抖阴社区

Di Ujung Jalan Pulang

287 32 6
                                        

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, Aen kini sudah sembuh dari depresinya. Kean tahu bahwa jalan yang Aen tempuh tidaklah mudah. Adiknya itu telah melalui berbagai rintangan, bertarung dengan dirinya sendiri, hingga akhirnya bisa keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Namun, Kean sendiri masih terjebak dalam lingkaran penderitaan yang seolah tak berujung.

"Aen saja bisa sembuh... Apakah aku juga bisa?"

Pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Di usianya yang masih muda, seharusnya ia bisa berlari mengejar mimpi, bukan menahan sakit yang selalu datang menyapa hari-harinya. Ketika teman-temannya bersenang-senang, ia hanya bisa diam dalam kesendirian, merindukan hari-hari tanpa rasa sakit.

Ia tidak pernah meminta penyakit ini, tetapi ia dipaksa untuk belajar berdamai dengannya. Setiap hari adalah perjuangan, bukan hanya melawan rasa sakit fisik, tetapi juga melawan kesedihan yang tak kunjung usai. Ia mungkin terlihat kuat, tetapi di dalam hatinya, ada kepingan-kepingan luka yang tak pernah sembuh.

Mimpi-mimpi besar yang dulu ia genggam terasa semakin jauh, terhalang oleh tembok penyakit yang membatasi langkahnya. Bukan hanya itu, kebencian yang terus ditunjukkan oleh saudara-saudaranya semakin memperberat beban di pundaknya. Sejak dulu, ia selalu merasa terasing dari keluarganya. Kebencian itu seakan menjadi tembok tak kasatmata yang menghalanginya untuk benar-benar merasa diterima.

Kean menghela napas panjang. Ia berusaha mengusir pikiran kelam itu dari kepalanya. Hari ini ia harus pergi ke sekolah bersama Vanno. Seperti yang sudah diketahui, mereka telah pindah sekolah. Meskipun lingkungan barunya terasa lebih nyaman, tetap saja ada perasaan kosong yang menghantui dirinya.

***

"Lo udah siap?" tanya Vanno begitu Kean keluar dari rumah.

"Iya, ayo berangkat." Kean menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah.

Mereka berjalan berdampingan menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, Kean lebih banyak diam. Sesekali Vanno mencoba mengajaknya berbicara, tetapi respons yang diberikan Kean terasa datar.

"Kean, lo baik-baik aja, kan?" tanya Vanno akhirnya.

Kean menoleh ke arah sahabatnya itu. Ia tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa dipaksakan. "Gue baik-baik aja."

Namun, Vanno tahu Kean berbohong. Ia sudah cukup lama mengenal Kean untuk bisa membedakan kapan sahabatnya itu benar-benar baik-baik saja dan kapan ia hanya berpura-pura.

"Kalau lo butuh seseorang buat dengerin, gue ada di sini, ya?" kata Vanno pelan.

Kean hanya mengangguk.

Setelah tiba di sekolah, Kean mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengikuti pelajaran. Tetapi tetap saja, pikirannya sering kali melayang ke tempat lain. Pikirannya kembali dipenuhi dengan berbagai hal yang membuat dadanya terasa sesak.

Ketika bel pulang berbunyi, Kean segera membereskan barang-barangnya. Ia tidak langsung pulang, karena seperti biasa, ia harus pergi bekerja di kafe. Pekerjaan ini adalah salah satu caranya untuk mengalihkan diri dari semua beban yang ia rasakan.

***

Di kafe, Kean bekerja seperti biasa. Ia melayani pelanggan dengan senyum palsu yang sudah terbiasa ia pasang. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum itu, ada begitu banyak luka yang ia sembunyikan.

Namun, hari ini ia sedikit kehilangan kendali. Ketika sedang membawa nampan berisi minuman, tangannya tiba-tiba gemetar. Gelas-gelas di atas nampan itu bergetar sebelum akhirnya jatuh berhamburan ke lantai.

"Kean, lo nggak apa-apa?" tanya salah satu rekannya dengan nada khawatir.

Kean mengangguk, tetapi wajahnya pucat. "Maaf, gue bakal bersihin ini."

"Lo yakin lo nggak kenapa-kenapa? Mukalo pucet banget."

"Gue baik-baik aja," ulang Kean, meskipun suaranya bergetar.

Setelah membersihkan pecahan kaca itu, ia kembali bekerja seperti biasa. Namun, ia tahu tubuhnya semakin lemah. Ia terlalu memaksakan diri.

Malam semakin larut. Kean baru selesai bekerja ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia buru-buru berjalan pulang, berharap bisa sampai sebelum Arga menyadari bahwa ia pulang terlalu malam.

Namun, keberuntungannya tidak berpihak padanya. Begitu ia masuk ke rumah, Arga sudah berdiri di ruang tamu dengan tangan terlipat di dada. Tatapan kakaknya dingin, membuat Kean tanpa sadar menelan ludah.

"Lo tahu ini jam berapa?" tanya Arga dengan suara rendah, tetapi penuh tekanan.

"Maaf... aku nggak sadar udah selama ini," jawab Kean pelan.

Arga menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Untuk kali ini, gue maafin. Tapi lain kali, pulang lebih awal."

Kean terkejut. Ia tidak menyangka Arga akan memaafkannya begitu saja. Biasanya, kakaknya itu akan langsung menegurnya dengan nada dingin dan penuh ketegasan. Tapi kali ini berbeda. Entah mengapa, ada sesuatu di mata Arga yang terlihat... lebih lunak dari biasanya.

Kean mengangguk pelan. "Makasih, Abang."

Arga tidak membalas. Ia hanya berbalik dan pergi ke kamarnya. Kean masih berdiri di tempatnya, memandangi punggung kakaknya yang semakin menjauh.

Mungkin... hanya mungkin, ada sedikit harapan di antara mereka. Kean tidak tahu apakah suatu hari ia bisa benar-benar sembuh, baik dari penyakitnya maupun dari luka yang ditinggalkan oleh kebencian saudaranya. Tetapi untuk saat ini, ia masih bertahan.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
???????? ????????? [?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang