抖阴社区

Bagian 8.2

3 1 0
                                        

Perjalanan ke panti asuhan adalah pengalaman baru yang mengubah pandangan Mahira, bukan hanya tentang Raga, tapi juga tentang dirinya sendiri. Dia duduk di bangku belakang truk sekolah yang agak bergoyang, bersama beberapa anggota OSIS dan sukarelawan lain. Raga duduk di depannya, sibuk dengan ponselnya, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

Sesekali, pandangan mereka akan berpapasan di kaca spion atau ketika Raga menoleh ke belakang, dan Raga akan tersenyum tipis, senyum yang terasa lebih akrab, lebih personal, dan Mahira akan membalas senyumnya, jantungnya berdegup tak karuan, seolah dia sedang berada di dalam sebuah mimpi yang terasa begitu nyata.

Sesampainya di panti asuhan, Mahira langsung terpesona dengan suasana hangat dan ceria di sana. Meskipun bangunan panti asuhan terlihat sederhana, namun kehangatan dari anak-anak yang menyambut mereka terasa begitu tulus. Anak-anak panti asuhan menyambut mereka dengan senyum lebar, beberapa langsung berlari memeluk anggota OSIS yang sudah sering berkunjung, dan Mahira merasa hatinya terenyuh.

Mahira melihat bagaimana Raga berinteraksi dengan anak-anak itu: berjongkok untuk menyamakan tinggi, mendengarkan cerita mereka dengan sabar, menggendong anak-anak kecil dengan tawa renyah. Sisi Raga yang ini, sisi yang lembut dan peduli, adalah sisi yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan itu membuatnya semakin kagum.

Dia mulai bekerja keras bersama tim dekorasi, menempel banner hasil desainnya sendiri yang kini terlihat begitu nyata dan indah, mengatur posisi meja untuk menaruh bingkisan, dan menyiapkan tempat untuk pohon harapan. Raga, sebagai koordinator acara, sibuk mengawasi dan membantu di mana-mana, memberikan arahan yang jelas, dan bahkan sesekali membantu Mahira memegang banner yang terlalu tinggi untuk dia capai, atau mengulurkan tangan saat Mahira kesulitan memanjat tangga kecil.

"Tolong pegangin ujungnya ya, Mahira," kata Raga, saat mereka berdua memasang banner besar di dinding aula yang akan menjadi panggung utama.

Tangan mereka berpapasan lagi, sentuhan yang kini terasa sedikit lebih akrab, tidak lagi hanya sekadar senggolan. Mahira bisa merasakan kehangatan dari tangan Raga, sebuah kehangatan yang menjalar hingga ke dadanya.

"Oke, Kak!" Mahira menahan napas, berusaha konsentrasi penuh pada tugasnya, agar tidak gugup di dekat Raga.

"Kira-kira segini udah pas belum tingginya?" tanya Raga, melirik ke arah Mahira, matanya mencari persetujuan dari Mahira.

Mahira mengamati banner itu dengan cermat.

"Sedikit ke bawah lagi, Kak. Biar anak-anak yang lebih kecil bisa lihat ilustrasinya dengan jelas dan tidak terlalu mendongak."

Raga mengangguk, menurunkan banner sedikit lagi, mengikuti instruksi Mahira tanpa ragu.

"Oke, pas. Kayaknya kamu emang cocok jadi desainer interior atau event organizer ya, Mahira. Mata kamu jeli banget, detailnya dapet."

Pujian tulus itu lagi-lagi membuat Mahira tersipu, tapi dia sudah bisa mengendalikan diri.

"Ah, Kak Raga bisa aja. Ini kan karena sering gambar aja di buku, jadi lumayan tahu sedikit."

Raga tertawa kecil, suara baritonnya yang renyah memenuhi ruangan.

"Itu bakat namanya. Nggak semua orang bisa kayak gitu. Kamu harus bangga sama diri kamu." Dia menatap Mahira dengan tatapan yang sulit diartikan, namun terasa hangat, seolah dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Mahira.

Mahira membalas tatapannya, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka terasa berhenti, seolah waktu membeku, hanya ada mereka berdua di tengah aula yang ramai. Momen itu terasa begitu pribadi, begitu mendalam, seolah mereka berbagi sebuah rahasia.

