Seulgi melangkah keluar dari ruangan direktur dengan langkah yang berat. Kata-kata mereka masih terngiang di kepalanya.
"Kau harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."
Kemungkinan terburuk? Apa yang lebih buruk dari ini?
Tangannya dingin, tubuhnya terasa ringan tapi dadanya sesak. Napasnya terasa pendek, pikirannya berputar-putar. Langkah kakinya semakin cepat tanpa ia sadari. Seperti melarikan diri dari sesuatu yang menyesakkan.
Koridor rumah sakit terasa panjang dan mencekik. Bayangan masa lalu menyerangnya tanpa ampun. Kilasan suara-suara dari ruang operasi bertahun-tahun lalu kembali terdengar di telinganya.
Dulu... pasien itu juga kritis.
Dulu... ia juga dihakimi karena keputusannya.
Dulu... ia gagal menyelamatkan seseorang.Tangannya mulai gemetar. Ia ingin mengabaikannya, tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Tidak, tidak sekarang.
Seulgi memejamkan mata erat. Tapi semakin ia menolak, semakin ingatan itu menelannya.
Tangannya masuk ke saku jasnya, meraba sesuatu yang ia sembunyikan sejak lama-botol kecil berisi pil penenang. Ia berjanji pada Jaeyi dulu bahwa ia akan berhenti. Tapi semenjak Jaeyi lama menghilang terkadang, dan sekarang... semua ini terjadi lagi.
Ia tidak punya pilihan.
Dengan tangan gemetar, ia merobek segel botol kecil itu dengan kasar, menumpahkan beberapa butir ke telapak tangannya. Napasnya tersengal, dadanya masih terasa sesak, tapi ia tak peduli. Tanpa berpikir panjang, ia menelan empat butir sekaligus, membiarkan zat kimia itu mengalir ke dalam tubuhnya.
Sekejap, dunia seakan melambat.
Saat melangkah masuk ke dalam lift, ia bersandar ke dindingnya, jemarinya mencengkeram besi pegangan dengan erat. Pandangannya sedikit buram, kelopak matanya terasa berat. Dentingan suara lift naik terdengar samar, bercampur dengan dengungan di telinganya.
Setidaknya... kepanikannya mulai mereda.
Namun, ada sesuatu yang terasa salah. Tangan kirinya mencengkeram jas dokter yang ia kenakan, mencoba menstabilkan dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam, mencoba fokus. Tapi tubuhnya mulai terasa ringan, hampir seperti melayang.
"...Jaeyi..."
Nama itu lolos dari bibirnya tanpa sadar, hampir seperti bisikan di antara kesadarannya yang mulai goyah. Seulgi bahkan tak menyadari bahwa ia mengucapkannya. Bayangan Jaeyi kembali muncul di kepalanya-senyumnya, suaranya, janjinya.
-
Setibanya di rumah sakit, Jay langsung turun dari mobil dan berjalan cepat melewati lorong-lorong yang dipenuhi staf medis yang sibuk. Napasnya masih berat, pikirannya penuh dengan kecemasan tentang Seulgi.
Namun, sebelum ia bisa mencapai ruang direktur, pandangannya menangkap sosok yang sangat familiar di dekat lift.
Seulgi.
Jay menghentikan langkahnya. Cara Seulgi berjalan... ada yang tidak beres. Napasnya tampak berat, kakinya goyah, dan ketika pintu lift terbuka, ia masuk tanpa benar-benar memperhatikan sekitar. Jay bahkan bisa melihat tangannya mencengkeram jasnya sendiri dengan erat, seperti sedang menahan sesuatu.
Jay refleks melangkah maju, ingin memanggilnya-tapi terlambat. Pintu lift sudah tertutup.
Sial.
Rasanya nalurinya menjerit, ingin mengejar Seulgi. Tapi dia tidak bisa gegabah. Ada sesuatu yang lebih mendesak. Jika dia tidak segera bertemu Direktur Utama, semua ini bisa berakhir lebih buruk untuk Seulgi.
Dengan rahang mengatup keras, Jay berbalik dan berjalan cepat menuju ruang direktur.
Ketika tiba di depan pintu berlabel Direktur Korean University Hospital, Jay tidak membuang waktu. Dengan gerakan kasar, ia mendorong pintu hingga terbuka lebar tanpa mengetuk lebih dulu.
Di dalam, Direktur Jung Myung-seok tampak terkejut sejenak, sebelum wajahnya kembali datar. Ia berdiri di balik mejanya, ekspresinya kelelahan namun tetap mempertahankan ketenangannya.
"Kau benar-benar tidak tahu sopan santun, Yoo Jaeyi," gumamnya, suaranya dingin.
Jay langsung mengepalkan tangannya. Rahangnya mengatup rapat saat amarahnya melonjak.
"Jangan panggil aku dengan nama itu," ujarnya tajam.
Direktur Jung mengangkat alis, seolah menikmati reaksi Jay. "Kau bisa mengubah namamu, tapi masa lalu tidak akan pernah berubah."
Jay tidak peduli. Ia melangkah mendekat, menatap pria yang lebih tua itu dengan kemarahan yang jelas terbaca di wajahnya.
"Aku sudah muak bermain-main," Jay mendesis. "Kita perlu bicara. Sekarang."
Di balik meja besar, Direktur Jung menyandarkan tubuhnya, menatap Jay dengan ekspresi sulit dibaca. Matanya tajam, seolah sedang menimbang sesuatu.
"Aku tidak punya banyak waktu." Suara Jay terdengar tegang, nyaris mendesak. "Seulgi tidak boleh menjadi kambing hitam dalam semua ini."
Direktur Jung menyipitkan matanya. "Kau bicara seolah ini bukan salahmu, Yoo Jay."
Jay merasakan tengkuknya menegang. "Apa maksudmu?"
"Semuanya berawal darimu, bukan?" Direktur Jung mencondongkan tubuhnya ke depan, menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Pasien itu, luka tusuknya, keterlibatan Seulgi-kau benar-benar membuat kekacauan besar."
Jay membuang napas kasar. "Aku tidak ada waktu untuk permainan kata-katamu, Direktur."
"Permainan?" Direktur Jung menyandarkan punggungnya dengan santai. "Banyak orang mulai bertanya, Jay. Tentangmu, tentang hubunganmu dengan pasien itu, dan tentang Seulgi yang tiba-tiba terlibat di dalamnya."
"Aku datang ke sini bukan untuk membicarakan masa laluku." Jay menatap Direktur Jung dengan tajam. "Aku ingin tahu, apa kau akan membantu Seulgi... atau justru membiarkan semua ini menelannya?"
Direktur Jung tidak langsung menjawab. Ia menatap Jay lama, seakan sedang menimbang sesuatu. Lalu, sudut bibirnya sedikit terangkat.
"Bantu aku... dan aku akan mempertimbangkannya."
Jay mengepalkan tangannya. Ia tahu sejak awal pertemuan saat itu tidak akan berjalan mudah.
-
Saat pintu lift terbuka, seseorang berdiri di depannya-seorang wanita dengan jas dokter. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menghadang orang lain di depan lift. Tapi yang membuat Seulgi merasa tidak nyaman adalah sorot matanya. Dingin, tajam, seakan menelanjangi setiap kelemahannya.
"Dokter Woo Seulgi," wanita itu membuka mulutnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Seharusnya kau tidak perlu repot-repot menyelamatkannya."
Seulgi mengerutkan kening, tubuhnya menegang seketika. Efek obat masih berputar di kepalanya, membuat napasnya tersengal.
"Apa maksudmu?" suaranya hampir tidak terdengar.
Wanita itu tersenyum tipis, langkahnya sedikit maju, membuat Seulgi tanpa sadar mundur selangkah.
"Pasien di ICU itu... Seharusnya dia mati di meja operasi." Tatapan wanita itu semakin menusuk. "Dan kupikir, kau sudah mengerti kenapa."
Darah Seulgi seolah membeku. Kepalanya berdenyut, tapi ia memaksa dirinya tetap tegak.
Seulgi mencoba mengendalikan napasnya yang terasa berat. Tatapan wanita di depannya semakin menekan, seolah menunggu Seulgi mengatakan sesuatu yang salah.
Namun, Seulgi tidak punya waktu untuk ini. Tidak sekarang. Tidak dengan pasien itu masih bertahan di ICU.
"Aku harus pergi," katanya, mencoba menggeser langkah ke samping. "Ada yang harus kutangani."
Namun sebelum ia bisa melewati wanita itu, sebuah kalimat menghentikan langkahnya.
"Kau benar-benar tidak ingat, ya?"
Pintu lift perlahan mulai menutup di belakangnya, menciptakan sekat tipis antara dirinya dan sesuatu yang kini terasa lebih berbahaya daripada trauma yang masih menggantung di pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Notice - Jaeyi Seulgi [ END ]
FanfictionJaeyi selalu hadir-dalam bayangan, dalam lagu-lagu yang mengalun tanpa sengaja, dalam kebiasaan kecil yang Seulgi pikir sudah ia lupakan. Seberapa jauh pun ia mencoba melangkah, selalu ada sesuatu yang membawanya kembali. Tapi apa arti semua ini? Se...