Happy Reading...
***
Langit mendung menggantung rendah di atas tanah pemakaman, seolah turut berduka atas kepergian seorang wanita yang begitu berarti bagi mereka yang hadir. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga yang bertebaran di sekitar nisan. Nicola berdiri diam, tatapannya kosong mengarah pada peti kayu yang perlahan diturunkan ke dalam liang lahat.
Ia tidak menangis. Tidak ada air mata yang jatuh dari matanya yang sayu. Hanya ada kehampaan yang menguasai dirinya, seperti sesuatu yang telah menghilang dari dalam dirinya dan meninggalkan kehampaan yang mustahil untuk diisi kembali.
Di sampingnya, Addam berdiri dengan tenang, satu tangannya melingkar erat di bahunya, memberi kehangatan yang bahkan tidak bisa ia rasakan dari dalam dirinya sendiri.
Di sekeliling mereka, para pelayat berdiri dalam diam, beberapa menundukkan kepala dengan wajah muram, sementara yang lain terlihat menghapus air mata mereka. Keluarga Huxley hadir—Irene berdiri dengan wajah sedih, matanya sembab seolah sudah menangis sebelumnya. Orlando berdiri di sampingnya dengan ekspresi tenang tetapi penuh simpati, sementara Amelia, yang berada di dekat Nicola, menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan kekuatan lewat sentuhan.
Di sudut lain, Darmawan berdiri tegap, kedua tangannya menggenggam tongkat kayunya dengan kuat. Matanya yang sudah tua dan dipenuhi pengalaman tampak berkabut oleh kesedihan yang ia tahan. Meski tidak menangis, Nicola tahu bahwa pria tua itu tengah berjuang sekuat tenaga untuk tidak memperlihatkan emosinya. Ini adalah anaknya yang baru saja pergi. Putrinya.
Namun, tatapan Nicola beralih ke sosok yang sama sekali tidak ingin ia lihat.
Ayahnya—Arthur Colin
Pria itu berjalan mendekat, mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya terlihat sedih seolah benar-benar kehilangan seseorang yang berharga. Tetapi bagi Nicola, ekspresi itu hanya tampak seperti sebuah sandiwara murahan.
Untuk apa pria itu datang ke sini? Untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa ia adalah ayah yang peduli? Untuk mencari muka dan mendapatkan simpati?
Nicola ingin tertawa sinis.
Di belakang ayahnya, ibu tiri Nicola yang ia tahu namanya adalah Alita, berdiri anggun dengan saputangan di tangan, menghapus air mata yang entah nyata atau hanya sekadar kepura-puraan. Nicola tidak bisa membayangkan bahwa wanita itu benar-benar bersedih atas kepergian ibunya. Apakah wanita itu benar-benar menangis, atau hanya ingin terlihat sebagai istri yang berempati?
Dan disampingnya, Reisha berdiri dengan wajah datar. Entah apa yang gadis itu pikirkan, tetapi Nicola tidak peduli.
Pemakaman berlalu dengan hening. Tidak ada suara selain isakan pelan dan suara imam yang membacakan doa. Hingga akhirnya, tanah pertama dijatuhkan ke atas peti kayu itu, dan kenyataan mulai benar-benar menyusup ke dalam hati Nicola.
Ibunya sudah tiada.
Selamanya.
Irene menghampirinya lebih dulu. Tanpa berkata apa-apa, wanita itu langsung merengkuhnya dalam pelukan yang erat, seolah ingin memberikan seluruh kehangatan yang ia bisa berikan. Nicola tidak tahu harus berbuat apa selain berdiri diam, tetapi dalam kehangatan itu, ia merasa sedikit lebih kuat.
Amelia yang berada di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Tidak berkata apa-apa, hanya memberikan dukungan melalui sentuhan.
"Nicola..." suara itu datang dari ayahnya yang mendekat, nadanya lembut, seolah penuh kepedulian.
Nicola mendongak, menatap pria itu dengan ekspresi kosong.
Pria itu terdiam sejenak, mungkin tidak mengharapkan respons seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let The Light In
Short StoryNicola Gracelle Archie sudah lama kehilangan kepercayaan pada laki-laki. Trauma ditinggalkan ayahnya di usia 10 tahun, ditambah dengan pengkhianatan pahit dari mantan kekasihnya yang berselingkuh dua kali, membuat Nicola bersumpah untuk menjaga jara...