抖阴社区

Bagian 10

6 1 0
                                        

Malam itu, setelah kembali dari panti asuhan, Mahira merasakan kehampaan yang tak terduga menelan dirinya. Perasaan itu datang perlahan, menusuk seperti jarum es, sebelum akhirnya membeku di dalam dadanya, menciptakan rasa kaku yang sulit dijelaskan. Dunia yang tadinya penuh warna, yang bersinar cerah di bawah pujian Raga, kini terasa bisu, asing, dan memudar, seolah semua pigmen telah terkikis. 

Dia langsung masuk ke kamar, langkahnya gontai, mengunci pintu dengan bunyi 'klik' yang terasa final, memisahkan dirinya dari dunia luar. Dia tak sanggup lagi berdiri, lantas membiarkan dirinya jatuh terduduk di lantai yang dingin, bersandar pada dinding yang terasa keras. 

Matanya terasa panas dan kering, namun air mata hanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya dengan jejak dingin yang terasa perih.

Bayangan Raga dan Riana terus berkelebat di benaknya, tanpa henti, seperti adegan film yang diputar ulang dalam siklus tak berujung, tanpa bisa dijeda. Tawa Riana yang ceria, sentuhan lengan mereka yang begitu natural dan intim, cara Raga tersenyum padanya, dan pengumuman Raga tentang hubungan mereka yang baru terjalin.

Pikirannya melayang kembali ke momen-momen di panti asuhan: senyum Raga yang tulus saat memuji desainnya, tatapan hangat yang Mahira artikan sebagai sesuatu yang spesial, debaran jantungnya yang meledak penuh harapan.

Betapa konyolnya aku, bisiknya dalam hati, sebuah ejekan pahit.

Dia merasa bodoh, begitu naif karena membiarkan hatinya terbuka lebar pada kemungkinan yang ternyata tak pernah ada. Dia mengira kedekatan mereka selama persiapan bakti sosial adalah sebuah ikatan khusus, sebuah sinyal bahwa ada peluang untuk sesuatu yang lebih dari sekadar rekan project OSIS.

Nyatanya, itu hanya sepihak.

Dia hanyalah bagian dari tim yang kebetulan memiliki bakat dalam desain, tidak lebih. Raga hanya menghargai kemampuannya, bukan perasaannya yang mendalam dan tersimpan. Realita itu menghantamnya seperti gelombang dingin yang menusuk hingga ke tulang, memadamkan setiap percikan api di dalam dirinya, menyisakan bara yang meredup.

Rasa insecure lama yang sempat mereda dan tertutupi oleh semangat baru Mahira kini bangkit kembali, jauh lebih pekat, lebih menguasai dirinya.

Gue emang nggak pantes untuk siapa pun ya? Gue memang nggak cukup baik. Gue terlalu pemalu, terlalu biasa. Bodohnya gue berharap lebih, bisik suara-suara internal, menghakiminya tanpa ampun, menggerogoti setiap kepercayaan diri yang baru saja tumbuh perlahan.

Dia merasa dirinya kecil, tak kasat mata, tak berharga, hanya bayangan buram di tengah keramaian. Buku harian yang selalu menjadi pelariannya tergeletak di meja, terbuka pada halaman gambar Pangeran Orion—bintangnya yang kini terasa semakin jauh, tak tergapai.

Namun, Mahira tidak sanggup lagi menulis, apalagi menggambar. Jangankan menulis, melihat goresan pensil di buku itu saja sudah memicu nyeri di hatinya, mengingatkan pada impian yang hancur.

Bintangnya telah memilih galaksi lain untuk bersinar, dan senjanya kini harus menghadap kegelapan seorang diri.

Selera makannya lenyap, perutnya terasa kosong, energi untuk beraktivitas menguap entah ke mana, dan dia hanya ingin tersembunyi dari pandangan dunia, dari kenyataan yang menyakitkan. Tidur pun terasa sulit, setiap kali memejamkan mata, wajah Raga dan Riana muncul, menari-nari dalam gelap, menyiksa batinnya tanpa ampun.

-

Keesokan harinya, Mahira memutuskan tidak masuk sekolah. Dia mengirim pesan singkat ke grup kelas dan wali kelasnya, mengatakan dia merasa tidak enak badan dan butuh istirahat.

Itu bukan kebohongan sepenuhnya; hatinya memang sakit, lebih parah dari demam terburuk sekalipun, membuatnya merasa lemas, lunglai, dan tidak berdaya untuk bangkit.

MahiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang