*
*
*
hening menyertai kala duka datang membawa luka patah hati. tiga hari berlalu, dan bian masih terus diam membisu. wajahnya pucat pasi, ia menolak makan sampai hari ini. dibandingkan andin yang telah berlapang dada menerima kepergian sang suami, berbeda dengan bian yang masih tak paham akan luka yang ia dapati.
jelasnya kematian tak pernah menunggu kapan kita siap, tak juga datang saat orang terdekatnya kuat. sama hal nya dengan bian yang saat ini harus menerima kepergian sang ayah tanpa persiapan, tanpa aba-aba, bahkan tanpa kata-kata perpisahan.
hari itu, dengan jelas akhirnya bian tahu apa alasan yang membuat sang ayah akhirnya pergi. bian marah, bian kesal karena demi menyelamatnya anak lain ayahnya rela meninggalkan ia dan ibunya.
selain itu, kehilangan tentu hal utama yang paling bian sesali. hampir dua tahun lamanya bian tak bertemu sang ayah. lalu dengan tiba-tiba hal mengejutkan datang tanpa permisi.
sejak hari upacara pemakaman, tak sekalipun galen pergi. ia tetap di sana, memberikan pelukan hangat serta kata-kata penenang untuk sahabatnya.
bian memang sudah tak menangis. namun, menurut galen kali ini lebih parah. selain tak mau makan dan bicara, bian pun jadi sering melamun. galen tak ingin sahabatnya itu terus larut dalam duka.
"sampai kapan lo mau kayak gini, yan?" tanya galen saat memasuki kamar bian. membawa semangkuk bubur yang sebenarnyapun tak akan bian terima.
lagi dan lagi bian tak menjawab. hanya diam sembari menatap keluar jendela dengan berbaring menyamping, membelakangi galen.
galen duduk di tepi ranjang, meletakkan mangkuk bubur yang ia bawa ke atas nakas. tangan kanannya menepuk lembut bahu bian.
"gue tau ini sakit, yan... tapi, nyatanya bukan cuma lo yang terluka. mama lo mati-matian nahan sakitnya dan tetap berusaha baik-baik aja buat lo, bian..."
"gak ada yang mau hal ini terjadi, termasuk gue. kalau lo kayak gini, papa lo juga pasti sedih... papa lo gak akan tenang ninggalin lo." tambah galen, masih setia menepuk bahu bian yang mulai bergetar.
"yan... gue tau lo kuat, lo sahabat gue yang penuh canda tawa ini udah tiga hari mewek terus. lo gak malu sama gue? sama genta? anak itu sampai nanyain keadaan lo terus setiap saat."
"lo sayang mama lo kan, yan?"
bian mengangguk, membuat galen tersenyum karena akhirnya sahabatnya itu merespon ucapannya.
"kalau lo sayang sama mama lo... lo harus lebih kuat dari dia."
bian membalik tubuhnya, menampilkan wajahnya yang memerah dengan air mata membasahi pipinya. bibir pucatnya bergetar, dan sesekali mengeluarkan suara isakan.
galen yang tak tega akhirnya membawa bian ke dalam dekapannya. merengkuh raga rapuh sahabatnya.
"jangan terlalu lama berduka, bian... gue gak tau sampai kapan gue bisa nenangin lo yang kayak gini," ucap galen sambil mengusap pelan punggung bian.
"papa harus tenang di sana..."
galen berdehem, masih setia menepuk serta mengusap bahu bian.
"maka dari itu, lo harus lebih dulu berdamai sama semuanya... lo kuat, gue tau karena lo hebat bian..."
*
*
*
selepas ikut berkabung bersama bian dan andin di kediaman Sadhipta, akhirnya galen memutuskan untuk pulang.
beruntung hatta masih berada di luar kota. juga sesuai info yang ia dapat dari genta bahwa nagen merahasiakan jika galen tak pulang tiga hari ini.
sedikit membuat galen merasa senang. respon kakak keduanya itu seolah membaik seiring berjalannya waktu.
bahkan tadi saat sampai di rumah, untuk pertama kalinya nagen membuka pembicaraan dengannya.
saat ini galen sedang berada di kamar genta. sejak hari pertama bian berduka, saudara kembarnya itu tak berhenti khawatir.
"bian udah gak apa-apa... udah jangan terlalu khawatir gitu, nanti lo yang drop kan gak lucu," kata galen sedikit terkekeh saat melihat wajah cemberut genta.
"gue kesel karena gak bisa nemenin bian juga..."
galen akhirnya tertawa, mengusap bahu genta pelan. "gak apa-apa... kata bian dia baik-baik aja."
"apanya yang baik-baik aja? gak mau makan, gak mau ngomong, sampai sering ngelamun gitu."
"ya... tapi tadi udah mau makan, kok. udah gue kasih obat juga malah."
di sela pembicaraan keduanya, tiba-tiba gava masuk ke kamar genta.
"keluar."
galen melirik genta yang juga tampak kebingungan. siapa yang gava suruh keluar?
"galen keluar."
mendengar suara yang begitu dingin dari gava membuat galen merinding sendiri. tak ingin menunda terlalu lama, akhirnya galen berpamitan pada genta untuk keluar.
awalnya genta menolak dan meminta galen di kamarnya saja. akan tetapi melihat tatapan gava yang semakin tak suka galen pun langsung pergi tanpa persetujuan genta.
saat keluar dari kamar, galen langsung mematung di tempat.
hatta sudah duduk di sofa rupanya.
genta menyusul keluar, membuat ketiga galen, dan gava menoleh serempak saat genta meminta galen kembali masuk ke kamarnya.
"lo kemarin sakit gara-gara galen bawa lo ke rumah bian," ucap gava, tepat setelah nagen juga keluar dari kamarnya.
wah... nagen padahal diam-diam saja, gava malah cepu😔 ABANG KON....
SLET, konslet ya guys konslet😔
-
-
-
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Galen's Shadow || Park Jongseong
FanfictionTentang Galen, remaja berusia enam belas tahun yang selalu menjadi bayang-bayang dalam keluarga Danadyaksa. Rank #1?- Jay ( 15 - 04 - 2025 ) Rank #1?- Sick ( 14 - 04 - 2025 ) Rank #2?- Angst ( 30 - 04 - 2025 ) Rank #3?- Family ( 14 - 04 - 2025)