抖阴社区

Lima Belas

183 17 0
                                        

Suara Jangkrik dan denting jam memenuhi ruangan kecil yang didalamnya terdapat 2 anak Adam yang tengah menatap langit-langit kamar Nata.

Entah kenapa, baik Dean maupun Nata sama sama tidak bisa memejamkan mata mereka malam ini.

“Nat? Udah tidur?” Ucap Dean yang kini menelentangkan dirinya dan melipat kedua tangannya sebagai bantal.

Nata membalikkan badannya, kini menyamping menghadap ke arah Dean sambil memeluk gulingnya.

“Gatau Ih Mas, gabisa tidur juga.. Mas kenapa ga tidur? Maaf ya, emang buluk banget kasurnya, maaf kalo ga nyaman” Ucap Nata sedikit menenggelamkan wajah di gulingnya.

Dean menghela nafasnya pelan.
“Nggak, bukan soal kasurnya kok. Emang lagi gak bisa tidur aja.”

Keduanya terdiam sejenak.

Beberapa detik kemudian, Dean membuka suara lagi. “Aneh ya… Dulu aku sempat ngebully kamu.”

Nata terdiam. Tak langsung menjawab. Matanya menerawang, seperti menelusuri kembali jejak masa lalu yang sebetulnya tidak ingin diingat, tapi juga tidak bisa dihapus.

“Parah banget waktu itu,” gumam Nata akhirnya. “Kamu nyoret-nyoret bangku aku, naro surat ancaman, bahkan pernah bikin aku pulang sambil nangis.”

Dean menggigit bibir bawahnya. “Iya… aku inget. Dan aku gak bangga sama itu.”

“Masih aku inget jelas… bahkan sampai aku masuk kuliah pun, luka-lukanya kebawa,” lanjut Nata pelan. “Tapi ya… seiring waktu, aku coba belajar maafin.”

Keduanya kembali hening..

“Kamu kuliah di Jogja ya Nat?” tanya Dean lagi, suaranya pelan tapi hangat.

“Iya, di Jogja Mas. Kampus negeri. Aku ambil Sastra.” Nata tersenyum kecil. “Mas sendiri, di mana?”

Dean mengangguk pelan, menatap ke arah langit-langit yang gelap, mengingat masa lalunya sebentar

“Aku dulu ambil Manajemen di luar negeri, terus langsung lanjut S2 MBA. Sekarang…ya, udah selesai dan jadi CEO," jawabnya sambil memperlihatkan deretan gigi rapi dan mata bulan sabitnya ke Arah Nata.

Nata memutar bola matanya jengah, dan kembali terkejut dengan fakta yang baru saja Dean Ucapkan
"Mboh, Sombong amat! Btw Mas MBA? woww! Karena memang lama banget kamu kuliah di luar”

"Keren banget... kok bisa secepat itu?" Ucap Nata lagi.

Dean memiringkan kepalanya. Menatap Nata. "Iya, aku kuliah di luar hampir lima tahun. S1-nya di Manajemen, terus lanjut S2. Tapi, kalau ditanya gampang apa enggak, pasti nggak gampang. Awalnya, aku ngerasa jauh banget dari rumah, perbedaan budaya, bahasa... Tapi, itu semua jadi pelajaran besar."

"Pelajaran yang berharga, ya?" Nata melanjutkan, matanya berkilau, seolah mencoba memahami apa yang Dean rasakan.

"Aku sih masih di sini, di Jogja. Kuliah Sastra, lebih fokus ke perasaan orang sih. Gimana mereka mikir, ngungkapin perasaan mereka... kayak gitu."

Dean tersenyum, sedikit tertarik. "Aku yakin, itu juga penting, Nat. Sastra itu ngajarin kita banyak hal, soal memahami orang. Sama kayak di dunia bisnis, kita juga harus ngerti perasaan orang untuk bisa ngelola tim dan bikin keputusan yang tepat."

Nata terdiam, berpikir sejenak. "Iya sih, Mas. Kadang, aku juga ngerasa kayak nggak ngerti apa yang orang lain rasain. Tapi pelan-pelan, aku belajar gimana caranya mengerti mereka."

"Dan itu kenapa kamu harus terus belajar, Nat." Dean sedikit bergeser, wajahnya sekarang lebih dekat dengan Nata. "Kadang kita nggak sadar, kalau cara kita paham sama orang bisa banget ngebuka jalan kita di masa depan."

Nata juga mentaap ke arah Dean, mata mereka saling bertemu. Ada kilatan kebingungannya yang sejenak hilang. "Aku jadi mikir, Mas. Aku ini sebenarnya cuma... takut kalau apa yang aku pelajarin ini nggak cukup, atau kalau aku salah jalan."

Dean mengangguk pelan, lalu dengan lembut ia menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat, lagi. Ia menatap Nata dengan tatapan yang serius namun penuh perhatian. "Jangan takut, Nat. Kamu udah di jalur yang tepat. Kita semua punya jalannya masing-masing, cuma kadang harus sabar aja nunggu prosesnya. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."

Nata merasakan sesuatu di dadanya. Ada kehangatan yang perlahan menyebar, dan entah kenapa dia merasa nyaman. Senyuman kecil muncul di bibirnya. "Makasih, Mas. Kamu tuh... beda banget ya, dari dulu."

"Kenapa?" Dean bertanya, meskipun sudah bisa menebak apa yang dimaksud Nata. Dia tak bisa menahan senyum tipis di wajahnya.

Nata tersenyum canggung, sedikit mengalihkan pandangannya. "Dulu kan, Mas sering banget bully aku. Sekarang, kok rasanya beda banget. Kamu jadi lebih... lembut, lebih ngerti."

Dean tertawa pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku udah banyak berubah, Nat. Kuliah di luar negeri ngajarin banyak hal, dan salah satunya... cara kita ngeliat orang. Dulu aku bodoh banget, nggak ngerti perasaan orang lain, apalagi kamu."

Nata mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

Dean menatap Nata dalam-dalam, ada sesuatu di matanya yang membuat Nata merasa gugup, tapi juga anehnya nyaman. "Dulu, aku... sering banget nyakitin kamu. Itu salah aku, Nat. Dan setelah dipikir-pikir, memalukan sekali kelakuan ku dulu. "

Suasana jadi hening sejenak. Nata merasa ada kehangatan yang tak biasa, dan dia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dean. "Mas..."

Dean menghela napas. "Aku nggak berharap kamu maafin aku 100% karna aku tau trauma yang aku bikin ke kamu itu benar benar parah. Tapi aku bener-bener menyesal, Nat. Aku cuma pengen kamu tahu kalau sekarang... aku lebih ngerti."

Ada keheningan, namun kali ini terasa hangat. Nata menatap Dean, mencoba membaca ekspresinya. "Aku... nggak tahu harus bilang apa, Mas. Tapi... aku ngerti kok."

Dean menatap langit-langit lagi. “Dulu kamu pendiem banget. Tapi sekarang… kamu bisa ngomong banyak hal. Aku suka liat versi kamu yang ini.”

Nata hanya mengangguk pelan, dan memukul pelan bahu Dean.

“Yaiyalah, kan sekarang udah temenan. Kalo dulu kan kayak Tom and Jerry” Ucap Nata yang mengundang gelak tawa Dean.

Nata kemudian memeluk gulingnya lebih erat. “Aku juga nggak nyangka bisa ngobrol kayak gini sama Mas. Dulu denger suara Mas aja aku udah deg-degan… karena takut.”

Dean menatap Nata, menajamkan tatapannya, menyesuaikan posisi tidurnya agar lebih nyaman. Dan jarak mereka semakin dekat, bahkan kini kulit mereka sudah menempel satu sama lain.

“Sekarang deg-degan karena apa?” tanya Dean, nyaris berbisik.

Nata tertawa pelan, mengalihkan pandangan ke langit-langit. “Karena masih belum percaya aja, Mas Dean yang dulu… sekarang bisa tidur bareng aku di kamar sempit ini.”

Dean tak menjawab. Tapi senyum kecil di wajahnya cukup jadi jawaban.

“Aku juga deg deg-an Nat, deg deg-an banget deket kamu gini.” Suara Hati Dean.

Sunyi kembali menyelimuti ruangan. Tapi bukan sunyi yang canggung, melainkan sunyi yang hangat. Yang membuat keduanya merasa… entah kenapa, malam ini sepi tapi terasa lebih dekat dan nyaman sehingga akhirnya, tidak terasa kedua anak Adam tersebut hanyut dalam heningnya malam.


Forgive Me, NatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang