Yang tidak pernah kurasa, atau,
Ia sudah terbiasa menyimpannya,
Minggu berlalu, kali ini Jayanagara mendadak gerimis, kabut tipis mulai melayang di antara bangunan tua dan jalanan yang lengang, menciptakan siluet kelabu pada pagi yang sepi. Mbok Kasmirah diam tidak bersuara sementara Giono menyetir dengan tenang, sesampainya di stasiun kereta, isak pelan wanita renta itu lebih dulu bersuara, tidak pernah seperti ini, Mbok Kasmirah menggenggam tangannya erat, Giono masih mengamati melalu spion, tidak tau harus bereaksi bagaimana.
Wulan hanya akan menghadiri undangan syukuran acara kelahiran anak dari Agnia di Capital, sesekali dia memang pergi ke Capital, namun kali ini Mbok Kasmirah mengenggam tangannya lebih erat, mungkin karena barang-barang Wulan beberapa sudah dititipkan ke rumahnya, seperti memiliki firasat tertentu, seolah tidak akan kembali pulang.
Seharusnya biasa saja, Wulan hanya berjaga jikalau sewaktu-waktu ada yang minat membeli rumah tersebut budenya tidak harus repot lagi memberesi barangnya, barang pribadi yang ia bawa ke Ibu Kota juga seperlunya, ia hanya akan mendatangi acara syukuran, tidak akan lama, seharusnya.
Wulan merasakan hangat dari rasa risau dan khawatir itu, ia turut membalas genggamnya, dari hasil penjualan kain kemarin dia sudah menyisihkan untuk Mbok Kasmirah, beliau ini sudah menua, sudah tidak seharusnya bekerja, juga cucunya Mas Giono akan setia merawat.
"Nitip, simbok ya Mas Giono?"
Giono mengiyakan dengan senyum yang selalu dia tawarkan sedia untuk Mbak Wulan. "Mbak Wulan pergi cuma sebentar lho Mbok." menenangkan nenek kesayangannya, tangannya setia menjaga agar kuat berdiri.
Wulan tersenyum juga, "Nanti saya kabari ya Mbok kalau sudah sampai, di Capital juga saya bisa berkirim pesan dengan Mas Rei, kalau ada apa-apa." ujarnya lagi menenangkan, seseorang yang menyayanginya dengan tulus ini.
Mbok Kasmirah mengangguk, setia menunggu sampai dengan ia memasuki area batas. Wulan melangkah, membawa tas jinjingnya, kali ini dia mengenakan dress dengan jaket berbahan rajut yang ringan.
Di stasiun, keramaian terasa jauh. Suara roda koper beradu dengan lantai. Tapi yang paling mengisi udara adalah hening, hening yang dalam. Di bawah atap peron, Wulan menoleh sekali lagi, dunia di belakangnya terasa menahan, menyisakan keengganan yang membekas di dada, seperti sesuatu yang berat namun tak terlihat, memanggilnya untuk tinggal.
Padahal nyatanya tidak begitu, tidak ada yang menahannya.
Hanya langkah-langkahnya sendiri, yang menggema di lantai basah, menjadi satu-satunya teman setia.
Gerbong yang akan membawanya keluar dari area Jayanagara itu terasa dingin dan asing. Wulan berjalan perlahan, mendekati tempat duduknya, terseyum kepada anak kecil yang duduk degan ibunya pada bangku dihadapan, menyapa dan berbincang ringan,
Seperti biasa ia segera membungkus segala rasa yang ada dalam dadanya, menyimpan rapat-rapat.
Ia sudah terbiasa menyimpannya,
,
Rumah keluarga Lukman Prabakusuma tampak lebih ramai dari biasanya. Halaman depan yang biasanya tenang kini dipenuhi mobil-mobil mewah yang berjajar rapi. Pintu rumah terbuka lebar, menyambut tamu dengan aroma bunga segar nan lembut dan kudapan tradisional yang tertata di meja kecil berlapis linen putih. Di sudut ruang tamu, terdengar lantunan musik lembut dari pengeras suara, berbaur dengan suara tawa dan percakapan tamu.
Wulan masuk perlahan, disambut senyum hangat dari Sri Hartini, ibu Agnia, yang tampak anggun dalam gaun berwarna krem.
Peluknya hangat menyambut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lingsir
RomancePada waktu senja itu, di pinggir pantai, kehadiranmu meredam suara ombak. Rupanya, gemuruh itu beralih pada jantungku yang bertalu. Paras sempurna, serupa gadis dalam lukisan yang sempat kulihat tadi. Kulihat lagi lamat-lamat, seperti kemerahan senj...