抖阴社区

EPILOG

732 32 4
                                        

بسم الله الرحمن الرحيم

***

~Happy Reading~

**

Hari ini terasa sangat sunyi. Langit yang sebelumnya gelap kini dipenuhi oleh awan-awan kelabu yang bergerak lambat, seperti mencerminkan perasaan hati Rafzan. Hari pemakaman Adilla dan bayinya, dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya, berlangsung dengan sangat berat. Keranda jenazah Adilla diangkat dengan perlahan, dan Rafzan ikut mengangkatnya. Tangannya gemetar saat menggenggam bagian bawah keranda, tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya diam, menyaksikan semua yang terjadi dengan tatapan kosong. Setiap langkahnya terasa seperti berjalan dalam kabut tebal yang tak bisa ditembus.

Di tengah kesedihan itu, ada satu hal yang tak bisa ia pahami, berbagai pertanyaan yang terus mengganggu benaknya. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa dia harus kehilangan Adilla dan anaknya inya?

Setiap langkah menuju tempat peristirahatan terakhir Adilla terasa semakin berat. Rafzan ingin berteriak, ingin melawan kenyataan yang begitu kejam. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya mengikuti langkah orang-orang yang membawanya menuju pemakaman.

Abi dan Umi Adilla terlihat berdiri di sisi makam, wajah mereka penuh air mata, tidak ada kata yang mampu mengungkapkan betapa hancurnya hati mereka. Rafzan merasakan kesedihan itu menyentuh hatinya, tetapi hatinya sendiri teramat terluka.

"Semoga Allah memberi tempat terbaik untuknya," bisik Umi Adilla, suaranya begitu lirih.

Rafzan menunduk, bibirnya bergetar, namun tak ada suara yang keluar. Setiap detik yang berlalu semakin menambah beban di hatinya.

Makam telah digali. Jenazah Adilla diletakkan dengan perlahan di dalamnya. Rafzan mengadzani jenazah Adilla dengan air mata yang mengalir bebas. Kemudian anaknya, juga dengan air mata yang masih tak berhenti.

Orang-orang mulai mengucapkan doa, sementara Rafzan hanya berdiri di sana, terdiam, tubuhnya seperti beku di tempat. Sebuah isak terdengar, dan Rafzan tahu itu datang dari dirinya. Namun, ia tidak dapat mengendalikan diri. Dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang takkan pernah kembali. Air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan. Perih di pipinya bekas tamparan ayah mertuanya masih terasa.

Tadi, sebelum berangkat ke pemakaman, Gus Arif yang sejak awal datang tampak diam, tiba-tiba menghampirinya dengan wajah yang dipenuhi kemarahan. Tanpa kata, ia menampar pipi Rafzan keras-keras, suaranya penuh amarah yang tak terbendung.

"Kamu... kenapa kamu biarin Adilla begini, Rafzan? Kamu bilang kamu nggak akan buat menderita, tapi ini apa?! Kamu udah buat dia kehilangan nyawanya, Rafzan! Kamu udah buat putriku meninggal!" teriaknya penuh kebencian, mata yang penuh air mata itu tampak begitu tajam, seakan ingin menembus jantung Rafzan.

Rafzan hanya diam, tubuhnya kaku. Pipinya terasa panas, perih. Kejutan itu begitu mendalam, seperti dunia yang runtuh lebih cepat. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya rasa sesak yang semakin dalam. Dalam hati, ia merasa seperti segala sesuatu yang pernah ia cintai telah dihancurkan

Rania, dengan penuh kasih sayang mencoba memanggilnya. "Zan, sudah waktunya kita pulang," katanya dengan suara lembut, mencoba meraih tangan putranya.

Namun Rafzan tidak bergerak, ia tetap duduk di sana, menatap makam Adilla. "Aku nggak mau pulang, Ma... Aku mau di sini aja," jawabnya dengan suara tercekat, begitu lemah, penuh penyesalan.

Rania, dengan hati yang penuh keprihatinan, mencoba mendekat. Ia berlutut di samping Rafzan, meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Rafzan, kamu harus kuat. Adilla sudah tenang di sana. Kamu nggak boleh sedih berlebih gini. Kali Adilla ada, dia pasti nggak suka kamu sedih begini." Suaranya bergetar, tetapi ia tetap berusaha memberi kekuatan pada anaknya.

Tahajjud Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang