sepertinya sudah sangat lama sekali.
Beberapa tumpukan buku-buku nonfiksi sudah berada di lantai dan Kanaya sedang menyedot debu yang menempel pada rak kayu tersebut. Rambutnya yang berwarna hitam legam, dijadikan satu dengan ikat rambut berwarna ungu. Dia terlihat begitu manis sekarang. Oh tidak, Kanaya memang selalu terlihat manis.
Kanaya dengan cekatan menyusun dan merapikan buku-buku miliknya. Tapi, tanpa disengaja dia menyenggol sebuah album tebal berukuran sedang dan membuat benda itu terjatuh. Di bagian cover, terdapat foto dirinya, Davina, dan Ferro yang tercetak dalam bentuk polaroid.
Gerakan Kanaya terhenti. Dia terdiam sambil menatap rindu album tersebut. Sungguh dia merindukan Davina dan Ferro saat ini. Rasa rindu itu semakin mencuat ketika melihat gambar yang terpampang nyata di depan kepalanya. Tak terasa, setetes air mata mulai turun membasahi pipinya.
“Sumpah gue kangen banget sama lo berdua.” Kanaya mengambil album itu dan mulai mendaratkan benda itu di pangkuan. Dia mulai membuka lembar demi lembar kenangan lama yang tersimpan rapi dalam album tersebut.
“Apakah boleh gue rindu sama lo, Vin?” Kanaya memperhatikan setiap inci dari foto yang tertempel di sana. Diri Kanaya merasakan sesak di dadanya. Sosok sahabat yang tegar seperti Davina, begitu cepat meninggalkannya.
“Maafkan gue karena gak bisa lindungin lo dari serangan orang-orang jahat, Vin ... gue merasa bersalah karena gue gak pernah becus jagain lo, Vin. Lo bahagia di sana, ya? Gue sama Kak Ferro pasti bakalan terus ngirimin lo doa, Vin.”
Kanaya tersenyum miris saat mengingat kejadian yang sadis yang menimpa Davina. Rentetan peristiwa demi peristiwa buruk menghantui hidup sahabatnya. Tapi, dia menutupi semua itu dengan sangat rapi. Bahkan, dirinya saja tidak tahu sakit apa saja yang diderita oleh Davina semasa dia hidup.
Dering telepon memecahkan semua lamunan Kanaya. Dia segera menaruh benda penuh akan kenangan yang ada di genggamannya kembali ke tempat awal. Kanaya buru-buru menghampiri nakas— tempat di mana ponselnya berada. Dia melihat nama Ferro terpampang jelas di sana. Ferro sepertinya sedang tidak terlalu sibuk hari ini. Kanaya menghapus air matanya yang sempat menetes tadi kemudian menggeser ikon telepon ke lingkaran berwarna hijau.
“Hallo, Kana?”
“Iya, Kak ....”
“Kenapa? Kok suara kamu sedih gitu? Kangen sama Kakak, ya?”
“Hah? Kakak belajar kalimat gituan dari mana? Kok lama di luar kota, nambah narsis, sih?” gerutu Kanaya dan langsung mendudukan dirinya di atas karpet bulu.
“Padahal kamu lagi nangis di kamar sambil mikirin Kakak, kan?” Dari kejauhan Ferro terdengar sedang terkekeh geli.
“Kak, jujur sama Kana! Kakak masih sehat, kan? Kok makin tua makin narsis, Ya Allah,” keluh Kanaya.
“Sembarangan aja kamu kalo ngomong. Tua-tua gini kamu dulu juga pernah naksir, kan?”
Kanaya ingin sekali mengutuk Ferro yang sekarang pasti sedang tertawa karena sudah menggodanya. Untung saja pria itu sedang tidak ada di dekat Kanaya. Kalau ada, sudah dapat dipastikan bahwa Kanaya akan menghabisinya dengan pukulan maut yang sudah lama tidak ia publikasikan. Sungguh sadis Kanaya ini.
“Sumpah demi apapun, Kakak tau dari mana kalau aku pernah suka sama, Kakak? Ya ampun malu banget hamba-Mu ini, Ya Allah ....” Kanaya sangat gemas dengan sikap Ferro yang sudah lama tidak muncul ini. Yang kalian tahu hanyalah sikap Ferro yang cool parah. Tapi, nyatanya Ferro itu adalah spesies manusia yang memiliki tingkat kenarsisan yang mampu melewati batas rata-rata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Devira [Selesai]
Teen FictionSequel of Davina. -Sangat disarankan untuk membaca cerita Davina lebih dahulu .... Davina. Satu nama yang tidak akan kulupa. Orang baik yang pernah kumiliki. Tanpa sadar aku merindukannya. Kuingin berjumpa dengannya. Walaupun harus mempertaruhkan ma...