Masalah dan kesulitan seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya, sebuah beban yang harus dipikul tanpa suara, meski sering kali tak terlihat oleh yang lain.
Sebagai anak pertama, ia merasa bertanggung jawab atas segalanya, mengutamakan ke...
Mentari pagi yang cerah menyambut insan demi insan yang masih berada di alam mimpinya masing-masing.
Jam didinding masih menunjukan pukul lima pagi namun Mahendra tampak sudah berpenampilan rapih dengan seragam sekolahnya.
Takut, itulah yang saat ini Mahendra rasakan. Takut dengan hal-hal buruk yang belum tentu akan terjadi sungguh menyiksa pikiran dan batin.
Mahendra tak bisa membayangkan bahwa hari ini ayahnya benar-benar akan pergi ke sekolahnya dengan alasan untuk menyelesaikan soal perundungan. Sedangkan sang ibu menolak ikut karena dia tengah memiliki sedikit masalah pada butiknya yang harus segera diselesaikan.
Jika sekali dua kali Jaffas juga tak terlalu mempermasalahkannya. Namun, ini berkali-kali. Sebagai orang tua, Jaffas dan Airin juga tak mau melihat putranya terluka fisik, karena hal itu bisa saja dapat merusak mental Mahendra.
Disisi lain Airin juga sempat merasa bersalah karena tak bisa ikut bersama suaminya. Namun, mau bagaimana lagi. Saat ini lebih penting untuk mengurus masalahnya terlebih dahulu.
Pikiran Mahendra sangat kalut sekarang, ditambah lagi hatinya yang merasa cemas tak karuan. Ia takut orang tuanya akan berubah lagi, sungguh.
"Tenang aja, semuanya bakalbaik-baik aja..."Gumamnya dalam hati lalu menampilkan senyuman dan memperbaiki kerah seragam dengan tangannya.
Sebisa mungkin Mahendra menyemangati dirinya sendiri. Toh, jika bukan dia sendiri siapa lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi ini keramaian terjadi begitu saja disekolah Sma Budaya school yang tak antara lain disebabkan oleh seorang pria paruh baya karena dia baru saja memberikan tamparan pada salah seorang siswa.
Diluar ruang kelas yang dikelilingi banyaknya siswa dan siswi kelas dua belas, Jaffas benar-benar tak bisa mengontrol emosinya sendiri. Tak peduli banyak guru yang melihat amarahnya. Toh, guru pun tak ada yang berani mengentikan aksinya itu.
"Apa yang udah kamu lakuin?!" Tanya Jaffas pada seorang siswa yang berada dihadapannya.
Baru saja beberapa menit yang lalu Jaffas melihat cctv dilingkungan sekolahan, dan hal itu langsung saja berhasil membuat amarahnya berada di ujung tanduk. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat putra sulungnya diperlakukan bak hewan.
Reyhan, pria itu hanya bisa diam tak berkutik. Entahlah, pikirannya begitu kalut hingga ia merasa masih berada di dalam alam bawah sadar.
"Tanya soal Rea pada anak anda," Ucap Reyhan lirih dengan pandangan kosong. Hatinya berdenyut sakit mengingat bahwa hari ini adalah hari tepat dimana ia kehilangan wanita yang dicintainya.
Mahendra hanya bisa bungkam diiringi perasaan cemas yang menguasai hatinya.
Haikal yang berada disisi pria itu menepuk pelan pundak Mahendra lalu mengelusnya. Seolah-olah dia tahu kecemasan apa yang tengah dirasakan sahabatnya.