Ketika ia keluar dari kamarnya suara televisi terdengar jelas, sementara penonton satu-satunya telah terlelap memeluk bantal sofa dan berbaring miring di sofa. Ashly mendekati meja dan mematikan televisi, kemudian ke arah jendela di ufuk barat matahari menumpahkan sinarnya tanpa penghalang berarti. Ashly menarik tirai di bagian depan hingga menutup separuh jendela agar matahari tak begitu banyak masuk, lalu meninggalkan ruang tengah ke arah pintu utama. Ia duduk di undakan tunggal dan mengambil sepatu olah raga warna gelap dan keluar meninggalkan Dio yang masih terlelap. Ia turun tak menggunakan lift, sengaja menuruni tangga sekalian pemanasan hingga ground dan terus bergerak ke area parkir. Seorang pria berusia matang berkemeja warna biru langit keluar dari kendaraan dengan wajah suram, tetapi berubah sumringah ketika mengetahui jika Ashly berjalan ke arahnya.
"Selamat sore, kau tetangga di sebelah rumahku 'kan?" tanya pria dewasa berwajah persegi menyunggingkan senyum ramah seolah wajahnya tak ada gurat lelah.
Ashly mengangguk dan tersenyum tipis. "Ya, benar. Maaf, saya sudah ditunggu, permisi."
"Kau mau ke mana? Berolah raga, ya? Kita jarang bertemu ataupun mengobrol antar tetangga." Pria berpostur tubuh agak berisi itu mengekori langkah Ashly, lalu berhenti mensejajari karena wanita cantik merupakan tetangganya itu berhenti lebih dulu dan menatap ke arahnya.
"Bisakah?"
"Apakah kau bertanya soal nomor teleponku? Atau kartu namaku? Rasanya tak enak kalau bertetanggan dan kita tak saling—"
"Bisakah kau berhenti bersikap seperti ini, itu tidak nyaman." Ashly menatap lurus lawan bicaranya.
"Ouh, begitu, ya? Ah, baiklah. Silakan, silakan pergi duluan," ujar pria berusia matang itu menutupi rasa canggung yang tercipta begitu saja.
Ashly memberi salam sebagai pertanda jika obrolan mereka tak seharusnya berlanjut, pula wanita cantik itu mengambil sepeda roda dua untuk dikayuh mengelilingi area sekitar sebagai pemanasan juga sebagai alat transportasi ramah lingkungan ke tempat latihan. Pria yang tak begitu tertarik bagi Ashly untuk diketahui justru menatapn dengan binar mata berbeda. Ponsel di saku celananya bergetar, segera ia ambil untuk melihat siapa meneleponnya. Binar mata yang menatap Ashly hilang, berganti dengan tatapan penuh beban dan helaan napas. Ashly tak peduli percakapan pria tersebut segera mengayuh sepeda keluar dari area parkir. Sore yang cerah untuk secercah harapan, terus bergerak melaju di tepian jalan raya pada jalurnya dengan mata separuh fokus, ya berisik isi kepala nyatanya jauh lebih membuatnya merasa kurang fokus dan akhirnya berhenti.
Ia menarik napas yang meski tak terengah-engah, menyatukan dua telapak tangan dan meremasnya seperti ada gumpalan kertas yang patut diremas meskipun nyatanya hanya angin. Kelopak matanya berkedip cepat dan korneanya tak fokus menghadap depan. Sebuah mobil berwarna hitam melaju pelan dan akhirnya berhenti, pengendaranya keluar sebelum Ashly sempat menoleh, tetapi sudah menerima sentuhan hangat dari pengemudinya.
"It's Okey, everything will be okay," ujar pelan seorang pria berpotongan undercut.
Ashly segera mendapatkan jawaban atas pertanyaan siapa pria yang datang dan menenangkannya, yaitu Dio. Ia belum sempat meyakinkan dirinya sendiri atas perkataan yang baik itu, sudah mendapatkan tepuk tangan berasal dari sisi lain. Seorang pria berstelan jas warna putih tulang dan memakai kacamata hitam berjalan mendekat sembari melirik tangan Ashly yang masih dipegang Dio.
"Romantis, sorry aku sebenarnya tak ingin mengganggu kalian, tapi ... aku ingin mengingatkanmu sejauh lima hari ini, kau masih belum mempunyai perkembangan berarti perihal utang piutang itu, kau yakin bisa membayarnya?" tanya pria itu panjang lebar.
"Kau masih bisa mengayuhnya sampai sana 'kan?" tanya Dio tetap dengan tatapan lembutnya pada Ashly.
"Bisa. Tunggu saja di sana," ujar Ashly melepaskan tangannya sendiri untuk memegang stang sepeda.
"Kubelikan minuman," ujar Dio melewati pria berstelan putih tulang itu dan masuk ke mobil, sementara Ashly sudah siap akan mengayuh meninggalkan tempat.
Namun, lengan Ashly ditahan oleh pria yang menuntut pembayaran utang atas nama ayahnya itu. "Kau mengabaikanku?"
"Aku tak pernah berkata dua kali dan kabur begitu saja. Jadi, jangan buang tenagamu mengingatkanku yang tak pernah lupa." Ashly menatap tangan yang memegang lengan kirinya itu.
Tangan itu terangkat ke atas, anehnya menjadi sepasang oleh pemilik tubuh. "Baiklah, aku akan terus mengawasimu, Nona Ashly Rosen ... Rosen, ah aku tidak ingat."
"RosenVqist." Ashly membenarkan nama belakangnya yang 99,99% tak bisa disebutkan dengan benar sejauh ini sembari mengayuh sepedanya pergi dari tempat.
"Aha! Kau benar, hanya kau sendiri yang sanggup mengingat nama serumit itu!" teriak pria dikenal Ashly bernama Ahlf Wasco itu menunjuk Ashly dari kejauhan, sementara yang ditunjuk tak menoleh sama sekali.
Ahlf menyerah dan meninggalkan tempat? Ah, tidak juga! Ahlf memarkirkan kendaraannya tepat di samping kendaraan hitam di mana pengemudinya merupakan pria yang berromantisan dengan Ashly tadi. Ia memantik korek guna membakar rokok, menyedot beberapa saat lalu mengembuskan asap bercampur dengan oksigen, sementara netranya melihat ke mana wanita cantik diajak bicara tadi memarkir sepeda roda dua dan bertemu beberapa orang, mereka berbincang-bincang sesaat kemudian mereka tampak berpencar membentuk lingkaran melakukan pemanasan. Pria berpakaian selalu formal itu tak memindahkan tatapannya dari sekelompok orang itu yang kini melakukan gerakan melompat yang unik dan tak biasa.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Ahlf Wasco pada Dio yang tengah memperhatikan Ashly untuk bersiap melakukan lompatan yang terlihat biasa saja, tetapi memerlukan teknik sempurna.
Dio menoleh sambil tetap menyedot minuman dingin dari cokelat. "Kau bicara denganku, Tuan? Kenapa? Kau tertarik padaku?"
"Jawab saja," ujar Ahlf menatap Dio yang tersenyum menggodanya.
"Jangan melewati batas hubungan utang piutang di antara kalian, Tuan. Itu membahayakan." Dio mengingatkan dengan nada pelan, tetapi menusuk.
Ahlf tertunduk sembari tertawa. "Kau benar!"
Ahlf meninggalkan tempat dan masuk mobil, sementara di sana satu demi satu orang dari sekelompok itu melakukan lompatan tak biasa, bahkan mirip aksi laga membawa tubuh mereka begitu ringan dengan latihan yang tak main-main.
"Kenapa aku ada di sini, sialan!" gerutu Ahlf membawa kendaraannya meninggalkan tempat.
To be continued.

YOU ARE READING
Recluse [The End]
Romance21+ || Don't Copy My Story! || On Going Biarpun burung kecil yang sayapnya patah itu istirahat untuk terbang, bukan berarti dia tak bisa terbang lagi. Dia hanya istirahat untuk bersiap terbang menembus awan lagi. ? Ashly RosenVqist? Bisakah aku eg...
Bab 8 | Binar Mata
Start from the beginning