"Sandi! cepat buka pintunya!"
"Woy!"
Tidur Sandi terusik ketika mendengar suara gaduh dari luar rumah. Dengan sempoyongan, ia berjalan ke luar kamar, untuk membuka pintu rumah.
Raut wajah Sandi langsung datar, saat tahu siapa yang datang.
Seorang pria berambut hitam legam, panjang sebahu yang dikucir ke belakang. Tato bergambar naga, terukir di kedua lengan kekar. Tampak seperti preman.
"Widih, baru bangun Tuan Muda!" Si pria menatap Sandi dengan seutas senyuman miring.
Tanpa disuruh, ia masuk ke dalam rumah. Duduk di kursi kayu, yang ada di pojok ruang tamu sambil mengeluarkan rokok dari saku celana.
"Mana uangnya? Gua kemarin kalah main." Ia menyalakan rokok lalu menengadahkan tangan pada Sandi. Namun sang lawan bicara tidak bergeming sedikit pun.
Judi dan mabuk sudah menjadi kebiasan Ayah Sandi sejak dulu. Entah kenapa Ibu yang berhati malaikat, bisa menikah dengan pria ini. Bahkan mereka pribadi yang sangat berbeda jauh. Bagaikan langit dan bumi.
Sandi masih menatap datar tanpa ekspresi. "Apa pantas, seorang Ayah ngomong kayak gitu sama anaknya sendiri?"
"Apa sih, kunyuk. Malah ceramah," gumam Ayah sambil memijit pelepis yang tetiba saja terasa pening. Niat pulang untuk meminta uang. Tetapi malah dapat ceramah. Sungguh menyebalkan.
"Aku ini anak Ayah. Seharusnya bahasa Ayah bisa sopan!" Sandi kembali bersuara, tampak kesal karna bahasa Ayah yang menurut ia kasar, jika berbicara dengan seorang anak.
Ayah mana, yang berbicara bersama anaknya menggunakan longat 'lu-gua' jika bukan pria itu?
"Heh, sttt ... cepet mana uangnya, ah elah. Malah ceramah lu. Gua nggak bisa lama-lama di sini!" tegas si pria mulai jengah.
Dia bernama Bram, seorang penganguran, pemabuk dan penjudi. Disengani seluruh warga karna kelakuan macam preman.
Jika bukan karna mediang sang ibu yang mencarikan wanita, mana mungkin Bram mendapatkan seorang istri. Sebaik dan setulus Fatma.
Wanita yang menjadi istrinya itu, sekarang tengah mengalami sakit struk. Sejak peninggalan sang putri kecil. Tetapi apa Bram peduli? Tentu saja tidak.
Bagi Bram, wanita hanya mainan. Ia tidak butuh pasangan. Yang penting uang, main judi, serta mabuk lancar, sudah cukup membuat hidup kelam Bram bahagia.
"Aku lagi nggak punya uang. Mendingan sekarang Ayah pergi. Kasihan Ibu masih tidur," ujar Sandi mengusir.
Namun, Bram tidak percaya begitu saja. Ia mendelik menatap penuh selidik.
"Dosa bohong sama orang tua," celetuk Bram enteng, yang malah membuat Sandi semakin geram.
"Ayah lebih berdosa, karna nggak mau kasih nafkah aku sama Ibu!" sahut Sandi ketus.
Tiba-tiba Bram berdiri kemudian berjalan ke kamar Sandi, membuat pemuda itu langsung menghalanginya.
Sandi merentangkan kedua tangan, menghalangi jalan Bram yang sudah di abang pintu kamar. "Ayah mau apa? Aku udah bilang, hari ini nggak punya uang. Mendingan Ayah pergi!"
Bram berdecak lidah, lalu mendorong si anak menyungkir. Tangan beruratnya mengobrak- abrik isi lemari pakaian milik Sandi. Dia terseyum miring, kala menemukan satu amplop coklat berisi uang ratusan ribu.
"Balikin! Itu uang buat berobat Ibu!" pekik Sandi, mencoba mengambil amplop tersebut dari tangan Ayah.
Bram berdecak sinis seraya menepis tangan Sandi kasar. "Halah, sok-sok'an mau berobat segala. Kalau udah cacat, ya terima aja!"
Sandi tidak tinggal diam, tetap berusaha memukul kepala sang ayah dari belakang.
Jika Bram bisa berbuat seenaknya, dia juga harus melawan.
Bram melotot marah. "Berani lu sama gua?"
Bram mengeram kesal, setelah menghajar anaknya. Tiga pukulan tepat mengenai rahang, perut, juga dada Sandi. Sampai ia terkapar mengenaskan di lantai, sembari memegangi perut yang terasa nyeri.
Bram malah tertawa mengejek, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. "Huh, makanya, nggak usah belagu lu. Baru segitu aja udah tepar!"
"Huh, lemah!" Bram menendang perut Sandi main-main, kemudian melengang pergi ke luar rumah sambil bersiul kecil.
Sandi meringis, susah payah berusaha berdiri tegak meski bagian dada masih terasa sesak. Ia berjalan masuk ke kamar Ibu yang masih tertidur lelap.
Sudut mata berair, menatap penuh rasa iba dari kejauhan.
"Maafin aku, Buk. Aku belum bisa diandalkan. Tapi aku janji, suatu saat bakal ajak Ibu berobat biar cepat sembuh," gumam Sandi dengan suara serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boy
Teen FictionSingkat saja, hanya impian kecil seorang remaja laki-laki yang berusaha merubah hidupnya diabang kehancuran mental. Entah sampai kapan, dia mampu bertahan. "Mau tahu, kenapa gue benci sama lo? Karna muka lo itu menjijikan sialan!" Satu tamparan men...
