Awan yang menggantung di atas tampak kelabu dan pekat. Sama sekali tidak ada warna ataupun matahari, semuanya keliatan suram. Di depan laut yang membentang luas itu, Veronica berdiri bersama ketiga orang baru di dalam hidupnya. Memeluk pasu—sebuah guci Onyx tempat menyimpan abu jenazah yang telah dikremasi.
Veronica tidak menangis. Air matanya seperti telah habis di mini market satu minggu yang lalu. Yang sering menangis justru Wildan—berkali-kali laki-laki itu harus ditenangkan Elena sampai akhirnya siap untuk menyebar abu kremasi sang sahabat di laut.
Bali, Uluwatu, hari itu tidak secerah biasanya. Tidak banyak orang di pantai, untuk sekedar berjemur atau surfing. Kenapa harus Bali? Karena Bali adalah tempat kesukaan Raka. Tempat cowok itu pulang sebelum menemukan rumahnya. Tempat cowok itu menghilangkan penat, menyambung asa, tempat cowok itu menemukan alasan-alasan kecil untuk terus menjalankan hidup.
Pada pasar seni di Denpasar, pada makanan laut yang enak-enak di Jimbaran, pada laut-laut tempatnya berselancar di Nusa Penida dan Uluwatu, juga pada Buleleng yang belum sempat ia kunjungi lagi. Pada mimpi cowok itu untuk tinggal bersama keluarga kecilnya di Buleleng, nanti.
Semua tau betul selain Veronica, Bali adalah rumah kedua cowok itu. Milan, kota kelahirannya di Italia bahkan hanya beberapa bulan sekali dikunjungi, tapi Raka selalu menyempatkan pergi ke Bali dalam satu bulan minimal sekali.
Untuk sekedar surfing, menyatu dengan alam, dan merasakan dihantam ombak besar dan tenggelam. Semua kegiatan itu membuat Raka merasa lebih hidup.
Karenanya, Veronica memilih Uluwatu untuk tempat peristirahatan lelaki tersebut. Tutup pasu itu ia buka, Veronica mengambil segenggam abu ke tangannya, menyebarkan debu-debu kecil itu ke atas laut Uluwatu.
Tidak ada air mata, tidak ada kata-kata perpisahan. Veronica telah mengucapkan semua itu di hari sebelumnya.
Elena merangkul bahu perempuan itu, mengusapnya pelan sambil menahan isak tangis. Ia mungkin baru mengenal Raka, tapi Elena tau Raka adalah salah satu dari sedikit orang tulus yang pernah ada.
Elena ikut merasa sesak, apalagi mengingat kondisi Veronica sekarang yang sedang hamil. Cewek itu ingin menangis kencang, tapi malu karena Veronica sendiri terlihat lebih kuat.
"Ve, it's okay to not be okay."
Veronica justru tersenyum kecil. "I'm fine."
Bersama setiap helai abu yang terbang dari tangannya, Veronica berharap rasa sakit itu bakal ikut pergi. Tapi nyatanya ia salah besar. Veronica bisa mengingat semua dengan jelas, seperti putaran film lama di dalam kepalanya.
Raka datang ke hidupnya, seperti malaikat yang dikirim Tuhan. Tujuannya sederhana, membuat Veronica percaya bahwa ia juga bisa dicintai. Dari banyak sisi buruknya yang belum tentu diterima orang, Raka menerima semua itu tanpa syarat apa pun. Bahkan pria itu tidak pernah menuntut Veronica untuk membalas perasaannya. Veronica bahkan tidak sempat juga untuk mengatakan mencintai pria itu seperti yang sering diucapkan Raka kepadanya.
Bersama titik terakhir sosok Raka yang terbawa angin, Veronica mengusap pipinya yang ternyata sedikit basah, lalu menoleh pada Jero yang mengangguk kecil.
Bersama itu, Raka tidak lagi ada di dalam hidupnya. Malaikatnya telah pergi duluan ke sisi Pencipta-Nya.
***
Hei Veronica,
I write this while i'm thinking of you, always. My Veronica Abbygail, do you remember the first time we met?
I though it was kinda funny 'cause you look grumpy all the time. You always find the reason to mad at me, idk why.
It was cute, i think.
