"Ih, amit-amit jabang bayi! Jangan sampe dong, Mas! Aku ini lagi berusaha keras menghindari SP 2, tauk!" jawab Ratih dramatis sambil memegang dadanya.
Mereka pun lanjut bergosip santai sambil memakan kelengkeng, sebelum akhirnya obrolan kemudian bergulir ke topik pekerjaan, semua sibuk dengan urusan masing-masing, suara ketikan keyboard bersahutan dengan suara Pak Bambang yang sesekali bersenandung lagu dangdut dibarengi dengan sahutan nyanyian dari Ratih.
Waktu berlalu tanpa terasa, empat jam sudah lewat dan jam istirahat makan siang pun tiba. Semua rekan Ratih berbondong-bondong menuju kantin yang berada di lantai tujuh—lantai tengah yang strategis karena gedung kantor mereka menjulang tinggi mirip menara Eiffel KW. Sedangkan Ratih, dia punya rencana sendiri. Dia akan turun ke lantai satu untuk ngambil makanan yang sudah dia pesan lewat aplikasi online karena kebetulan sedang ada promo diskon gede-gedean. Siapa yang tidak tahan?
Setelah mengambil pesanannya, Ratih kembali melangkah masuk kantor, berniat menyusul rekan-rekannya yang pasti sudah pada ngantri di kantin.
Tapi... langkah Ratih mendadak berhenti di tengah jalan, matanya terpaku pada siluet seseorang yang sangat familiar baru saja keluar dari pintu lift eksekutif yang kinclongnya minta ampun, memantulkan cahaya lampu koridor. Siluet itu tinggi, tegap, dan berkarisma, persis seperti patung manekin yang baru saja dikeluarkan dari pajangan.
"Aduh, Gusti! Kenapa sih ketemu orang itu mulu? Kayak setan gentayangan!" pekik Ratih dalam hati, panik level maksimum.
Dengan gerakan ninja, Ratih melepaskan jedai rambutnya, mengurai rambut panjangnya hingga menutupi hampir seluruh wajahnya, lalu berjalan sesantai mungkin—padahal aslinya udah kayak kepiting jalan—berusaha mencapai lift karyawan yang untungnya letaknya agak jauh dari lift khusus para petinggi itu.
Mata Danuarta yang setajam elang—atau lebih tepatnya, setajam anjing pelacak—langsung bisa mendeteksi keberadaan Ratih yang berjalan mencurigakan seperti lagi menyamar menjadi hantu valak. Danuarta terkekeh pelan, geli melihat tingkah polah perempuan itu. Dia sengaja berhenti sejenak, sambil memperhatikan Ratih yang berusaha menghilang di balik rambutnya.
Sementara itu, Ratih yang saking fokusnya mau kabur, malah...
"Aduh!" Ratih menabrak seseorang.
"Eh, aduh! Gimana sih, Mbak! Jalan tuh pake mata, bukan pake rambut! Emang situ Kuntilanak?!" semprot seorang staf perempuan, yang sekilas mirip Bu Nunung versi muda.
"Maaf, Mbak..." Ratih membungkuk buru-buru. Staf itu pun pergi sambil geleng-geleng kepala.
Ratih segera merapikan rambut yang menghalangi pandangannya, dan sialnya, tanpa sengaja matanya bersitatap langsung dengan Danuarta yang berdiri beberapa meter darinya.
Melihat itu, Ratih langsung lari ngibrit kayak maling kepergok warga, nyelonong masuk ke pintu lift karyawan yang kebetulan pintunya baru saja terbuka, bergabung dengan beberapa karyawan lain yang terheran-heran melihatnya.
Danuarta hanya menggeleng pelan.
"Dasar perempuan aneh," gumamnya.
***
"Hah, harus saya, Pak?!" sahut Ratih setengah teriak, yang langsung disambut tatapan sinis setajam silet dari Pak Baskoro."Iya, sekarang! Laporannya sudah ditunggu, Bapak!" Pak Baskoro menyodorkan berkas laporan keuangan konsolidasi ke arah Ratih. Melihat Ratih yang cuma bengong kayak patung Pancoran, Pak Baskoro sengaja menendang pelan mejanya, menimbulkan bunyi gedebuk kecil yang sukses mengagetkan Ratih. "Ini berkasnya! Kalau nggak mau ya sudah, siap-siap aja kamu dapat SP 2!" ancam Pak Baskoro dengan nada malas tapi menusuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lestari
General FictionDi antara rimbunnya pepohonan, udara pagi yang masih menyimpan embun, dan gemuruh takdir yang belum dikenal, Ratih Lestari kembali menginjak tanah kelahirannya-desa sederhana yang penuh kenangan dan ketenangan. Tak pernah ia bayangkan, cuti singkat...
BAB 9
Mulai dari awal