Momen itu membuat Mahira sadar, jarak antara dia dan Raga tidak lagi sejauh bintang dan senja. Mereka kini berada di ruang yang sama, berbagi tawa, bekerja sama, dan membangun sesuatu yang indah untuk orang lain. Dia tidak lagi hanya memandang Raga dari kejauhan, tapi dia berdiri di sampingnya, melihat bagaimana Raga berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan, betapa sabarnya dia menjawab setiap pertanyaan, betapa tulusnya dia membantu setiap orang yang membutuhkan, dan betapa dia selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain.

Mahira melihat Raga yang lebih dari sekadar "bintang sekolah" yang karismatik, dia melihat Raga yang memiliki hati yang lembut, yang peduli, yang tulus, dan yang bertanggung jawab. Itu adalah Raga yang sesungguhnya, bukan hanya Pangeran Orion dalam khayalannya. Dan dia semakin mencintai setiap detail dari Raga yang sesungguhnya itu, setiap sisi yang tersembunyi dari keramaian, setiap kebaikan yang dia tunjukkan dengan sederhana.

Apa semua ini nyata? Apa Kak Raga lihat aku sebagai lebih dari sekadar adik kelas yang kebetulan punya bakat menggambar? Apa dia ngerasain sedikit aja dari apa yang aku rasain, seujung kuku sekalipun? Apa dia sadar tatapan aku ke dia, atau semua ini cuma imajinasi aja?

Meskipun Mahira kini lebih sering berinteraksi dengan Raga, bisikan keraguan itu tidak sepenuhnya hilang. Rasa insecurity masih sesekali datang, terutama saat dia melihat Raga bercanda akrab dengan teman-teman dekatnya yang lain, yang jauh lebih ekspresif dan percaya diri. Atau saat ada Kakak kelas perempuan lain yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Raga, melontarkan pujian atau sentuhan genit.

Mahira tahu, Raga adalah idola di sekolah, dan banyak perempuan yang terang-terangan mengaguminya, jauh lebih berani dan cantik darinya. Dia merasa cemburu, tentu saja, namun dia menyembunyikannya dengan baik, bahkan dari Nindy dan Ratih.

Dia takut semua interaksi manis ini hanya sepihak, hanya interpretasinya sendiri, dan Raga tidak merasakan hal yang sama. Dia takut, jika dia terlalu berharap, dia akan jatuh terlalu dalam, dan kejatuhannya akan lebih menyakitkan dari sebelumnya, lebih dalam dari jurang ketidakpercayaan dirinya.

Setiap malam, di bawah selimut dengan senter kecil yang menjadi satu-satunya sumber cahaya, Mahira akan menuliskan setiap detail interaksinya dengan Raga. Setiap pujian, setiap senyum, setiap sentuhan tak sengaja, setiap percakapan. Dia juga menuliskan keraguan dan ketakutannya, sebuah monolog internal. Dia menuangkan semua perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan di dunia nyata, semua pertanyaan yang tidak berani dia tanyakan.

Apa aku harus berani ngungkapin perasaanku? Apa ini saatnya aku ambil risiko yang lebih besar? tanyanya pada dirinya sendiri, seolah ada suara batin yang bijak di dalam dirinya.

Belum saatnya, Mahira. Bintang akan selalu melihat senja. Jika senja terlalu memaksakan diri untuk bersinar seperti bintang, dia akan terbakar. Ada waktu yang tepat untuk setiap hal. Teruslah bersinar dengan caramu sendiri.

Mahira tahu, dia harus sabar. Dia harus membiarkan perasaannya tumbuh, dan membiarkan takdir bekerja sesuai waktunya. Untuk saat ini, dia akan menikmati setiap detik kedekatan ini. Dia akan menikmati setiap senyum Raga, setiap pujiannya, dan setiap momen yang mereka lalui bersama, tanpa perlu memikirkan masa depan yang terlalu jauh, tanpa perlu merencanakan langkah selanjutnya.

Dia akan terus menjadi Mahira yang berani, yang perlahan keluar dari cangkangnya, yang tidak lagi takut untuk berbicara, untuk berpendapat, untuk menunjukkan bakatnya. Dan dia akan terus percaya bahwa, suatu hari nanti, senja dan bintang itu akan bersanding, bukan hanya saling menyapa dari kejauhan, melainkan berbagi cahaya yang sama, selamanya, sebuah harmoni yang sempurna, sebuah melodi yang abadi.

Dia akan terus memupuk harapannya, menjaga nyala api itu agar tidak padam, karena harapan adalah satu-satunya hal yang bisa membawanya melangkah maju, keluar dari bayang-bayang yang selama ini mengurungnya.

Bersambung.

MahiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang