Pagi itu, ketika Naira masih sibuk mematut diri di depan cermin, teleponnya berbunyi. Nama Devan terpampang di layar. Naira sedikit terkejut, jarang sekali Devan menelepon di pagi hari. Dengan cepat dia menjawab panggilan itu.
"Halo, Pak Devan," sapanya dengan sopan.
"Halo, Naira. Pagi ini saya mau sarapan di restoran dekat kantor, kamu mau ikut?" Suara Devan terdengar santai, tapi ada sedikit nada yang menunjukkan bahwa ini lebih dari sekadar ajakan biasa.
Naira terdiam sejenak. Sarapan bareng Devan? Ini bukan pertama kalinya, tapi tetap saja rasanya aneh. Namun, dia tidak ingin terlihat menolak tanpa alasan yang jelas.
"Oh, boleh. Saya juga belum sempat sarapan," jawab Naira akhirnya.
"Oke, saya jemput kamu di depan rumah ya. Lima belas menit lagi?"
Naira setuju, lalu segera menyelesaikan persiapannya. Lima belas menit terasa sangat cepat saat dia merasa terburu-buru. Tak lama kemudian, Devan mengirim pesan bahwa dia sudah tiba. Naira pun segera turun, dan di depan rumahnya, mobil Devan sudah menunggu.
"Pagi, Pak Devan," Naira menyapa sambil membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang.
"Pagi, Naira. Kita langsung aja ya," jawab Devan dengan senyum tipis.
Dalam perjalanan, obrolan mereka berjalan santai. Devan membahas tentang pekerjaan dan proyek yang sedang mereka kerjakan. Naira, seperti biasa, mendengarkan dengan seksama, sesekali menanggapi dengan ide-ide dan pendapatnya.
Setibanya di restoran, Devan memesan kopi dan sarapan untuk mereka berdua. Restoran ini memang tidak jauh dari kantor, tapi suasananya cukup nyaman untuk obrolan yang lebih personal.
"Kamu suka tempat ini, kan?" tanya Devan sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
"Iya, tempat ini enak. Makanannya juga," jawab Naira sambil tersenyum.
Obrolan mereka mengalir santai, sampai akhirnya Devan tiba-tiba membahas sesuatu yang lebih serius.
"Naira, bulan depan saya ada dinas luar kota. Saya mau ajak kamu ikut, jadi bagian dari tim. Kamu tertarik?"
Naira hampir tersedak kopinya mendengar tawaran itu. "Dinas luar kota, Pak? Kapan tepatnya?"
"Tanggal 15 sampai 18 minggu depan. Saya rasa ini bakal jadi kesempatan bagus buat kamu untuk ikut serta, menambah pengalaman," Devan menjelaskan dengan nada serius, tapi masih ramah.
Mendengar tanggal yang disebutkan, Naira langsung teringat sesuatu. Itu tepat pada ulang tahun Rafa sekaligus perayaan 15 tahun persahabatan mereka. Naira sudah merencanakan sesuatu yang spesial untuk hari itu, tidak mungkin dia bisa ikut dinas luar kota.
"Oh, itu... Saya rasa saya tidak bisa, Pak. Ada acara keluarga di tanggal itu," jawab Naira sambil tersenyum kecil, mencoba menutupi kebohongannya. Ia tidak ingin Devan tahu alasan sebenarnya.
Devan tampak sedikit kecewa, tapi dia tidak memaksa. "Oh, acara keluarga ya? Saya kira ini kesempatan bagus untuk kamu. Tapi, tentu saja, keluarga prioritas."
"Iya, Pak. Maaf sekali, tapi saya pasti ikut kalau ada kesempatan di lain waktu."
Devan tersenyum sambil menatap Naira dengan penuh pengertian. "Tidak apa-apa. Lain kali kalau ada kesempatan, saya ajak lagi."
Setelah itu, obrolan mereka kembali ke topik ringan. Namun, Naira tidak bisa berhenti berpikir tentang keputusan yang baru saja ia buat. Di satu sisi, tawaran dari Devan sangat menarik. Dinas luar kota dengan kepala divisinya, tentu saja ini bisa jadi pengalaman berharga. Tapi disisi lain, ia tidak bisa membayangkan melewatkan momen spesial dengan Rafa, seseorang yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya selama 15 tahun terakhir.
Sesampainya di kantor, Devan memarkir mobil dan sebelum Naira keluar, Devan sempat berkata, "Terima kasih sudah temani sarapan. Kamu benar-benar pendengar yang baik, Naira. Saya harap suatu hari nanti kamu bisa ikut dinas bareng."
Naira hanya bisa tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah ngajak sarapan."
Hari itu, Naira berusaha menjalani rutinitas kantor seperti biasa. Namun, dalam hatinya ada perasaan tidak nyaman. Ia belum memberitahu Rafa soal tawaran dari Devan, tapi mungkin itu tidak perlu, pikirnya. Toh, dia sudah memutuskan untuk tidak ikut dinas.
Malam harinya, setelah sampai di rumah, Naira membuka Instagram dan melihat story Rafa. Pria itu baru saja memposting gambar tempat wisata di Korea Selatan dengan caption, "Soon?" Naira tersenyum kecil. Rafa benar-benar serius ingin liburan bersama di ulang tahunnya nanti. Satu hal yang Naira syukuri adalah, dia bisa menjaga janji mereka untuk merayakan hari spesial itu bersama-sama.
...............
Satu minggu berlalu, dan tibalah hari yang ditunggu-tunggu, ulang tahun Rafa yang ke-27. Naira sudah merencanakan semuanya dengan matang. Meskipun ia sempat kebingungan antara menerima tawaran dinas luar kota dari Devan atau menjaga janji spesial dengan Rafa, kini ia merasa tenang karena keputusannya. Hari ini adalah momen yang ingin ia nikmati bersama sahabatnya, seperti yang sudah mereka lakukan selama bertahun-tahun.
Naira berdiri di depan pintu apartemen Rafa sambil membawa kue coklat kesukaan mereka berdua, lengkap dengan lilin-lilin kecil di atasnya. Di tangan lainnya, ia menggenggam sebuah kotak kado yang dibungkus rapi dengan kertas biru, warna favorit Rafa. Ia menatap pintu apartemen itu sambil tersenyum kecil, membayangkan reaksi Rafa yang pasti akan kaget.
"Tadi dia bilang lagi di apartemen...," gumam Naira pelan sambil mengetuk pintu tiga kali.
Tak lama, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Rafa yang terlihat kaget. "Ai? Kamu di sini?" tanya Rafa dengan suara yang nyaris tertahan. Wajahnya benar-benar terkejut. "Padahal beberapa menit lalu kamu bilang masih di kantor!"
Naira terkekeh pelan. "Surprise! Kamu kira aku bakal ngelewatin ulang tahun kamu, Fai?" Ia mengangkat kue coklat yang dibawanya dan tersenyum lebar. "Selamat ulang tahun ke-27 ya Fai!"
Rafa masih terdiam sejenak, tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kamu serius?" Ia tertawa kecil, lalu mundur untuk memberikan Naira ruang masuk ke apartemennya. "Masuk, masuk! Aku bener-bener nggak nyangka kamu bakal datang sekarang."
"Yah, namanya juga kejutan, harus bikin kamu terkejut dong," Naira melangkah masuk ke apartemen Rafa yang sudah ia kenal baik. Ia meletakkan kue dan kadonya di meja kopi dekat sofa. "Aku juga bawa kado buat kamu, tapi nanti aja bukanya."
"Kamu selalu tahu caranya bikin kejutan," kata Rafa sambil menatap Naira dengan senyum lebar. "Aku beneran tadi nggak ada feeling apa-apa. Tadi kita masih chatting, kamu bilang masih sibuk di kantor!"
Naira tertawa sambil menyalakan lilin-lilin diatas kue coklat. "Itu bagian dari rencananya. Kalau aku bilang lagi di jalan, pasti kamu bakal curiga."
Rafa duduk di sofa, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "Ya ampun, aku harus bersiap-siap nih. Ada ritual tiup lilin kan?"
"Yup!" Naira mengangguk penuh semangat, sambil mendekatkan kue ke arah Rafa. "Ayo, make a wish dulu sebelum tiup lilinnya."
Rafa menatap lilin-lilin kecil yang berkerlip di atas kue coklat itu, lalu menutup matanya sejenak. Setelah beberapa detik, ia membuka matanya dan meniup lilin-lilin itu dengan satu tarikan nafas. Naira bertepuk tangan pelan.
"Happy birthday, Fai-Ku! Semoga semua yang kamu inginkan tercapai tahun ini," kata Naira tulus, sambil menggeser kue sedikit ke samping. "Kamu mau potong kue sekarang atau buka kado dulu?"
Rafa menatap kue itu dengan penuh kebahagiaan, lalu tertawa kecil. "Sebenernya... kue dulu aja deh. Aku lagi ngidam cokelat." Dia mengambil pisau kue yang sudah disiapkan oleh Naira dan mulai memotong kue menjadi beberapa bagian. "Ini beneran kue favorit kita. Kamu nggak pernah lupa ya?"
Naira mengangguk sambil mengambil piring kecil untuk dirinya sendiri. "Tentu aja nggak lupa. Tiap ulang tahun kamu pasti ada kue coklat ini. Nggak bisa di-skip."

KAMU SEDANG MEMBACA
TEPI EMOSI (End)
RomancePart sudah lengkap Dunia di mana persahabatan dan perasaan saling bertautan, Naira menghadapi dilema antara dua pria yang memiliki tempat khusus dalam hidupnya. Satu pria adalah teman dekat yang selalu ada untuknya, memberikan perhatian dan kasih sa...