Setelah malam itu, segalanya berubah. William menarik diri. Ia kembali ke kebiasaannya: bangun lebih awal, berbicara hanya seperlunya, menulis laporan hingga larut malam. Ia tak menatap Juan lebih dari beberapa detik. Ia berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.
Dan itu yang membuat Juan marah. Dan... terluka.
Selama dua hari penuh mereka nyaris tidak berbicara. Hanya percakapan teknis saat patroli:
"Sinyalnya dari arah barat."
"Kau lihat pergerakan di sektor dua?"
"Aku patroli sisi timur. Sendiri."Juan yang biasanya penuh lelucon dan sarkasme, kini sunyi. Tapi diamnya bukan dingin—melainkan penuh amarah tertahan. Ia mencoba bersikap seperti biasa, tapi tiap kali melihat William, hatinya berontak:
Kenapa orang itu bisa membuatnya peduli sejauh ini, lalu menghindar begitu saja?
Pada malam ketiga, Juan duduk sendirian di luar pos, menatap langit berbintang. Rokok di jari, tapi tak dinyalakan. Udara terlalu dingin, dan pikirannya terlalu panas.
William melihatnya dari dalam—sekilas. Ia menggenggam cangkir logam berisi kopi, yang sudah dingin sejak sejam lalu. Matanya sayu. Ada kerutan di dahi yang tak bisa ia hilangkan.
William (dalam hati): "Kenapa aku lebih terganggu oleh keheningan ini daripada ledakan ranjau?"
Akhirnya, dia keluar.
Sunyi. Hanya suara angin dan dedaunan.
William berdiri di samping Juan. Tidak duduk. Tidak bicara. Juan tidak menoleh.
Juan: "Jangan khawatir. Aku nggak akan mengulang malam itu, kalau itu yang kau takutkan."
William menutup mata sejenak.
William: "Aku tidak takut padamu."
Juan (menatap lurus): "Tapi kau takut pada dirimu sendiri."
William menghela napas. Kali ini, ia duduk di samping Juan. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia memilih berada di sana.
William: "Aku dibesarkan untuk percaya bahwa kedekatan emosional adalah kelemahan. Bahwa seorang pemimpin tak boleh goyah. Tapi sejak aku bertemu kau, semua keyakinan itu mulai... bergeser."
Juan menoleh. Matanya sudah tidak marah. Hanya lelah, dan sedikit berharap.
Juan: "Aku nggak minta kau jatuh cinta dalam semalam. Tapi jangan berpura-pura perasaan itu gak ada. Aku bukan musuhmu, William."
William menatapnya balik, dan untuk pertama kalinya sejak insiden itu, dia terlihat lelah. Manusiawi. Rawan.
William (pelan): "Aku tahu. Dan itu... yang paling menakutkan."
Sunyi lagi. Tapi bukan sunyi yang dingin. Lebih seperti jeda. Ruang. Tempat di mana sesuatu mulai tumbuh perlahan.
Juan (tersenyum kecil): "Ayo. Aku udah kedinginan. Dan kau ngangenin kalau diem terus."
William tersenyum. Kecil, nyaris tak terlihat. Tapi nyata.
Mereka masuk ke dalam pos bersama. Masih belum menyentuh. Belum ada pelukan. Tapi jarak di antara mereka akhirnya mulai hilang—bukan karena keberanian, tapi karena rindu yang tak tertahankan telah memecah dinding di antara mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red String
FanfictionSiapa sangka seseorang yang selama ini selalu dianggap rival ternyata adalah pasangan hidupnya. Starring : - Kim Jiwon (Bobby) - Kim Wonshik (Ravi) - iKON & VIXX Member Contain : - B X B - Dom Top x Dom Bottom - Enigma x Alpha - The one is res...