抖阴社区

Chapter 8: In The Silence, We Spoke [M]

71 10 0
                                        

.

.

🎧 Recommended Song: "Perfect" – Ed Sheeran 

.

.

Langit perlahan gelap saat mobil melaju meninggalkan bibir pantai. Di balik kaca jendela, rintik hujan menari, meninggalkan jejak samar seperti ingatan yang belum tuntas.

Di kursi penumpang, Namisha menggigit bibir pelan. Jemarinya memainkan ujung lengan jaket yang kini sedikit lembap. Tubuhnya masih menyimpan sisa asin laut dan matahari siang tadi, tapi pikirannya sibuk.

Ni-Ki meliriknya sekilas. Dari balik kemudi, ia bisa merasakan kegugupan yang sama. Tapi tak satu pun dari mereka mengucapkannya. Keheningan di antara mereka terasa lebih jujur daripada seribu kalimat. Dan di tengah hening itu, terselip harapan yang belum sempat dibahas.

Sesampainya di hotel kecil di pinggir kota, mereka masuk tanpa banyak kata. Petugas resepsionis menyapa ramah, dan tak lama mereka sudah diantar menuju kamar paling ujung di lantai dua. Ruangan itu hangat dan tenang, dengan cahaya lampu yang remang dan aroma bersih dari linen baru diganti. 

"aku mandi duluan ya," ucap Ni-Ki sambil merenggangkan bahu.

Namisha hanya mengangguk, menahan napas saat pintu kamar mandi tertutup.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara aliran air. Namisha berdiri menatap pakaian tidur yang disiapkan pihak hotel. Saat gilirannya mandi tiba, air hangat seakan menghapus kegugupan dari tubuhnya, meski tidak dari pikirannya. Ia melihat dirinya di cermin—wajahnya memerah. Ia belum pernah seintim ini dengan siapa pun.


***


Cahaya kamar remang. Lampu di pojok ruangan menyala temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding. Handuk tergantung di kursi, baju bersih sudah dikenakan, tapi udara masih menyimpan sisa ketegangan dari percakapan yang belum selesai, dari perasaan yang belum sempat diurai.

Namisha duduk di ujung ranjang, diam. Tangannya saling menggenggam, jari-jarinya saling mengait seperti sedang meredam gelisah. Ia mendengar deru halus dari AC, sesekali suara mobil melintas di jalan luar jendela, tapi semua itu terdengar jauh.

Ni-Ki, di sisi lain, memilih duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke ranjang. Ia menatap langit-langit dengan ekspresi yang sulit ditebak—campuran gugup, rindu, dan ragu yang tak biasa ia tunjukkan di hadapan siapa pun.


"Kalau aku mimpiin kamu malam ini..." suara Ni-Ki pelan, nyaris seperti gumaman. "...itu salah nggak?"


Pertanyaannya jatuh perlahan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat jantung Namisha berhenti berdetak sejenak.

Ia tidak langsung menjawab. Tapi beberapa detik kemudian, tubuhnya bergerak turun dari ranjang, lalu duduk di lantai, tepat di sebelah Ni-Ki. Bahu mereka bersentuhan. Hangat. Aneh. Akrab dan asing sekaligus.

Ia tidak menatapnya. Tapi tangannya bergerak, ragu-ragu, mencari ujung jemari Ni-Ki. Dan ketika tangan mereka saling menemukan, dunia terasa lebih sunyi dari sebelumnya—tapi juga lebih penuh.

Tidak ada ucapan cinta. Tidak ada janji. Tapi semuanya terasa seperti pengakuan yang tak terucap.

Mereka tidak bicara. Tidak perlu. Dalam diam, semua sudah cukup jelas. Tarikan napas, tatapan sesekali, dan genggaman kecil itu sudah lebih jujur dari seribu kata.

From Crowd to Cloud Nine [Nishimura Riki]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang