抖阴社区

Bagian 12.2

2 0 0
                                        

Satu minggu sebelum Malam Pensi, seluruh elemen desain Mahira telah rampung dan siap untuk diinstalasi secara penuh di aula. Para pekerja sibuk memasang lighting tambahan yang disewa, tim tata suara sedang mengatur sound system yang bergema samar di seluruh ruangan, menguji microphone dan efek suara yang telah diprogram. Beberapa panitia inti terlihat mondar-mandir memastikan semua persiapan final berjalan lancar, menguji proyektor untuk backdrop yang akan menampilkan animasi bintang-bintang karya Mahira. 

Mahira sendiri, meskipun kelelahan, masih terus memeriksa final display dari semua banner dan signage yang sudah terpasang rapi di sepanjang koridor menuju aula dan area pendaftaran.

Senyum tipis terukir di bibirnya.

Semua terlihat persis seperti yang dia bayangkan, bahkan lebih baik dari perkiraannya karena dukungan penuh dari tim produksi yang terkoordinasi.

Ketika Mahira hendak melewati loker-loker siswa yang kini banyak yang kosong dan terbuka, pertanda para siswa kelas 12 sudah jarang ke sekolah karena Ujian Nasional telah usai dan mereka kini sibuk dengan persiapan kuliah di luar kota, langkahnya terhenti.

Tiba-tiba, suara langkah kaki familiar yang sedikit tergesa-gesa terdengar dari arah perpustakaan. 

Mahira menoleh dan melihat Raga muncul dari sana, mengenakan kemeja kasual yang sudah agak kusut dan celana bahan yang rapi, membawa tumpukan buku tebal yang disampul dan beberapa berkas penting di tangannya. Wajahnya tampak sedikit lelah, dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya, tanda begadang belajar keras untuk ujian dan persiapan masuk PTN yang beruntun.

Dia bukan lagi Raga yang dulu aktif di futsal atau paskibra; sekarang, dia adalah Raga yang fokus penuh pada ambisinya di masa depan. Aura keseriusan dan kedewasaan terpancar jelas darinya, sebuah perubahan yang terasa nyata dan tak bisa diabaikan.

Raga melihat Mahira yang berdiri di dekat loker, sedikit terkejut dengan kehadiran Mahira di jam yang sudah sore, hampir petang.

"Mahira? Belum pulang? Masih di sini?" tanyanya, suaranya terdengar ramah seperti biasa, namun ada nada kelelahan yang samar. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya.

Mahira mengangguk, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang dan netral.

"Iya, Kak. Tinggal beresin dikit. Sekalian cek semua desain udah terpasang rapi di area umum, takut ada yang kurang pas sebelum besok dimulai gladi bersih untuk Pensi." Dia menunjukkan beberapa flyer Pensi yang dia pegang sebagai contoh akhir, tampak baru dicetak dengan tinta mengkilap.

Raga mendekat, matanya tertuju pada flyer itu. Dia mengambil satu, membaliknya, mengamati setiap detailnya.

"Oh, ini Pensi ya? Desainnya... ini kamu yang bikin semua? Yang di panggung juga?" Nada suaranya penuh kekaguman yang tulus, mengamati setiap detail flyer di tangannya dengan cermat.

Mahira mengangguk lagi, mengangkat dagunya sedikit, sedikit bangga dengan hasil kerjanya.

"Iya, Kak. Aku yang desain semua. Tinggal sentuhan akhir aja. Kebetulan dapat kepercayaan penuh dari panitia dan guru-guru untuk Pensi tahun ini."

Raga membalik-balikkan flyer di tangannya, meninjau setiap detailnya dengan seksama. Dia membaca setiap tulisan, mengamati komposisi gambar, dan menelusuri detail ornamen.

"Wow, Mahira. Ini benar-benar... next level. Detailnya bagus banget, warnanya juga pas, komposisinya modern, jadi gampang dibaca dan menarik perhatian. Aku nggak nyangka bakal sebagus ini. Ide gerbang bintang, mural tangan yang saling menggenggam... itu brilian, Mahira. Sangat menyentuh dan pas untuk acara perpisahan angkatan." Raga menatap Mahira dengan tatapan yang dalam, ada kilatan kekaguman yang jelas di matanya, seolah dia melihat sebuah transformasi yang luar biasa di hadapannya.

"Ini beda banget dari desain kamu yang dulu. Ada 'nyawa' di dalamnya, Mahira. Ini karya yang luar biasa, jujur."

Mahira menatapnya lurus, membalas tatapan itu tanpa keraguan atau malu. Dia melihat ketulusan dalam tatapan Raga, bukan sekadar pujian basa-basi yang formal. Ada sedikit rasa bangga yang muncul di dadanya, sebuah kebanggaan yang sehat, namun dia menahannya agar tidak terlalu kentara.

"Terima kasih banyak, Kak. Aku seneng desainnya disukai dan bisa memberikan kesan yang baik untuk Pensi perpisahan kalian nanti." Suaranya mantap, tidak ada getaran, tidak ada rasa canggung atau gugup yang dulu selalu ia rasakan saat berinteraksi dengan Raga.

Dia telah belajar untuk menghadapi situasi seperti ini dengan kepala tegak dan hati yang tenang.

Raga terdiam sejenak, tatapannya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar pujian.

Mungkin sedikit penyesalan atas sesuatu yang tidak pernah terjadi di antara mereka, atau mungkin hanya kekaguman murni tanpa embel-embel lain, melihat bagaimana Mahira mampu bertransformasi menjadi sosok yang begitu kuat, mandiri, dan bersinar dengan bakatnya sendiri.

"Aku... aku yakin kamu akan sukses besar di bidang ini, Mahira. Kamu punya bakat yang luar biasa, sebuah anugerah yang harus terus kamu kembangkan. Jangan pernah berhenti berkarya ya. Terus kembangkan diri kamu sampai batas terjauh yang bisa kamu raih. Aku yakin kamu pasti bisa. Masa depan kamu cerah."

"Pasti, Kak," jawab Mahira.

"Kakak sendiri gimana? Udah siap buat ujian buat masuk perguruan tinggi ya? Kelihatannya sibuk banget, sampai bawa buku sebanyak itu, kayaknya mau marathon belajar lagi."

Raga tersenyum tipis, senyum lelah namun juga penuh harap.

"Harus siap. Tinggal fokus buat Ujian masuk universitas. Nggak kerasa ya, udah mau pisah dari sekolah. Tiba-tiba udah sampai di titik ini aja, udah mau ninggalin masa SMA yang penuh kenangan." Dia menatap ke arah aula, ada sedikit melankolis di matanya, mengenang masa-masa SMA-nya yang sebentar lagi akan berakhir.

"Semoga Pensi-nya lancar dan sukses besar nanti, Mahira. Aku yakin bakal meriah banget dengan desain kamu ini. Keren sekali, jauh di atas ekspektasi panitia."

"Pasti, Kak," Mahira membalas senyumnya.

"Terima kasih banyak, Kak. Semoga sukses juga buat ujian dan kuliahnya nanti ya, Kak. Semoga diterima di kampus impian dan semua cita-cita Kakak tercapai. Jangan lupa bahagia juga nanti ya, dan jaga kesehatan."

Momen itu singkat, hanya beberapa menit yang terasa melambat di antara mereka berdua, namun terasa seperti penutup yang damai dari sebuah babak panjang dalam hidup Mahira. Sebuah chapter yang kini resmi berakhir, tanpa drama, tanpa sakit hati, hanya sebuah penerimaan. 

Raga kemudian berpamitan, berjalan pergi membawa tumpukan bukunya, menuju gerbang sekolah yang perlahan mulai sepi karena hari sudah senja, berganti malam. Mahira melihat punggungnya menjauh, menghilang di balik tikungan koridor dan kemudian di gerbang sekolah.

Dan untuk pertama kalinya, tidak ada rasa sakit yang menusuk di dadanya. Hanya ada rasa lega yang mendalam, sebuah penutupan yang damai yang ia terima sepenuh hati.

Dia tidak lagi peduli dengan siapa Raga berjalan, atau ke mana mereka akan pergi setelah lulus. Dia peduli dengan siapa dirinya sendiri, dan siapa yang berjalan bersamanya—Nindy dan Ratih.

Percakapan itu terasa seperti sebuah perpisahan yang tak terucapkan, sebuah ucapan selamat tinggal pada masa lalu yang kini telah ia lepaskan sepenuhnya, sebuah penanda bahwa babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai, dengan langkah yang lebih pasti dan hati yang lebih ringan.

Mahira menarik napas panjang, menghirup aroma malam yang lembap, bersiap untuk hari esok yang akan membawa cerita baru, Pensi yang telah ia nantikan dengan penuh kebanggaan dan keyakinan akan cahayanya sendiri.

Bersambung.

MahiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang