抖阴社区

7

249 44 0
                                    

Tolong vote dulu ya bestie, terima kasih ( ◜‿◝ )♡


ˏˋ°•⁀➷

Pacaran ya? Bagi Riki itu cuma membuang waktu, ia tidak bisa leluasa dengan kegiatan yang seharusnya berjalan sesuai algoritma. Namun, ia menelan ludahnya sendiri, untuk sekarang ia merasa senang memiliki hubungan dengan Karen. Apa mereka memang resmi berpacaran? Entahlah, Riki juga tidak tahu. Ia hanya sedang mencoba membalas perlakuan Karen padanya.

Sabtu kemarin Riki mengajak Karen pergi ke museum, mengenal sejarah pada masa penjajahan. Sialnya, Karen malah mengatakan kalau Jepang masih menjajah Indonesia sampai saat ini. Lewat Riki, Karen merasa hatinya di jajah tanpa syarat. Cowok itu menggeleng sembari tertawa kaku, ada-ada saja perumpamaan jaman sekarang.

Riki sendiri bukan cowok kuno yang tak paham bahasa-bahasa gaul yang beredar. Dalam keluarga besarnya, mereka mengajarkan Riki bagaimana cara bertutur yang baik dan benar. Salah-salah bertutur, kakek Riki bisa memberikan hukuman. Makanya sejak mengenal peraturan yang ada dalam keluarga, Riki lebih senang membungkam suara dan menikmati setiap bahasa yang diperdengarkan oleh keluarganya.

Beruntung Riki bertemu Sachio dan Juwana, mereka yang mengenalkan Riki pada budaya-budaya anak muda. Tentu mereka tahu mana yang harus dipilih untuk diterapkan dalam kehidupan. Kehidupan anak muda tidak melulu soal foya-foya membuang uang, ya memang sih sebagian dari remaja jaman sekarang banyak melakukan hal tersebut. Namun, Riki bukan termasuk golongan mereka yang membuang uang demi kesenangan sesaat.

"Riki, gimana belajarnya?" Tanya Judith yang satu ruang dengannya. Penilaian tengah semester di depan mata, sebisa mungkin Riki mempelajari ulang materi yang sempat ia dapatkan. Bukan untuk mengejar nilai besar, tapi Riki juga mau menerapkan ilmu-ilmu yang ia dapat dalam kehidupan sehari-hari. Sayang-sayang bila materi yang diajarkan guru hanya lewat sekelebat dalam kepala.

"Kaya biasa. Belum ambil bimbel," Balas Riki. Judith mengangguk-anggukan kepala. Keduanya sudah kenal satu sama lain sejak kelas delapan sekolah menengah pertama, jadi Judith cukup tahu bagaimana versi Riki merespon pertanyaan. Semenjak ada kabar Riki dan Karen jadian, Judith menjaga jarak dengan Riki bahkan teman-teman cowok tersebut.

Judith melanjutkan langkahnya lagi, ia duduk dibarisan tengah bersama adik kelas perempuan. Semula Judith merasa takut dengan perawakan adik kelasnya, kalau Nana yang duduk di sini pastilah ia lapor minta ganti tempat duduk.

"Karen di sini juga?" Kedua bola mata Judith terbuka sempurna. Ia senang menemukan teman satu kelasnya, begitu Karen celingukan mencari mejanya, Judith langsung menghampiri. Ia sigap membantu Karen menemukan meja yang nomornya tertera di kartu peserta milik Karen.

"Wuihh ini sih di sampingnya Riki! Eh ngga semeja tapi ya Ren, jangan sedih." Judith cemberut. Ia melihat kertas berisi nomor di atas meja seberang Riki, harusnya mereka satu meja! Judith jadi gemas sendiri. Semoga Judith bisa melihat interaksi Riki-Karen selama delapan hari ke depan.

Karen tersenyum, ia menaruh tasnya di atas meja. Melirik Riki yang ada di seberang. Ini akan menjadi momen berharga dalam hidup Karen, senyuman manis menghias wajah, sama lebarnya dengan senyuman Kiara kala bertemu dengan Setara. Mereka akan menjadi satu spesies bulol.

Riki melepas pandangan dari buku catatan, Karen hanya berjarak kisaran satu meter dari tempat duduknya. Riki akui lagi, senyum Karen manisnya bukan main. Kondisi hati dalam menyikapi setiap tindak Karen tidak selalu sama. Ada goncangan kecil dalam benak Riki, dari pada otot wajahnya kaku, pemuda itu memilih menyunggingkan senyum---membalas sapaan hangat Karen.





Karen dan Judith berencana pergi ke kantin bersama. Soal yang muncul cukup bisa Karen tangani, pasalnya Karen sudah mencermati semua materi menggunakan metodenya sendiri. Untuk mata pelajaran umum, Karen percaya diri memperoleh nilai bagus. Beda halnya dengan mata pelajaran Matematika dan Ekonomi, Karen merasa mau menyerah saja sebelum kedua mata pelajaran itu diujikan.

"Mau ke toilet dulu, Jiu duluan aja. Ntar gue nyusul!"

"Gue bisa nungguin lu kok, Ren!" Sahut Judith setengah berteriak, Karen buru-buru berlari, terdengar suara gaduh dari beberapa siswi yang mempersalahkan kelakuan Karen. Nyatanya mereka cuma membesar-besarkan masalah, Judith bisa lihat temannya itu hanya menyenggol ringan bahu salah satu dari mereka. Karen pun telah melontarkan permintaan maaf dua kali, tapi mereka seperti enggan menerima permintaan maaf si perempuan.

"Drama ewh...." Judith merotasikan kedua bola mata begitu melintasi mereka. Tidak ada kata takut dalam kamus hidup Judith, pengecualian takut Tuhan dan binatang buas di hutan.

Judith menunggu Karen di depan toilet sembari memainkan ponsel, ia melihat postingan beberapa teman satu ekstrakurikulernya. Tak begitu lama Judith menunggu, Karen keluar dengan rok yang sedikit basah karena cipratan air.

"Kenapa?" Judith penasaran, biasanya Karen tidak akan bermain air sampai rok abu-abunya menjadi basah. Di tambah besok seragamnya masih dipakai.

"Ngga apa-apa, tadi salah pencet shower." Karen mengalihkan pandangan, ia bohong soal itu. Barusan tiga anak cheers melabrak dirinya. Nasib sial ini Karen terima secara rela, ini baru awal, pasti selanjutnya akan ada banyak cobaan untuk hidupnya yang sekarang di kabarkan memiliki hubungan tersembunyi bersama Riki.

"Lu ngga mau ganti rok? Itu basah banget, ntar dikira ngompol." Judith menarik pergelangan tangan Karen lebih kuat, menahannya untuk melangkah lebih jauh. Kalau Karen keras kepala, maka Judith akan menjadi lebih keras, tidak ada yang boleh menentang kemauannya.

Judith menelepon Kiara, cuma perempuan itu yang tahu sandi loker milik Karen. Setelah berdebat, menghabiskan waktu selama tiga menit, Judith menghela napas. Ada pertengkaran kecil antara Judith dan Kiara. Karen malah ikut-ikutan mengompori keduanya.

"Lu prik banget sumpah. Harusnya pas ada yang mau nolong, mau ngulurin tangan buat lu, lu terima lah. Hidup manusia ngga mungkin sendiri-sendiri. Manusia itu makhluk sosial," Ceramah Judith, nada suaranya terdengar nyaring. Karen bersandar di tembok menekuk wajah masam. Rasa haus menggerogoti tenggorokan, makanya barusan Judith mengatur Kiara dan Nana untuk membelikan jajan dan minum sekalian mengantar rok cadangan untuk Karen.

"Aduh! Mau pulang!" Emosi Karen. Ia malah terlihat menggemaskan di mata kakak kelas laki-laki yang melewati toilet. Judith hampir membawa Karen duduk di kursi tunggu, siapa yang suasana hatinya baik-baik saja setelah mendapat peristiwa tak menyenangkan? Kecerdasan emosinya mungkin dipertanyakan.

"Iya sabar, nanti pulang sama ayang lu, sekarang masih ada ujian."

Karen cuma bisa pasrah. Pagi tadi ia senang bukan kepalang, sekarang justru bersinggungan dengan perasaan berbunganya. Kalau hari ini tidak ada penilaian tengah semester, Karen sudah minta di antar pulang atau menghuni ruangan usaha kesehatan sekolah sembari menyeruput secangkir teh hangat yang di buat anak PMR.


ˏˋ°•⁀➷

Deliberate ; Ni-kiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang