抖阴社区

Bab XIX.

34 16 0
                                    

Tidak ada yang tahu berapa lama Arina sudah menyelam di masa lampau. Sekujur tubuhnya melemah di serambi rumah Adji Putih, seperti seorang tamu yang tidak diundang dan terpaksa melayat kematian yang berada di luar dugaan.

Doa-doa dipanjatkan, diiringi oleh isak tangis kesedihan akan kepergian Adji Putih di hadapan keluarganya sendiri, belum lagi cara tragis yang menambah trauma seluruh keluarga.

Satu hal yang dapat Arina simpulkan: kematian Sander memang membawa malapetaka ke dalam kehidupan para ksatria.

Arina bersandar pada pagar di rumah panggung dan membiarkan kakinya beristirahat pada anak tangga. Ia ingin meninggalkan masa lalu secepatnya dan kembali kepada Vikal serta adiknya, tetapi belum, belum selesai perjuangan Arina untuk menemukan kebenaran di balik kutukan Sander dan hilangnya seluruh keluarga Adji Putih. Terlepas dari rasa perih yang dirasakan, Arina tidak ingin menyerah.

Berlarut dalam kesedihan membuat Arina kehilangan seluruh energinya, apalagi jeritan tangis sang ibu yang seakan melumpuhkan seluruh tubuh Arina hingga tak sanggup untuk bergerak. Semakin lama Arina berdiam diri, semakin besar godaan untuk menutup mata. Lantas, Arina berbaik hati kepada dirinya sendiri dan membiarkan kelopak matanya tertutup, dinyanyikan pengantar tidur oleh keluarga yang masih tersengut-sengut.

"Ini bukan salahmu, Sander..." Suara itu menggaung di dalam kepala, tetapi Arina sudah terlanjur merasa kelelahan dan tidak sanggup lagi untuk merespon.

"Ini semua bukan salahmu. Ini salah saya, saya yang terlalu egois dan lebih memilih keangkuhan, daripada persahabatan bersamamu..."

Tidak ada yang tahu asal dari suara tersebut, tetapi Arina dapat mendengar semua kata-katanya dengan jelas, meski alam semesta menjadi gelap gulita.

"Tolong maafkan semua kesalahan saya, dan terima kasih karena telah hadir. Saya akan tetap menjadi temanmu. Tolong maafkan saya."

"Hmmm?" Arina refleks menggelengkan kepala, kemudian memaksa diri untuk membuka mata yang terlanjur berat. Arina melihat langit malam belum berganti, tidak ada ayam yang berkokok, heningnya suasana merupakan waktu yang tepat untuk memejamkan mata. Namun, Arina mendengar suara patahan dan sesuatu yang berderak, sekaligus sensasi hangat meraba punggung.

Perlahan Arina menoleh ke belakang dan melihat kobaran api telah menjalar di dalam rumah. Sontak Arina berdiri dan tergagap-gagap, terutama saat menemukan seluruh anggota keluarga Adji Putih masih berada di dalam sana, tidak berkutik sama sekali, bahkan beberapa dari mereka masih ada yang menangis sembari memeluk jasad Adji Putih.

"Kenapa kalian nggak keluar?! Semuanya keluar dari si—" Napasnya tercekat ketika kepalanya memutar suatu adegan.

Arina nekat memasuki rumah sambil menutup hidungnya dengan lengan, kemudian melangkah sejauh mungkin yang ia bisa. Meskipun hanya ada kemungkinan kecil bahwa Arina bisa mati di masa lalu, panasnya si jago merah tetap dapat dirasakan secara sempurna pada kulit si nona. Ia pun berlari sekuat tenaga menuju ke arah sebuah pintu di salah satu sisi ruangan—pintu yang pernah ditunjuk oleh Aldo sebagai sumber dari munculnya api.

Selagi bisa, Arina membuka pintu ruangan dan melihat sang ayah sedang duduk di atas sebuah tempat tidur yang sudah nyaris dilahap api. Arina ingin berteriak, tetapi sebelum bersuara, mata sang ayahanda seketika bergerak menatap Arina.

Ia tersenyum miris. "Maafkan saya. Lebih baik kami semua mati daripada harus menanggung rasa bersalah yang terlalu besar. Maafkan Adji Putih. Jika bukan karena dia, kamu pasti bisa hidup bahagia bersama Kusumaningrum dan keluarga kecilmu."

Lagi-lagi terlalu banyak tanda tanya bermunculan di dalam kepalanya. Ingin rasanya Arina membombardir tokoh tersebut dengan sejumlah pertanyaan, tetapi sayangnya, sudah terlambat.

"Pak! Nggak gitu!" Seketika Arina berseru dan menerjang kobaran api di kamar tersebut. "Sander yang minta maaf karena telah mengutuk keluarga kalian, Sander yang merasa bersalah karena sudah membuat hidup kalian sengsara. Bapak masih bisa keluar dari sini dan selamatkan keluarga, tolong, pak..." Arina sampai berlutut di hadapan sang kepala keluarga, terlepas dari kesadaran penuh bahwa nyawa keluarga Adji Putih sudah tak tertolong lagi.

"de Graaf, kamu Belanda yang baik. Terima kasih karena sudah menghormati keluarga saya, berteman dengan putra saya, dan membantu kami semua."

Kobaran api semakin membesar, Arina sudah tidak sanggup lagi bernapas di dalam sana. Cepat-cepat Arina mundur dan keluar dari dalam ruangan, hanya untuk menemukan seluruh keluarga Adji Putih—bahkan pengawal keluarga—tergeletak tak berdaya di lantai, sang ibu memeluk Adji Putih dengan erat, napasnya sesak, kemungkinan tidak ada niatan untuk melarikan diri dari sana. Sekitar lima belas orang meninggal di satu tempat yang sama dan tidak ada seorang pun yang berkomitmen untuk hidup.

Arina tergopoh-gopoh keluar dari rumah itu. "Uhukk! Uhukk!" Oksigen dihirup sebanyak-banyaknya, "Vikal! Vikal! VIKAL!" Arina berteriak sekuat kemampuan paru-paru. Seketika saja seluruh pandangannya buram dan menjadi gelap, kemudian ia merasakan dirinya terkapar pada sebuah permukaan yang keras dan tangan seseorang yang menutupi visinya.

"Iya, saya di sini. Udah, kamu nggak apa-apa. Kamu selamat." Suara Vikal merupakan bukti bahwa dirinya berhasil meninggalkan masa lalu.

Arina masih harus mengatur napas, tanpa disadari juga terdapat bekas air mata yang mengering di pipinya.

"Itu perjalanan masa lalu terlama, bahkan lebih lama dari Abimanyu." Vikal tampak khawatir. "Kenapa? Apa yang kamu lihat?"

Tidak langsung menjawab, Arina menenangkan pikiran terlebih dahulu sambil memijat-mijat pelipis. Baru disadari, bukan hanya tiga orang yang berada di sana, melainkan terdapat dua orang setengah baya lain yang sedang mengerumuni arina. Mereka berada di serambi rumah utama, tepat di mana Arina sempat tertidur di masa lalu. Arina pun menoleh ke dalam rumah, kemudian menunjuknya dengan tangan kanan yang bergetar. "Mereka semua mati di situ, semuanya. Mati karena bunuh diri karena membakar diri."

Terdiam. Mereka semua memandang ke dalam rumah dengan napas yang tertahan.

"It's okay! Kamu nggak harus ceritain semuanya. Kita bicara lagi nanti. I'm glad you're back!"

Arina mengusap wajah, kemudian bangkit. "Ini siapa, Vik?" Tanya Arina saat melihat sepasang kakek dan nenek dengan setelan pakaian sederhana yang sedang menatapnya dengan keheranan.

"Penjaga kampung sini, sekaligus yang mengurus makam keluarga Adji Putih di belakang rumah ini. Tadinya kita udah mau diusir, tapi ternyata mereka tahu permasalahan keluarga Adji Putih."

Mengetahui hal tersebut, Arina langsung menundukkan kepala untuk memberikan hormat. "Pak, bu."

"K-kamu... benar bisa pergi ke masa lalu?" Pertanyaan itu di-iya-kan oleh Arina walaupun sang gadis merasa sedikit skeptis bahwa kedua figur orang tua tersebut dapat membantunya menyelesaikan permasalahan Sander. "J-jadi... apa yang kamu lihat di masa lalu? Apa yang terjadi kepada Adji Putih?"

Bukan hanya mereka yang penasaran, tetapi juga Vikal dan Aldo. Sedikit demi sedikit Arina menggali kembali ingatan yang tersimpan mengenai kematian seluruh keluarga Adji Putih. Tanpa melewatkan satu detail pun, Arina menceritakan semua pengalamannya di masa lalu kepada empat orang yang terdiam menyimak.

"Entah kenapa... saya mikir bahwa kutukan Sander sebetulnya tidak ditujukan kepada ketiga ksatria, melainkan Belanda itu sendiri. Adji Putih berkata seakan-akan dia nggak punya pilihan lain, selain membunuh Sander sesuai dengan perintah Belanda. Kalau nggak gitu, keluarga mereka bisa diperbudak sampai mati." Arina menjelaskan, tetapi tidak ada yang mampu berpendapat, bahkan Vikal pun terdiam dan mencoba untuk tidak gegabah dalam memilih kata-kata.

Arina menghembuskan napas. "Pak, bu," suara Arina halus, "kalau boleh, kami minta izin untuk melayat ke makam, ada teman yang harus kami bantu."


┕━━━━━━━♔━━━━━━━┙

To Be: Rebound ?? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang