Takdir adalah kekuatan yang tak bisa dihindari, sebuah kenyataan yang hadir tanpa pemberitahuan. Beberapa orang mungkin merasa kesulitan untuk menerima jalan hidup yang sudah digariskan untuknya, berjuang melawan kenyataan yang terasa begitu keras...
Kean duduk di ruang tamu, matanya terasa berat dan pikirannya penuh dengan berbagai hal yang belum bisa ia pahami. Sejak tadi, Vian dan Biru hanya terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing, seakan tidak ada yang penting bagi mereka selain diri mereka sendiri. Gara, meskipun tampak tidak terlalu peduli, tetap berada di dekat Kean, seolah mencoba menjaga jarak namun tetap tidak bisa menghindar dari perasaan cemas yang tak bisa ia jelaskan.
Di meja makan, seluruh keluarga berkumpul. Arga, Vian, Gara, Kean, Biru, dan Byan duduk bersama. Suasana agak tegang meskipun mereka makan bersama. Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka selain percakapan biasa yang tidak terlalu berarti. Kean merasa sedikit terasing di tengah-tengah mereka. Tidak ada yang mengajaknya berbicara, hanya suara garpu dan piring yang saling berbenturan.
Namun, sesuatu yang tidak biasa terasa di antara mereka. Vian, Biru, dan Gara merasakan hal yang sama, meskipun tidak mengungkapkannya. Ada sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hati mereka, seperti ada sesuatu yang akan hilang, tapi mereka tidak bisa mengidentifikasi apa itu. Mereka hanya merasakannya, entah perasaan apa yang sedang menyelimuti mereka. Kean, yang semakin merasa cemas dengan keadaan ini, mulai merasakan pusing yang semakin menjadi-jadi.
Kepalanya berputar dengan sangat cepat, pandangannya semakin kabur. Sebelum ia sempat mengatakan apa pun, seluruh dunia terasa seperti melayang menjauh darinya. Dengan sebuah desahan pelan, tubuh Kean terjatuh ke lantai, pingsan di depan mata seluruh keluarganya.
Vian dan Biru melirik ke arah Kean sesaat, namun mereka tidak bergerak untuk menolongnya. Mereka terus melanjutkan makan mereka dengan santai, seakan tak terjadi apa-apa. Gara, yang tidak bisa lagi menahan kekhawatirannya, langsung berlari mendekat, mencoba mengguncang tubuh Kean dengan cemas.
"Kean! Kean!" Gara memanggil dengan suara terbata-bata, panik melihat Kean yang terjatuh begitu saja.
Namun, tak ada respons dari Kean. Vian dan Biru tetap tak terganggu dengan situasi itu, sibuk dengan piring mereka. "Apa yang terjadi?" tanya Arga, yang baru menyadari kejadian tersebut.
Gara terus mengguncang tubuh Kean dengan cemas. "Kean, bangun! Jangan begitu!" akhirnya ia berteriak, berharap keajaiban terjadi.
Setelah beberapa menit, Kean mulai membuka matanya dengan perlahan, tubuhnya lemas dan penuh rasa sakit. Kepalanya masih terasa berat, dan pandangannya kabur. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan suara yang sangat pelan, Kean berkata, "Aku... aku baik-baik saja."
Gara menghela napas panjang, masih tampak khawatir meskipun Kean sudah sadar. "Kean, kamu oke?" tanyanya, memegang pundaknya dengan lembut.
Kean mengangguk pelan. "Aku... cuma pusing."
Sesaat setelah itu, Gara menggandeng tangan Kean, membawanya untuk duduk di meja makan bersama seluruh keluarga. Kean merasa tubuhnya masih lemah, tetapi ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Mereka kembali duduk bersama, kali ini dengan suasana yang sedikit lebih tenang.
"Ayo makan, Kean," kata Gara, mencoba membuat suasana menjadi lebih normal. Meskipun Vian dan Biru masih tidak menunjukkan ketertarikan atau perhatian terhadap apa yang sedang terjadi, mereka makan dengan tenang, seperti biasanya.
Setelah makan, Gara melihat Kean dengan tatapan serius. "Kean, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita pergi ke taman sebentar?" tanyanya pelan.
Kean mengangguk meskipun perasaan cemasnya belum hilang sepenuhnya. Mereka berdua berjalan keluar, meninggalkan meja makan dan seluruh saudara lainnya di dalam rumah. Taman di belakang rumah terasa sejuk dengan udara malam yang dingin. Gara berhenti di bawah sebuah pohon besar dan menatap Kean dengan serius.
"Kean, aku ingin minta maaf," kata Gara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Aku tahu aku sering bersikap keras padamu. Aku terlalu terbawa emosi dan aku... aku tidak tahu harus bagaimana."
Kean terkejut mendengar kata-kata itu. "Abang nggak perlu minta maaf," jawab Kean. "Aku mengerti, kok."
Gara menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang mendalam. "Aku benar-benar menyesal. Aku nggak pernah bermaksud menyakitimu."
Kean tersenyum kecil. "Aku sudah lama memaafkanmu, bang."
Mendengar itu, Gara tersenyum lega. "Terima kasih, Kean. Aku nggak tahu kenapa aku selalu merasa cemas. Tapi aku senang kamu memaafkanku."
Kean mengangguk, merasa sedikit lebih tenang setelah pembicaraan itu. "Sudah nggak apa-apa."
Setelah itu, Gara mengajak Kean ke kedai eskrim yang tidak jauh dari taman. Kean merasa sedikit lebih baik setelah kejadian tadi. Mereka menikmati eskrim bersama, meskipun suasana di antara mereka tetap terasa canggung.
***
Beberapa hari kemudian, Kean duduk bersama Byan di ruang tamu. Tiba-tiba, ia merasa tergerak untuk bertanya sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. "Byan," kata Kean pelan, "kamu ingin melihat dunia lagi, nggak?"
Byan yang sedang duduk dengan tenang mengangguk. "Tentu saja mau, bang. Aku ingin sekali melihat dunia kembali. Aku ingin melihat wajah kalian, melihat segala sesuatu yang pernah aku rindukan."
Kean merasa tersentuh mendengar itu. "Aku harap itu bisa segera terwujud, Byan."
***
Seminggu kemudian, kabar baik datang dari rumah sakit. Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Byan telah mendapatkan donor mata. Semua keluarga merasa gembira, dan keinginan Byan untuk melihat dunia kembali akhirnya akan menjadi kenyataan.
Arga, yang tidak sabar ingin berterima kasih kepada orang yang telah mendonorkan matanya, bertanya kepada pihak rumah sakit, "Siapa orang yang mendonorkan mata untuk Byan? Kami ingin mengucapkan terima kasih."
Namun, pihak rumah sakit hanya menjawab dengan hati-hati. "Maaf, identitas pendonor tidak bisa kami ungkapkan. Tetapi Anda akan tahu siapa orang itu pada waktunya."
Arga merasa sedikit kecewa, tapi ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Yang penting adalah Byan bisa segera melihat kembali.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Byan akan menjalani operasi mata, dan seluruh keluarga berkumpul di ruang tunggu rumah sakit. Gara terlihat sangat emosional, bahkan sampai meneteskan air mata, karena akhirnya Byan bisa kembali melihat dunia.
Vian dan Biru tetap tidak menunjukkan banyak perhatian, namun mereka tetap duduk di sana, entah karena kewajiban atau hanya sekadar ikut hadir. Waktu berlalu begitu lambat, dan mereka menunggu dengan sabar.
Kean tidak ada di antara mereka. Mereka tidak menyadari kepergian Kean dari ruang tunggu. Bukan karena mereka peduli, tetapi karena yang paling penting bagi mereka adalah agar Byan selamat. Mereka hanya fokus pada operasi dan kesehatan Byan.
Tak lama kemudian, dokter keluar dengan kabar baik. "Operasi berjalan lancar. Byan akan segera pulih."
Mereka semua merasa lega, meskipun ada sedikit kejanggalan. Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sejenak. Beberapa suster keluar dari ruang operasi, mendorong ranjang yang terlihat seperti milik pendonor. Mereka bergerak menuju ruang ICU dengan beberapa dokter mengikuti di belakang mereka.
Aen, yang sebelumnya tidak banyak bicara, menatap ranjang tersebut dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang aneh, seolah ia mengenali orang itu.
Ia... merasa tak asing dengan orang itu
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.