Varelius Davindra Pranajaya tidak pernah benar-benar memikirkan tentang cinta atau pun tentang cinta pandangan pertama, sampai sebuah momen singkat mengubah segalanya. Hanya hembusan angin di halaman sekolah, sekejap yang berlalu ketika angin membaw...
Di balik pintu besi yang telah berkarat, sebuah ruangan luas terhampar dalam kesunyian yang menggigit. Cahaya lampu temaram tergantung di langit-langit, berkedip pelan seolah kelelahan menjaga kewarasan ruangan itu. Udara lembap dan dingin menempel di kulit, merayap seperti tangan-tangan tak kasat mata yang tak henti membelai dengan rasa asing. Debu menempel di hampir seluruh permukaan, menumpuk di atas meja, menyelimuti kabel, dan bahkan menggantung di udara, menari dalam sinar samar yang menyelinap dari celah jendela tua yang sedikit terbuka.
Dari celah itu, sinar matahari berusaha masuk, membentuk garis tipis yang terpotong kusen, tapi cahaya itu tak mampu menghangatkan apa pun. Dingin tetap menjadi penguasa. Beberapa komputer menyala dengan cahaya layar yang dingin dan berdenyut, menampilkan barisan angka dan huruf yang bergerak cepat, bagai mantra yang ditulis dalam bahasa dunia lain. Beberapa monitor lainnya sudah lama mati, hitam seperti lubang kosong yang menatap tanpa nyawa.
Di hadapan salah satu komputer, duduklah seseorang. Punggungnya membungkuk ringan, jemarinya menari cepat di atas papan ketik. Setiap gerakannya seolah telah dihafal dalam benak, tanpa keraguan, tanpa jeda. Fokusnya terpatri penuh pada layar. Wajahnya yang tertimpa cahaya monitor tampak kaku dan dingin. Tatapan matanya menusuk layar, seperti mencoba menembus dimensi maya untuk menarik sesuatu keluar dari dalamnya.
Detik-detik berlalu. Rahangnya mengeras. Otot-otot di wajahnya menegang, alisnya turun tajam ke tengah, menciptakan guratan dalam yang memperjelas ketegangan yang mulai mendidih. Napasnya tertahan di dada, lalu mendesah panjang, seperti mengumpulkan amarah yang selama ini ditahan.
"Fuck," desisnya pelan, tetapi berat. Bukan sekadar umpatan, melainkan letupan frustrasi yang tidak lagi bisa dibungkam.
Data yang dicari sudah muncul. Namun hasilnya bukan seperti yang ia harapkan. Ada sesuatu yang tidak sesuai, tidak seperti skenario yang telah disusun dengan rapi dalam pikirannya. Dan dalam ketidaksesuaian itu, emosi pun tumpah ruah.
Seketika, tangan kanannya meraih tongkat baseball logam yang sejak tadi bersandar tenang di samping kursinya. Dalam satu hentakan penuh amarah, benda itu melayang dan menghantam layar di hadapannya. Suara kaca pecah meledak keras, memecah keheningan yang selama ini membungkus ruangan. Layar monitor itu hancur, serpihannya beterbangan dan jatuh ke lantai. Beberapa kabel ikut tertarik, menciptakan suara berderit yang mengiris telinga. Komputer itu kini hanya tinggal puing yang tak lagi berguna.
Namun kemarahannya belum usai.
Ia bangkit dari kursi, tubuhnya menjulang penuh ketegangan. Dari balik saku celana jeans-nya yang lusuh, ia menarik sebuah pisau lipat berukuran sedang. Mata pisau itu mengilap, mencuri cahaya matahari dan memantulkannya dengan kilatan mengancam. Tanpa keraguan sedikit pun, ia mengangkatnya dan menggoreskan ujungnya ke lengan kirinya. Gerakannya cepat, seperti ritual yang sudah terlalu sering dilakukan. Darah mengalir, merah dan segar, tetapi tidak ada ekspresi sakit di wajahnya, hanya ketenangan yang menakutkan. Rasa perih itu, bila masih ada, sudah tidak berarti.
Beberapa detik ia membiarkan darahnya menetes ke lantai, lalu menghela napas dalam-dalam. Tangannya merogoh jaket dan menarik selembar kain kecil, membungkus lukanya secara seadanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.