Berjalan, tetapi tidak kemana-mana.
Wanita itu tidak gupuh, berjalan pelan namun pasti, kain jarik yang ia kenakan tersibak seiring langkahnya yang sunyi. Kulitnya yang tak sengaja nampak itu terlihat berkilau seperti pualam tersentuh cahaya rembulan, aroma bunga kenanga pelan merebak menyapa udara di sekitarnya, kebetulan banyak ditanam di sekitar rumahnya yang asri.
Pada sepanjang lorong yang tampak tua dan kelam, kontras matanya berpendar lembut begitu menangkap burung kecil yang sempat bertengger pada jendela, menyapa. Ia menyukai binatang, terutama kucing-kucing lucu. Sayang sekali, ia tidak bisa memelihara satu pun sebab salah satu anggota keluarganya memiliki alergi. Bibirnya melengkung dalam senyuman kecil yang tulus, tidak hilang, meski rintih dari ujung lorong itu sayup kembali terdengar; rintih dari yang tengah merasakan sakit.
Ia kemudian melanjutkan langkahnya.
Kata orang, cantiknya kerap disandingkan dengan kata tragis. Wulan yang justru menghabiskan waktunya untuk merawat kakeknya yang tengah di ujung usia alih-alih menikah dengan pujaan hatinya di usianya sendiri yang sudah melewati kepala tiga.
Tidak apa, langkahnya terhenti pada pintu yang tertutup, ia mengusap pelan kemudian suara rintihan yang rupanya hanya berada dalam kepalanya itu berhenti terdengar, mungkin karena sudah terbiasa. Hampir dua tahun kakeknya menderita seperti itu, merintih kesakitan dalam perawatannya, sekarang ia harap beliau sudah bisa beristirahat dengan tenang.
Ia menoleh begitu derit pintu di belakangnya terdengar.
Rupanya Kasmirah, Mbok yang bekerja untuknya. "Bapak dan Ibu sampun rawuh," katanya, Wulan mengangguk, lantas memberikan usapan sekali lagi pada punggung gagang pintu itu, kamar kakeknya untuk kemudian berbalik.
Wulan tidak datang dengan tangan kosong ke ruang tamu, ia menghidangkan beberapa makanan kecil beserta dua cangkir minuman, kesukaan Bapak dan Ibunya jikalau datang berkunjung. Sri Hartini lantas duduk tegak, Ibu sambungnyaitu tidak pernah merasa nyaman di rumah ini, Bapak dan Ibunya sudah berpisah sejauh ia bisa mengingat.
"Repot-repot Mbak Wulan," katanya dengan berbagi senyum, rupanya mereka tidak sendirian, untungnya Mbok Kasmirah sigap memberikan susulan hidangan.
"Tadi Masmu yang nyetir," jelas Bu Sri, Bramasta Yudha adalah kakak sambungnya, seseorang dengan kemeja digulung yang sedang mengobrol dengan Bapaknya, Lukman Prabakusuma, menyadari kehadirannya. Kakaknya itu mengangguk padanya, menyapa, lantas mematikan rokoknya. Wulan memiliki saudara kandung, Agnia seorang pengacara, sepertinya tidak ikut datang, kabarnya dia tengah hamil besar, memang tidak baik berkunjung pada rumah berkabung pada saat mengandung.
"Ibu sehat?" tanyanya, Bu Sri mengangguk. "Sehat, tapi ya itu Wulan, sedikit repot, maaf ya, baru hari ini bisa berkunjung," ujarnya. Wulan membalas dengan senyum lebih dulu, mengetahui bahwa Ibunya itu sesekali mengiriminya pesan ditengah kesibukannya. Keluarga bapaknya itu tinggal di pusat kota Capital, pada saat kabar kakeknya berpulang, hanya bapaknya saja yang datang sebab kesibukan yang lain, baru hari ini, empat hari kemudian, keluarga yang lain menyusul.
Semuanya sudah ikut duduk di ruang tamu, dari semuanya Bramastya yang lebih dulu angkat bicara. "Mas baru dengar waktu Ibu cerita. Benarkah itu Wulan?" selidiknya.
Wulan mengangguk. "Benar Mas, tapi Wulan belum bilang apa-apa, juga belum berkunjung lagi ke keraton."
"Jangan dipikirkan," itu kata bapaknya, Ibunya, Sri Hartini yang cukup menggebu-nggebu kemudian menyela "Iya," setujunya sambil menggangukkan kepala
"Bapak sama Ibu tidak mendukung," Pungkasnya.
"Bagaimana sih awal mulanya?" Mas Bram bertanya sungguh-sungguh "Menurut Mas itu tidak lagi logis untuk diterapkan di jaman sekarang Dek Wulan, meski hal tersebut adalah pesan terakhir dari kakek."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lingsir
RomancePada waktu senja itu, di pinggir pantai, kehadiranmu meredam suara ombak. Rupanya, gemuruh itu beralih pada jantungku yang bertalu. Paras sempurna, serupa gadis dalam lukisan yang sempat kulihat tadi. Kulihat lagi lamat-lamat, seperti kemerahan senj...